Dengan helaan nafas berat, Rose akhirnya meminta diriku untuk tidak membawa namanya saat ada yang bertanya darimana aku mengetahui keberadaan Luke. Bukan syarat yang sulit bagiku, aku mulai tersenyum sambil mengulurkan jari kelingkingku, berjanji tidak akan membawa namanya jika ada yang bertanya nanti.
“Aku tidak tahu siapa anak tersebut, namun rumornya adalah ketika dia kehilangan kedua matanya, keluarganya malah mengusirnya dari rumah. Hidupnya hancur dan dia akhirnya dibiarkan tinggal disalah satu bangunan tua dibelakang sekolah ini oleh seorang guru disini. Sejak saat itu, dia sangat jarang keluar dari bangunan tersebut dan para petugas kebersihan sekolah disini yang memberikannya makanan setiap hari. Ini sudah berlangsung berpuluh tahun lamanya hingga sekarang.”
“Apa yang dia lakukan dibagunan tersebut, apakah kamu tahu ?”
“Entahlah, sebagian orang berkata bahwa dia bisa meramal masa depan hanya dengan menyentuh tangan kita. Beberapa siswa yang penasaran selalu mendatanginya untuk diramal, begitu juga dengan beberapa orangtua murid. Dan sebagian lainnya terlalu takut untuk mendekatinya.”
“Meramal masa depan.” Aku tersenyum.
“Apakah kamu mau mencobanya ?” goda Rose dengan nada manja.
Aku menggelengkan kepalaku dan kami menghabiskan minuman kami dalam keheningan. Pikiranku sibuk mencari cara bagaimana agar aku bisa segera kesana. Aku mulai berharap bahwa Roselah yang akan pamit duluan padaku.
Setelah berada dalam keheningan yang cukup mengelisahkan, ketika aku memutuskan untuk pamit duluan, Rose bangkit berdiri, membuatku mengurungkan niatku.
“Aku harus pergi sekarang. Semoga penelitianmu berjalan dengan sukses. Ingat janjimu ya.” Katanya lembut.
Dia tidak menunggu jawabanku dan langsung berjalan pergi. Aku memperhatikannya hingga berlalu dan kuhabiskan sisa teaku dengan cepat.
Pikiranku saat ini hanya berisi tentang Luke, aku akan segera bertemu kembali dengannya. Entah kenapa hatiku terasa sungguh tidak tenang. Kumasuki kawasan sekolah tersebut dengan penuh gejolak.
Saat aku mendekati kawasan sekolah, seorang penjaga datang menghampiriku. Aku sedikit terkejut dan segera menghentikan langkahku. Tanganku sedikit bergetar karena tidak tahu jawaban apa yang akan kuberikan, namun aku juga tidak ingin terlihat seperti seseorang yang mencurigakan. Aku menarik nafasku perlahan dan menatap tajam padanya.
Awalnya dia bertanya akan keperluanku kesini, aku menjawab bahwa aku sedang ingin bertemu seseorang. Dia terlihat tidak yakin dengan jawabanku. Ditambah wajahku yang begitu asing baginya, dia menghentikanku sepenuhnya dan memanggil temannya seorang lagi dari pos jaga yang berada tidak jauh dari tempat kami berdiri. Tidak ingin memperpanjang urusan, akhirnya kuputuskan untuk memberitahu mereka tujuan kedatanganku yang sebenarnya.
“Saya ada keperluan dengan Luke.”
Mereka terdiam mendengar tujuanku. Dari tingkah mereka, aku bisa menebak bahwa mereka mengenal Luke. Mereka tetap tidak memberikanku izin untuk masuk kedalam sekolah. Aku memperhatikan gelagat mereka yang mulai aneh dan terlihat tidak nyaman. Entah kenapa feelingku berkata bahwa Luke benar berada disini. Mungkin mereka ditugaskan untuk melindungi Luke dan tidak membiarkan siapapun menjumpainya.
Aku bisa dengan mudahnya mengunakan nama Rose untuk mendapatkan akses bertemu Luke, namun karena aku sudah terlanjur berjanji padanya, aku memutuskan untuk mencari cara lain. Mungkin menjual namaku akan membantuku kali ini. Kuberanikan diri untuk memperkenalkan diriku dan membawa nama keluargaku.
“Namaku Josh Pars, dan aku ada kepentingan dengan Luke. Aku harus berjumpa dengannya sekarang !” Aku berbicara dengan tegas.
Namaku membuat ekspresi mereka berubah dengan cepat. Sambil memandangi satu sama lain, akhirnya mereka saling sepakat bahwa mereka akan membiarkanku masuk. Mereka memberitahuku bahwa Luke berada dibangunan paling belakang sekolah ini, tepatnya setelah gedung kesenian.
Awalnya mereka ingin menemaniku untuk berjumpa dengannya, aku menolak mereka dengan tegas. Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali kepos jaga mereka dan membiarkanku masuk tanpa berani bertanya lebih banyak. Bahkan mereka tidak meminta kartu identitasku !
Aku mulai mengelilingi halaman sekolah ini. Sesekali aku memandang kepagar sekolah yang baru saja aku lewati, bayangan ibuku saat mengantarkanku dikala kecil tercipta dengan begitu jelasnya. Aku sadar bahwa ayahku adalah salah satu petinggi sekaligus pendiri sekolah ini, wajar nama Pars yang kubawa mempermudah aksesku untuk masuk, dan mereka terlalu takut untuk meminta data diriku.
(to be continue…)