Kuperhatikan jam yang berada ditempat terdekatku. Aku mulai menghentakkan kakiku perlahan disalah satu kursi terdekatku dan tanganku mulai gelisah diatas meja, memberikan pertanda bahwa jam belajarku sudah selesai. Fabo, tetap asik membacakan kalimat – kalimat yang tersusun rapi dilembaran bukunya tanpa menghiraukan kelakuanku.
“Fabo, aku sudah lelah.”
Dia tidak menghiraukanku dan terus asik membacakan setiap kalimat yang ada pada buku didepannya.
“Fabo, cukup untuk hari ini !” perintahku.
Tanganku secara spontan mengebrak meja didepannya dan membuat dia tersentak kaget.
Ditutupnya buku didepannya dan menatapku dengan tajamnya.
“Sejak kapan tuan menjadi kasar ?” tanyanya lembut.
“Sejak kamu tidak mau mendengarkanku !”
Fabo melihatku dengan tajam. Tatapannya seolah menembus diriku.
“Bolehkah Fabo mengatakan sesuatu pada tuan ?” tanyanya kembali dengan lembut.
“Silakan.”
<Bodoh ! jangan biarkan dia mendekatimu !>
Fabo turun dari tempat duduknya dan berjalan mendekatiku. Aku tidak berusaha menghindar ataupun berpindah dari tempatku meskipun suara tersebut mulai memberitahuku untuk menjauhkan diriku darinya.
“Maafkan Fabo sejenak, tuan.” Katanya
Lalu salah satu tangannya memegang tanganku. Mulutnya mulai berkomat – kamit dan matanya berubah jadi putih. Sebuah sentakan hebat membuatku bergidik namun tangannya kuat memegangku.
“Jangan biarkan dia mengontrolmu, tuan.” Kata Fabo.
“Dia siapa ?”
“Suara itu, Dagon akan bangkit dengan sempurna saat dia berhasil memasuki seluruh tubuh tuan muda. Dan tuan akan kehilangan diri tuan sendiri !” lanjut Fabo.
“Haha..” tawaku.
“Tuan ??”
“Virum stultum.” Kataku.
Bola mata Fabo kembali normal dan wajahnya kini penuh ketakutan. Pegangannya terlepas dari tanganku dan sebelum dia sempat berlari pergi, salah satu tanganku dengan kuat mencengkram lehernya. Aku mencengkramnya dengan begitu kuat hingga semua urat yang berada didalam tubuhku terasa panas.
Wajah Fabo memerah, Kkakinya menendang bebas dibawah, tidak ada satupun yang mengenai tujuannya karena terlalu pendek ukurannya. Aku bangkit berdiri, terus mencengkramnya dengan kuat dan tersenyum lebar didepan wajahnya yang kini berwarna merah padam dan mata yang terbelalak. Kudekatkan telingaku disamping wajahnya agar dapat mendengar ucapan terakhir Fabo namun sayangnya hanya ada suara tercekik dan napas yang berat.
Kudekatkan bibirku pada telinganya dan dengan lembut berbisik disampingnya.
“Aku sudah memulai permainan ini, Fabo. Dan kamu adalah orang pertama yang ingin kusingkirkan.”
Matanya semakin terbelalak setelah mendengar bisikanku. Bibirku tersenyum lebar dan cengkramanku semakin kuat.
“Bye, Fabo.” Kataku dingin.
(krak..)
Cengkraman tangan Fabo terlepas dengan lemasnya dan kakinya menghentikan setiap hentakan yang tadi dia lakukan. Ruangan ini dipenuhi keheningan. Aku telah mematahkan leher Fabo.
Kulepaskan tanganku dan mengambil kain kecil dari balik kantong celanaku. Membersihkan bekas air keringat dan ludah Fabo yang keluar saat aku mencengkramnya tadi. Kuperhatikan mata Fabo yang terbelalak dan kututup dengan lembut mengunakan tanganku.
“Terimakasih atas ilmunya, Fabo.” Kataku sambil memberikan hormat.
Aku telah mempelajari setiap seluk beluk keluargaku dari Fabo dan menguasai bahasa latin dengan cepat. Aku akan menjadi penerus keluarga yang lebih daripada ayahku !
Kuambil payung Fabo dan kurentangkannya tepat dilehernya dan kupijak dengan kuat kedua ujung sisi payung tersebut. menekan leher Fabo dengan kuatnya dan darah mengalir keluar dengan derasnya, menghilangkan jejak bahwa dia mati dibawah cengkramanku. Kuambil beberapa buku dan melemparkannya tepat diwajahnya. Kecelakaan dan terjatuh.
Aku berjalan keluar dari sana dan mematikan lampu ruangan belajar itu. Aku tersenyum dan tidak ada perasaan bersalah apapun yang menghantuiku.
<Kamu luar biasa, partner>
“Mari kita mulai permainannya, partner.” Kataku sambil tersenyum.
“Mimpi hanyalah rangkaian cerita yang terjadi dialam bawah sadar, terasa sangat nyata dan menyenangkan, hingga kita lupa akan pahitnya kenyataan.”
(to be continue….)
*Virum Stultum = manusia bodoh