Aku berdiri didepan pagar sekolah. Kenangan pahit masa kecilku kembali menghiasi pikiranku. Namun tekatku yang bulat untuk mencari tahu keberadaan Luke mengantarkanku kesini.
Kupandangi anak – anak yang berlalu lalang dikawasan sekolah, aku selalu berandai – andai jika aku hanya menjadi anak biasa, hidupku saat ini pastilah bahagia. Beberapa orang dewasa ikut berdiri tidak jauh dari tempatku, mereka melihat anak mereka berlari masuk kedalam kelas. Ada yang hanya sekedar mengantarkan dan langsung pergi, dan ada yang benar – benar melihat anak mereka sampai menghilang dari tatapan matanya.
“Pemandangan yang bagus ya.”
Suara seorang wanita membuatku terkejut. Wanita itu menatapku dan memberikan senyum hangatnya. Aku membalas senyumnya sekilas lalu kembali terfokus pada pemandangan didepanku.
“Aku selalu teringat akan masa kecilku setiap kali aku mengantarkan anakku kesini.”
Celotehnnya mulai membuatku terganggu. Aku lalu menatapnya dengan dingin, memberikan insyarat bahwa aku mulai tidak suka dengan celotehannya yang tidak penting.
“Ups, aku tidak berniat menggangumu. Baiklah, aku akan segera pergi.”
Dia lalu melangkah pergi meninggalkanku. Sebuah ide untuk bertanya padanya membuatku menghentikan langkahnya dengan memegang tangannya secara spontan.
“Ada apa ?!”
Dia membentakku karena terkejut.
“Bisa ceritakan sejarah sekolah ini ?”
“Lho ??”
Wajahnya berubah kebinggungan.
“Sejujurnya aku sedang mencari tahu sejarah sekolah ini, sebagai bahan penelitian.”
Spontan, kebohonganku terucap begitu saja.
Awalnya dia tampak ragu, lalu akhirnya dia mengajakku berjalan kesalah satu café terdekat dari sekolah karena tidak ingin berbicara sambil berdiri. Aku segera menyetujui ajakkannya dengan cepat.
Aku lalu memesan segelas tea hangat dan dia segelas kopi hitam, dia mengeluarkan uangnya dengan cepat dan segera membayar pesanan kami. Aku tidak protes padanya karena tidak membawa uang sama sekali. Kami lalu duduk dimeja yang posisinya sengaja mengarah kesekolah.
Kuperhatikan rambut merahnya yang menyala bagaikan api dan terurai panjang melebihi pundak, tubuhnya tinggi dan dia memakai parfum yang begitu memikat aromanya. Bibirnya tipis dipadukan dengan lipstick merah muda.
“Kenalkan, Rose.”
Dia tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Aku menyalaminya dan tersenyum kecil.
“Josh Pars.”
Kami mulai menikmati minuman kami masing – masing sambil berbagi cerita. Rose ternyata tidak memiliki anak yang bersekolah disini, dia hanya mengantarkan keponakannya saja. Aku tetap tidak menceritakan kenyataan asli keberadaanku disini, aku mengarang berbagai jawaban ketika dia bertanya tentang diriku.
Aku terus memancingnya bercerita hingga pada bagian dimana seorang anak kecil beberapa tahun silam harus kehilangan kedua matanya saat pentas seni. Hebatnya kasus itu dianggap sebagai kecelakaan biasa.
Beberapa orang yang diperkirakan berada dilokasi tersebut menyampaikan hal yang berbeda dari pemberitaan, dan beberapa orang lainnya menyatakan hal itu murni kecelakaan. Dan desas – desus kekuatan gaib disekolah mulai terdengar namun tidak secara terang – terangan.
Anak itu pasti Luke ! batinku dalam hati.
“Jadi itu adalah cerita yang benar ?”
Rose hanya diam dan menganggukan kepalanya.
“Ini bisa jadi referensi yang bagus untuk penelitianku, apakah kamu tahu dimana aku bisa menjumpainya ? apakah dia masih hidup ?”
Melihat semangat membaraku, dia akhirnya bersedia memberitahuku keberadaan Luke dengan sebuah syarat. Aku tidak keberatan terhadap syarat yang dia berikan karena keinginanku sejak pertama berada disini adalah untuk berjumpa kembali dengan Luke.
(to be continue….)