Chapter Eighteen : Everybody Does

0

Aroma yang sungguh tidak sedap mulai dapat kucium. Kesadaranku mulai hilang namun bisa kulihat dikejauhan ayahku berdiri disana.

Spread the love

Cuaca pagi begitu cerah, cocok untuk perjalanan jauh kami menuju kampung halaman nenekku. Aku tidak menemukan perdebatan yang berarti saat aku memberitahu tanggal keberangkatan, dan nenekku menerima kami dengan senang hati.

Jean ikut bersamaku dan rela menutup tokonya untuk beberapa hari, sementara Rio, tidak ikut denganku karena menjalankan café. Aku memberinya tugas untuk menjaga rumah dan segera melaporkan padaku jika ada hal yang mencurigakan dari pelayan – pelayan disana.

Rio telah menjadi tangan kananku, dengan penampilannya yang modren, dia bisa mendapatkan banyak orang – orang baru sebagai pengisi kekosongan posisi pelayan dan pekerja pabrik keluargaku. Percobaan cuci otakku berjalan baik pada Rio.

Semua hal yang perlu Rio ketahui hanyalah ketika ada pelayan yang menghilang, dia harus segera mencarikan pengantinya.

Ayahku hanya mengetahui bahwa itu semua adalah hasil kerja kerasku mengumpulkan pelayan. Dia bahkan tidak tahu bahwa aku perlahan mulai mempelajari ilmunya dan berniat menyingkirkannya, itulah salah satu alasan aku ketempat nenek. Aku akan mencari tahu masa kecil ayahku dan menyingkirkannya.

Segel ditanganku semakin menyebar setiap bertambahnya usiaku, Jean adalah orang yang membantuku menutupi tandanya dengan mengukir hiasan tattoo sehingga bekas luka bakar segel ini tidak terlihat jelas.

Aku juga menjadi orang yang mulai kecanduan halusinasi orang lain. Aku bisa berubah menjadi begitu bahagia dan juga sedih hanya dalam beberapa detik, dan aku sungguh menyukainya.

Kami sampai sesuai dengan jam yang sudah kuperhitungkan. Rumah nenek berada dipedalaman dan dikelilingi oleh pepohonan yang menjulang tinggi. Nenek hanya tinggal bersama dengan pelayan – pelayan yang menjaganya.

Loren adalah anak satu – satunya yang dimiliki nenek kami. Aku memasukan barang – barang yang kubawa kedalam kamar yang sudah disiapkan nenek untuk kami. Jean, Monte dan Mikasa tinggal disatu kamar, sementara ayahku  dan aku memiiki kamar sendiri.

Kuperhatikan wajah bahagia Mikasa saat bermain bersama anjing peliharaan nenek. Dia selalu menyukai binatang berkaki empat tersebut, sementara Monte tampak begitu pemalu didepan nenekku. Loren menghilang begitu kami selesai makan malam bersama, aku tidak tahu kemana ayahku tetapi saat semua orang memutuskan untuk beristirahat lebih cepat, aku mengunjungi nenek.

Rumah nenek merupakan rumah tua yang setiap sudutnya memiliki ukiran unik. Tanganku memegang dinding rumah yang terasa dingin dan lembab, rumah ini mengunakan bahan yang sama dengan menara rumahku.

Aku hanya sekali datang kerumah ini ketika kecil sehingga aku tidak banyak berbicara dan berkeliling, aku hanya mengikuti setiap langkah ibuku saja. Aku bahkan tidak ingat apa yang aku lakukan disini untuk menghabiskan hari – hariku saat kunjungan itu.

Ditengah ruangan ada perapian yang sedang menari indah karena diterpa angin sepoi malam yang masuk dari kaca – kaca tinggi yang terbuka sedikit. Kupandangi nenekku dari kejauhan yang sedang duduk bersantai diatas kursi goyangnya didepan perapian. Aku berjalan mendekatinya dalam kesunyian.

“Sudah lama sekali ya, Josh.”

“Iya nek.”

Nenek menyadari kehadiranku, aku mendekatinya dan duduk disalah satu kursi kecil yang berada disampingnya. Kugenggam tangannya yang hangat dan berkeriput, wajahnya memancarkan kebahagiaan. Tidak lama setelah aku duduk, pelayan nenek datang dan meletakkan tea didepan kami. Sebuah teko unik dan 2 cangkir kecil. Dia sudah menebak bahwa aku akan duduk bersamanya malam ini.

“Nenek sudah tahu tujuanku kesini ?”

Dia tersenyum lalu menuang tea yang kedalam cangkirnya dengan susah payah. Dia menolak ketika ingin kubantu. Kupandangi wajahnya yang terlihat begitu bahagia, tidak percaya bahwa nenekku adalah penyihir seperti yang dikatakan Theo didalam buku catatannya.

“Apa kamu akan membunuhku malam ini, Josh ?”

Ucapan nenek membuatku terkejut. Cangkir yang kupegang terlepas secara spontan. Udara malam yang masuk kini terasa dingin menusuk tulangku, kuperhatikan tangan keriput nenek yang mulai berubah menjadi lebih muda. Badanku terasa berat. Aku tidak bisa bergerak.

Pintu ruangan terbuka, beberapa orang berpakaian hitam memasuki ruangan ini. Tidak mungkin ! Dia tidak akan mungkin membunuhku. Aku adalah cucunya.

“Kamu memang cucuku Josh. Tetapi aku adalah ibu dari ayahmu. Aku tidak akan membiarkanmu membunuh anakku. Everybody love their kid. Meskipun ayahmu bukanlah anak yang penurut.”

“Josh ?”

Suara Jean !

Dia pasti mencariku. Tidak, jangan kesini !

“Oh, satu lagi cucu yang tidak diinginkan.”

Dia tahu ! Dia mengetahui banyak hal. Dia adalah penyihir seperti yang dikatakan Theo dalam catatannya. Aku berusaha melawan sihirnya namun badanku terasa lemah, tidak berdaya.

“Oh, teanya bekerja dengan baik ya. Duduk yang manis Josh. Aku akan menyelesaikan Jean telebih dahulu.”

“Tidak ! Dia tidak tahu apapun.”

Jean memasuki ruangan. Dia tampak santai seperti biasa dan tidak terkejut. Nenekku mulai berkomat kamit membacakan mantranya sementara Jean berjalan dengan santainya. Tangan nenek terangkat tinggi dan Jean, memegang lehernya. Wajahnya memerah dan urat – uratnya tampak jelas keluar dari kulit putihnya. Aku berusaha keras mengerakkan tubuhku namun tidak berdaya.

“Hentikan !” aku mulai histeris.

Tidak lama kemudian tubuh Jean terjatuh tidak berdaya. Kukepalkan tanganku dan seluruh amarah ditubuhku terasa begitu meluap. Aku tidak berdaya, lemah dan mudah terpedaya.

“Bakar dia !”

Suara nenek lantang memberikan perintah kepada orang – orang berjubah itu untuk mengangkat mayat Jean dari lantai.

“Bunuh saja aku !” teriakku.

Berbagai pikiran mulai memasuki tubuhku. Aku bisa melihat wajah – wajah dingin dibalik jubah hitam mereka mulai tertawa dan suara mereka memenuhi seluruh kepalaku.

“Tunggu apa lagi ! Bakar wanita itu dan bawa dia keruang bawah tanah !” perintah nenek terdengar jelas untuk kedua kalinya.

Orang – orang itu lalu mengeluarkan botolan dan berjalan memutari kami. Mereka lalu membuka botol tersebut dan menumpahkan isinya. Aroma yang sungguh tidak sedap mulai dapat kucium. Kesadaranku mulai hilang namun bisa kulihat dikejauhan ayahku berdiri disana.

Nenek mulai panik, dan Jean ! Dia bangkit berdiri dan tertawa. Dia hanya berpura – pura mati dan mempermainkan nenek.

“Nek, Nek.. Teanya berguna ya.” candanya.

“Tidak mungkin ! Apa maumu ! Loren ! Loren !” nenek mulai memanggil ayahku.

Jean berjalan kedekatku dan bisa kurasakan tangannya berada dipinggangku, dia menopangku berdiri. Meski samar – samar aku tahu bahwa nenek mulai menjerit histeris. Kaca ruangan ini pecah, Jean membawaku keluar dari rumah ini. Dari kejauhan, kulihat sebuah cahaya api kecil menyala dari tangan ayahku. Dan rumah ini terbakar.

“Mika… bagaimana dengan Mika ??”

“Dia akan baik – baik saja, Pasti !”

Jean terus membawaku pergi menjauh dari rumah yang perlahan mulai terbakar. Tidak ! Mikasa !

Ayahku berdiri menghadap rumah yang terbakar tersebut. Pria berjubah hitam mengikutiku dan Jean. Membawa kami semakin jauh. Mikasa ! Mikasa.

“Mika… !!” teriakku.

“Kakak …. Tidak !”

“Tidak !”

Suara tangis Mikasa terdengar samar olehku. Aku bisa melihat Mikasa, adik kecilku berada begitu jauh dariku. Wanita itu bersamanya. Mereka tidak menyusul kami, melainkan berjalan pergi. Menuju arah yang berbeda dariku.

“Tidak !” teriakku.

Aku tidak berdaya, aku begitu ingin menolong Mikasa namun tidak berdaya ! Dan semuanya menghilang dalam kegelapan.

(to be continue….)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights