Chapter Nine : Nobody Can Be Trusted

0

Dia hanya memandangi tuan besarnya dan memandangi kembali wajah Fabo yang kini sudah tidak bernyawa.

Spread the love

Setelah membunuh Fabo, kuputuskan untuk mengunjungi Mikasa terlebih dahulu sebelum kembali kedalam kamar. Aku sempat sedikit keheranan karena rumah ini begitu sepi hari ini. tidak ada satupun pelayan yang berlalu lalang didalam rumah. Masih dengan perasaan bahagia, aku berjalan sambil bersiul pelan menuju kamar Mikasa.

Siulanku terhenti saat kupandangi pintu kamar Mikasa yang terbuka sedikit. Kupelankan langkahku dan berjalan mendekat kesana. Jantungku mulai berdebar lebih cepat seiring dengan langkahku yang semakin dekat.

<Kamu yakin mau kesana, partner ?>

Aku tidak menghiraukan dia. Aku terus mendekat kepintu kamar Mika tanpa suara dan semakin aku mendekat, aku mulai bisa mendengarkan dengan jelas suara tangis terisak seorang wanita didalamnya.

(hu….huu..)

Setelah mendengarkan beberapa kali isakan tersebut, aku yakin bahwa itu adalah Monte.

(Plak !)

Sebuah pukulan kuat terdengar olehku, dan tangisan itu terdengar semakin kuat. Kulangkahkan kakiku dan kuputuskan untuk mengintip apa yang terjadi didalam kamar Mikasa. Mataku terbelalak saat melihat Monte tersungkur dilantai dan memegangi pipinya. Ayah ! aku tau itu adalah ayahku karena dia membawa tongkat khasnya.

Tanganku bergetar dan memegangi pintu tersebut, sedang bimbang untuk masuk kedalam dan menolong Monte ataukah hanya menyaksikan dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sebuah pukulan kuat dari tongkat kembali dilayangkan pada Monte dan dia tersungkur tidak berdaya.

<Tidak ada yang bisa kamu lakukan.>

Aku terus menghiraukan Dagon dan bersiap membuka pintu saat kulihat seorang pria lainnya berjalan kesamping Monte dan membantunya. Toma ! Jariku erat mengengam pintu tersebut. uratku tegang menyaksikan kenyataan didepanku. Tidak ada Mikasa dikamar tersebut, kemana dia ! Saat aku berusaha mencari kehadiran Mikasa diruangan tersebut, pandanganku kembali tertuju kepada Monte yang kini terduduk tidak berdaya. Tiba – tiba matanya terbelalak besar memandang kearahku dan tersenyum. Dengan gemetar jarinya terangkat pelan dan memberitahu Toma bahwa aku berada dibalik pintu ini. sebelum ayahku dan Toma melihatku, kuputuskan untuk pergi dengan cepat dari sana.


Dia menoleh kearah dimana wanita itu mengarahkan jarinya, begitu juga dengan tuan besarnya. Dia akhirnya menyadari bahwa pintu itu sedikit terbuka, lalu segera berjalan kesana dan membuka pintu tersebut. Diperhatikannya dengan cermat sekelilingnya dan setelah yakin tidak ada seorangpun yang mendekat kekamar tersebut, dia menutup kembali pintu kamar tersebut. Wanita itu hanya tersenyum tanpa berkata apapun.

“Dimana Dagon !” tuan besarnya kembali bertanya kepada wanita tersebut.

Wanita itu tidakmenjawab pertanyaan tuan besarnya. Diperhatikannya tangan tuan besarnya yang semakin erat mengenggam tongkatnya, dan sebelum dia sempat menghentikan tuan besarnya, sebuah pukulan yang lebih kuat lagi melayang kewajah wanita itu. kali ini tidak hanya tersungkur, wanita itu memuntahkan darah segar. Dia segera memegang tangan tuan besarnya dan berharap tuan besarnya dapat menghentikan hal tersebut.

“Temukan Dagon, Toma !” perintah tuannya.

Dia meninggalkannya dengan wanita tersebut. Setelah tuannya pergi, dengan lembut dia memberikan tangannya dan membantu wanita itu bangkit duduk. Dikeluarkannya kain lap yang berada disaku celananya dan diberikan kepada wanita itu lalu meninggalkannya.

“Sebaiknya kamu berkata jujur pada tuan besar, nyonya.” Katanya

“Tuan, tunggu sebentar.” Dia terus berjalan dengan cepat menyusul langkah tuan besarnya.

Tuan besarnya berjalan menuju ruang belajar. Takut jika tuan besarnya ternyata sedang mencari tuan mudanya yang sedang belajar, dia memutuskan untuk menghentikan tuan besarnya agar proses belajar tuan mudanya tidak terganggu oleh kehadiran mereka, terutama saat tuan besarnya dalam kondisi penuh amarah.

“Tuan besar, maaf tapi tuan Josh sedang belajar didalam.”

Tuan besarnya hanya memandanginya.

“Apakah kamu berpikir ada orang yang belajar dalam ruangan yang gelap ?”

Perkataan tuan besarnya membuat dia sempat terkejut, dia lalu menoleh kearah ruang belajar tersebut. tidak ada cahaya apapun yang keluar dari lubang bawah pintu. Tidak yakin dengan apa yang dilihatnya, dia mengalihkan pandangannya keatas pintu dan menyadari bahwa ruangan itu sudah gelap. Dia lalu membuka pintu ruang belajar tersebut dengan tangannya sendiri.

Gelap, tidak ada siapapun didalamnya. tuan besarnya berdiri didepan pintu dan dia dengan cepat segera mencari saklar lampu ruangan tersebut. tidak dibutuhkan waktu lama, lampu ruangan itu menyala dan betapa terkejutnya dia menyaksikan bahwa ruangan tersebut begitu berantakan. Langkahnya terhenti saat dia menginjak cairan kental dilantai dan dia segera menunduk untuk memegang cairan tersebut, masih hangat. Didekatkannya cairan tersebut kehidung. Bau darah ! dia mulai panik dan membongkar buku yang tertumpuk disana, membuang secara tidak beraturan buku – buku tersebut keberbagai arah dan tersentak saat wajah pucat Fabo berada diakhir tumpukan buku tersebut. Dengan leher yang hancur, siapa yang telah begitu kejam membunuhnya, dan dimana tuan mudanya !

Tuan besarnya berjalan kesampingnya dan menyaksikan pemandangan mengerikan itu. Mereka terdiam beberapa saat disana sebelum tuan besarnya memberikannya perintah yang sungguh tidak dapat dipercayanya.

“Bersihkan mayatnya dan rapikan ruangan ini.”

Dia hanya memandangi tuan besarnya dan memandangi kembali wajah Fabo yang kini sudah tidak bernyawa. Tuan besarnya melangkah pergi meninggalkannya.

Entah kenapa, dia begitu yakin bahwa ini adalah perbuatan tuan mudanya, tapi kenapa ! Seketika dia juga mengurungkan keinginannya untuk memberitahu tuan besarnya akan penemuannya tadi pagi. Dia akan menolong tuan mudanya, apapun yang sedang terjadi pada dirinya. Dia lalu memberikan penghormatan terakhir kepada Fabo dan berjalan pergi dari sana. Membiarkan mayat tersebut berada disana beberapa saat sebelum akhirnya polisi datang untuk membawanya pergi.

Yah, dia menyatakan bahwa itu adalah murni kecelakaan dan semua orang percaya kepadanya. Seolah terhipnotis oleh setiap perkataan yang keluar dari bibir manisnya.


Aku terus berjalan dengan cepat tanpa arah. Begitu besar amarah yang kurasakan saat ini dan aku tidak tahu bagaimana aku mampu menenangkan diriku kembali. Dagon bahkan tidak memberikan komentar apapun terhadap kondisiku saat ini. Aku masih tidak mampu menerima kenyataan dimana Toma, pelayan kepercayaanku ternyata selama ini menyembunyikan rahasia yang begitu besar dariku.

Apa yang terjadi antara ayah dan Monte. Kenapa dia memukuli Monte dengan begitu kejamnya dan Toma hanya melihatnya tanpa menolong Monte sama sekali ! kemana Mikasa pergi saat ini ! Aku mulai menyadari bahwa tidak ada satu orangpun yang dapat kupercaya didalam lingkungan hidupku !

Kakiku terhenti saat kulihat menara baca yang terletak tidak jauh dariku kini. Kuputuskan untuk masuk kesana untuk menenangkan diriku. Aku tidak membunyikan lonceng seperti sebelumnya setiap kali aku ketempat ini. Secara spontan tanganku langsung mendorong pintu masuk menara ini dan dia terbuka begitu saja. Aku bahkan tidak terkejut sama sekali dan segera berjalan masuk kedalamnya. Udara lembab mulai menusuk hidungku tidak lama setelah aku berada didalamnya. Aku berjalan menuju perpustakaan tempat dimana aku suka melarikan diri.

Saat kubuka pintu perpustakaan tersebut, betapa terkejutnya aku saat melihat Theo sedang duduk disana sambil mengendong Mikasa ditangannya. Langkahku terhenti dan Theo menoleh kearahku, tidak terkejut dan tersenyum padaku.

“Hallo, Josh Pars.”

Aku hanya terpaku dalam diam.


“Saat aku berusaha sekuat tenaga melindungi keluargaku. Saat itulah keyakinanku terus diruntuhkan. Hingga akhirnya aku sadar, bahwa didunia ini yang terpenting adalah bagaimana aku bisa melindungi diriku sendiri dan bertahan hidup.”

(to be continue….)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights