Chaper Fifteen : Story from The Blind Man [03]

0

Saat aku bersiap untuk mengetuk lebih kuat lagi, sebuah sahutan terdengar dari dalam. Mempersilakanku untuk masuk.

Spread the love

Sekolah ini masih terdiri dari 4 lantai dan tidak berubah sejak terakhir aku berada disini. Aku melewati bangunan utama sekolah dan kini berada didepan salah satu bangunan penuh kenangan masa kecilku. Gedung inilah yang menjadi tempat terakhirku bersekolah disini, gedung kesenian.

Tempat ini juga menjadi tempat dimana aku melihat ayahku mengunakan kekuatannya untuk melindungiku, sekaligus tempat dimana aku mengetahui kenyataan bahwa aku adalah anak seorang penyihir !
Bayangan Luke kecil yang berusaha membunuhku saat itu juga turut hadir. Kupercepat langkahku dan langsung melewati gedung itu tanpa berhenti ataupun mengintip kedalamnya.

Mataku tertuju pada sebuah bangunan tua kecil dipojokan kiri sudut sekolah. Letaknya tidak jauh dari gedung kesenian. Debaran jantungku terasa semakin cepat. Aku berhenti tepat didepan pintu akses bangunan ini. Awalnya aku ingin mendorong pintu kayu kecil ini dan langsung masuk kedalamnya, namun kuurungkan karena tidak ingin membuat Luke terkejut dan ingin terlihat sopan.

Kuangkat tanganku perlahan membentuk kepalan kecil dan kuketuk pintu kayu tersebut. Sekali, dua kali. tidak ada jawaban dari balik pintu ini. Saat aku bersiap untuk mengetuk lebih kuat lagi, sebuah sahutan terdengar dari dalam. Mempersilakanku untuk masuk.

Kubuka pintu kayu tersebut, ruangan ini hanya ditemani penerangan seadanya saja. Mataku dengan cepat menyesuaikan diri dengan pemandangan sekitarku. Ruangan ini dipenuhi oleh sarang laba – laba yang tebal disetiap pojokannya. Sebuah meja kecil berada ditengah ruangan dan diatasnya terdapat beberapa piringan kotor yang tampak masih baru. Beberapa gelas yang masih berisi minuman juga terletak disana.

Dipojok kiri ruangan ini ada sebuah lemari besar. Aku tidak bisa menebak isinya karena kaca lemari tersebut tertutup oleh debu yang begitu tebal. Ruangan ini memiliki suhu yang lembab. Aku mengintari ruangan tersebut untuk mencari Luke.

Kuperhatikan dapur yang berisi berbagai peralatan masak dan sebuah kulkas kecil ikut melengkapi disana. Ruangan ini memiliki dua lantai, lumayan besar untuk seseorang yang buta dan hidup sendirian.

“Aku berada didekat jendela atas, Josh.”

“Luke ?”

Aku melihat tangga yang berada tidak jauh dari dapur dan menaikkinya dengan berhati – hati. Setiap pijakanku mengeluarkan bunyi lapuk yang terdengar begitu jelas ditelingaku.

Aku sampai keatas dan melihat sekelilingku kembali. Tidak terlalu berisi seperti dibawah. Ada sebuah ruangan kecil yang sedikit terbuka dipojok kiri. Tanpa keraguan aku mendekati ruangan tersebut dan mendorong pintunya hingga terbuka. Silaunya cahaya pagi langsung menyinari wajahku, mataku tertutup secara spontan. Tidak lama kemudian aku membuka mataku kembali secara perlahan. Pemandangan sekolah berada tepat didepanku sekarang.

Ruangan ini terang karena salah satu sisi dindingnya tidak mengunakan semen seperti sudut ruangan lainnya. Melainkan kaca. Ruangan ini hanya berisi satu kasur dan lemari pakaian. Seluruh pakaian dilemarinya berwarna putih. Tanganku memegang pakaian tersebut dan sebuah dehaman membuatku terkejut.

Aku melihat Luke berada dibelakangku. Matanya kosong dan tidak diberikan lakban layaknya orang buta biasanya. Dia mengunakan pakaian putih dan bertemankan sebuah tongkat besi ditangan kanannya. Tersenyum tipis didepan pintu kamarnya.

“Luke ?”

Suaraku bergetar. Aku tidak mempercayai pemandangan didepanku. Terakhir kali saat aku berjumpa dengannya adalah ketika kami berada dipentas seni yang sama. Saat itu kami begitu kecil, dan dia begitu ingin membunuhku. Kini sosok yang berada didepanku adalah sosok yang terlihat sungguh tidak berdaya dan tidak memiliki kemampuan untuk membunuh sama sekali. Tubuhnya kurus dan rambutnya sepanjang punggung. Tidak terurus dengan baik dan kusut.

Dia berjalan mengikuti tongkatnya dan duduk dikursi tepat didepan jendela. Aku duduk dikasur dan menatap tajam padanya. Apa yang dia rasakan saat ini, aku berusaha menebak sendiri. Matanya tercongkel bersih, hanya menyisakan rongga kosong. Pasti seseorang yang sangat ahli telah melakukan pengangkatan matanya tersebut.

“Fabo yang membersihkan mataku. Terimakasih kamu telah membunuhnya, Josh.” kata Luke membuka pembicaraan.

Dia bisa mengetahui apa yang sedang kupikirkan. Kembali aku mengingat pesan Rose dimana Luke bisa membaca masa depan. Kekuatannya tidak sekedar membaca masa depan. Dia bisa membaca isi pikiran kita.

“Sudah berapa puluh tahun berlalu sejak kejadian malam itu ya, Josh ?”

Pembahasan yang tidak kusukai tetapi aku menyahutinya. Aku harus mencari tahu kebenaran akan keluargaku. Awalnya aku menjawabnya dengan santai, sesekali aku mengarahkan pembahasan kepada ayahku. Dia selalu diam dan tidak menjawab pertanyaanku ketika aku bertanya tentang Loren.

“Apakah ini perbuatan ayahku ?” tanyaku kembali.

Dia hanya diam dan menatap tepat kejendela. Tatapannya seolah bisa menebus jendela itu dan berada disalah satu kelas disana. Tangannya lalu terangkat mengarah pada sekolah dan aku mengikuti arah tangannya. Menatap tepat kearah yang dia tunjuk. Gedung kesenian.

(to be continue…)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights