Part Eight : Everything !

0

Dia berbalik dan berjalan pergi tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Spread the love

Dia memasukan karcis parkir dan kunci mobil kedalam tasnya, baru 5 hari berada disini sudah terasa bertahun baginya. Tidak ada hal lain yang begitu dia inginkan saat ini selain kesadaran suaminya.

Dia memasuki rumah sakit dan melihat sekelilingnya. Sebenarnya dia sangat membenci tempat itu, tetapi karena keadaan, dia berusaha keras untuk akur setiap kali berada disana. Dia membeli segelas kopi hitam tebal sebelum naik kekamar suaminya. Dengan diary yang berada didalam tasnya, dia akan menyuruh Marlin untuk pulang. Rasanya memang kejam karena dia hanya memanfaatkan Marlin untuk membantunya menjaga suaminya ketika dia ingin keluar dari sana. Tetapi kali ini dia benar – benar sedang tidak ingin diganggu atau berada didekat siapapun.

Lift terbuka dan dia mendatangi suster yang sedang berjaga disana terlebih dahulu untuk bertanya tentang keadaan suaminya.

“Bagaimana suami saya hari ini ?”

“Dokter sudah mengunjunginya dan kami hanya diminta memperhatikan monitornya dengan seksama. Brain dead sepenuhnya hanya bergantung kepada keajaiban Bu.”

Dia diam sebentar dan segera masuk kedalam kamar suaminya. Marlin sedikit terkejut dan segera menyimpan ponselnya didalam tas ketika Risa masuk kedalam.

“Kamu baik – baik saja kan Risa ?”

Dia tidak menjawab pertanyaan temannya. Diletakkan tasnya disalah satu meja tidak jauh dari tempat duduk Marlin. Wajah Hanze terlihat seperti biasa, bernafas dengan pelan tanpa membuka matanya. Dia lalu duduk disamping suaminya itu tanpa menghiraukan Marlin.

“Risa, kamu bisa bercerita apa saja denganku.”

“Aku sedang mau sendiri saat ini, terimakasih telah membantuku menjaganya saat aku pergi tadi.”

Ucapan dinginnya membuat Marlin sadar dan mengambil tasnya. Dia berbalik dan berjalan pergi tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Risa sadar bahwa dia pasti sangat kesal saat ini, tetapi dia benar – benar tidak ingin bercerita akan apapun. Marlin adalah satu – satunya teman terbaik Risa sejak kecil.

Mereka merupakan 2 orang yang sangat berbeda tetapi mampu akur satu sama lain. Marlin berkulit gelap dengan rambut sedikit keriting, ayahnya adalah orang papua, sementara ibunya adalah cina jawa. Dia meneruskan gen ayahnya yang berkulit hitam sekaligus merupakan anak tunggal didalam keluarganya, sama seperti Hanze.

Pertemanan mereka sejak kecil membuat mereka mampu mengerti satu sama lain tanpa banyak berkata untuk menjelaskan apa yang sedang mereka rasakan. Persahabatan mereka berlangusng hingga hari ini bahkan ketika hal terburuk terjadi diantara mereka, mereka berdua selalu mampu menemukan jalan kembali bersama.

Perkelahian terhebat mereka adalah ketika Marlin mengetahui rencana gila Risa untuk menikahi Yoki. Marlin merasa bahwa pria itu bukanlah orang yang baik bagi Risa, terlebih dari perbedaan umur yang jauh dan juga kelakuannya ketika bersama Risa. Tetapi cinta membutakan Risa. Dia tidak hanya rela kehilangan keluarga, tetapi juga Marlin pada saat itu.

Tidak ada alasan apapun bagi Marlin untuk kembali berteman dengannya, tetapi Marlin kembali dan dia jugalah orang yang membantu Risa keluar dari sidang perceraiannya. Risa tidak ingin kehilangan Marlin lagi sejak saat itu, bahkan setelah dia menikah dengan Hanze.

Dia akan bercerita kepada Marlin ketika suasana hatinya membaik nanti, Marlin selalu mengerti setiap kondisinya. Hal yang benar – benar dia inginkan saat ini adalah kehadiran Hanze kembali didalam hidupnya. Dia akan menjadi istri yang baik, dan mungkin memberikan keturunkan pada Hanze, hal yang selalu dia inginkan tetapi tidak diberikan oleh Risa karena sudah memiliki Male dan Mola.

“Sadarlah, aku akan memberikan segala yang kamu inginkan Hanze.”

Bisiknya lembut dekat telinga Hanze. Meskipun tidak ada respon, Risa selalu mengulangi kalimat tersebut hampir setiap saat ketika mereka hanya berdua disana.

Dia lalu mengambil buku diary Hanze, perasaan bersalah sempat menghantuinya sesaat. Tetapi dia tetap membacanya, entah kenapa hati kecilnya menyuruh dia membaca buku itu tidak peduli apapun yang terjadi.

Didalam kehampaan dan ketidak berdayaan Risa terhadap kondisi Hanze, dia mulai membuka buku bersampul kulit kebiruan itu. Bola matanya melebar membaca halaman pertama buku itu. Pertemuan pertama kali Hanze dengan dirinya. Ditulis dengan detail tanpa melewatkan apapun. Hari pertama dia menginjakkan kaki dipabrik Hanze, November 16. 1987


Aku begitu membenci diriku ketika mereka berkata bahwa aku adalah anak yang beruntung,
Terlahir sebagai anak tunggal dan memiliki keluarga yang kaya,

Apakah keberuntungan sebuah hidup hanya terletak pada harta orangtua ?
Hari ini, ditempat ini aku akan membuktikan pada mereka bahwa aku bisa hidup sendiri,

Aku tidak membutuhkan kekayaan keluargaku,
Aku akan menciptakan kekayaan dan kesuksesanku sendiri,
Meskipun harus dimulai dari titik nol.

(December 01, 1984)


(to be continue….)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights