Chapter Sixteen : Future Will Show and Tell The Truth [02]

0

Ruangan kecil diujung lorong tampak sedikit terbuka dan cahaya remang – remang keluar dari sana.

Spread the love

Dia duduk diatas kasurnya untuk waktu yang lama. Tangannya erat memeluk foto yang berada didekapannya. Sosok seorang pria tinggi dengan senyum manisnya dan seorang anak kecil yang berada dibawah rangkulannya. Dibelakang mereka berdiri sebuah rumah besar dan tampak beberapa lampu didalamnya menyala terang menebus keluar kaca.

Dia lalu melihat foto tersebut dan mengusap wajah pria tersebut beberapa kali. Bibirnya bergumam pelan mengucapkan permintaan maaf. Maaf karena tidak bisa membalaskan dendam kematiannya.
Ya, orang difoto tersebut adalah ayahnya.

Dibunuh dengan kejam dan seluruh rumahnya kini hanya tinggal puing – puing yang tidak dapat dibangun kembali. Keluarganya hanya tinggal kenangan. Dan semuanya tersimpan didalam foto kecil didepannya kini.

Dia lalu mencium foto tersebut dan meletakkannya dengan hati – hati diatas meja kayu disamping kasurnya. Pakaiannya tampak berantakan dan tidak dia pedulikan. Dia mengambil sebuah pisau lipat kecil dari laci dimeja tersebut dan menyimpannya dengan baik disaku celananya. Dipandangi wajahnya didepan cermin. Begitu berantakan dan tidak memiliki semangat hidup lagi. Dia begitu tertekan ketika mengetahui bahwa tuannya mulai tidak mempercayainya.

Dia frustasi karena tidak tahu mana hal terbaik yang harus dia lakukan. Semua niatnya sejak awal berada dikeluarga ini mulai berubah seiring berjalannya waktu. Dia menghormati tuan besarnya dan sayang pada tuan mudanya. Entah mengapa setiap kali dia melihat sosok tuan mudanya, dia selalu teringat akan masa kecilnya. Begitu kesepian dan terasa hampa.

Dia mengunci kembali kamarnya dan menyimpan kuncinya dibawah karpet didepan kamarnya. Dia berjalan seperti biasa namun tidak menyapa balik pelayannya ketika mereka menyapanya. Wajahnya tidak mampu tersenyum. Dia terus berjalan menuju kamar tuannya lalu perlahan membuka pintu kamar tuannya dengan kunci cadangan yang dia miliki. Dia masuk kedalam dan mendekati tuannya. Melihat wajah polos tuannya yang kini sedang terlelap didepannya, lalu dia mencium kening tuannya perlahan dan meninggalkannya.

Dia menuju menara itu, masuk kedalam perpustakaan dan menyalakan lampu ruangan tersebut. Ruangan itu tampak begitu rapi dan tidak ada seorangpun yang berada disana. Dia keluar dan mengambil salah satu obor dipojokan tangga dan menaikinya. Keringat mulai turun membasahi kening dan turun kepipinya. Dipandanginya setiap sel yang berada disana dan wajahnya terlihat begitu menyesal.

Ruangan kecil diujung lorong tampak sedikit terbuka dan cahaya remang – remang keluar dari sana. Dia mematikan obornya dan berjalan sepelan mungkin menuju ruangan kecil tersebut, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun.

Didorongnya pintu kecil tersebut hingga terbuka. Orang yang dia cari berada diujung ruangan tersebut, sedang membersihkan toples – toplesnya yang dipenuhi cairan aneh. Menyadari kehadirannya, sosok tersebut membalikkan badannya dan tersenyum melihat dirinya. Theo berada disana malam itu bersama Toma.

Matanya lalu segera terahli keatas meja didepannya, nona kecil berada disana, tertidur pulas. Jantungnya kini berdebar cepat, saat dia berusaha melangkahkan kakinya, terasa berat dan tidak dapat digerakan. Matanya lalu mulai liar dan memandangi Theo yang tersenyum dingin didepannya.

“Kamu adalah pelayan yang setia, dan kesetiaan tersebut telah membuatmu menjadi bodoh. Sama seperti ayahmu !”

Dia tertegun mendengarkan hal tersebut dari bibir Theo. Tangannya mengempal kuat menahan amarah yang mulai meluap didadanya. Dari sudut ruangan seorang wanita berjalan keluar dari cahaya remang – remang dan mulai mendekatinya. Dia ingin menghindar namun sekuat apapun usaha yang dia lakukan untuk bergerak dari tempatnya, dia tetap tidak bisa melakukannya.

Wanita itu, Monte. Mendekatinya dan mulai menyentuh pipinya yang dipenuhi keringat. Wanita itu mengitarinya dan satu tangannya masuk kedalam saku celananya, mengeluarkan pisau lipat yang dia bawa dan memainkannya didepan matanya. Dia hanya pasrah dan tahu bahwa kehidupannya akan segera berakhir. Hati kecilnya mengucapkan begitu banyak permintaan maaf yang tidak sempat dia sampaikan secara langsung pada tuannya.

“Jangan sakiti Mikasa, dia tidak tahu apapun. dan Theo tidak dapat dipercayai !”

Dia berbisik pada Monte.

“Habisi saja penghianat itu, Monte.” Perintah Theo terdengar jelas.

Dia lalu menatap pada Monte dan berharap bahwa setidaknya wanita itu mau mendengarkan perkataannya untuk terakhir kalinya. Wanita itu mengangkat tangannya keatas dan dia menutup matanya. Lalu semburan hangat membasahi wajahnya, dia tidak merasakan sakit apapun dan tidak terluka. Dia begitu terkejut ketika membuka matanya dan melihat wanita itu memilih untuk melukai dirinya sendiri, berusaha menghilangkan control sihir yang diberikan Theo padanya.

Theo tampak marah dan bergumam. Wanita itu lalu terangkat tinggi keatas. Dia berusaha menolongnya namun mantra Theo terlalu kuat baginya. Saat dia berpikir bahwa semuanya akan berakhir, pintu dibelakang mereka terbuka. Orang – orang berjubah hitam masuk kedalam ruangan itu. Dan tongkat itu, terbang begitu cepat dan menancap tepat didepan dada Theo.

Tanpa menoleh dia bisa tahu bahwa itu adalah tongkat tuan besarnya. Dia langsung melangkahkan kakinya dan tidak memperdulikan sekelilingnya. Menuju meja dan segera mendekap Mikasa didadanya. Dia tersungkur dan air mata kebahagiaannya jatuh begitu saja saat dia menyadari bahwa nona kecilnya baik – baik saja.

Tuan kecilnya lalu masuk dan merebut kembali Mikasa dari tangannya. Dia berusaha menjelaskan namun tuan kecilnya yang penuh amarah mengambil pisau kecilnya dan melukai pipinya dengan begitu dalam. Dengan tatapan kekecewaan, sebuah kalimat terucap dari bibir tuan mudanya, kepercayaan itu kini hilang. Semakin dia ingin menjaga kepercayaan tuannya, semakin kepercayaan itu hilang. Dan semuanya berubah menjadi kegelapan.

(to be continue…)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights