Tanpa berbicara ayah memberikan isyarat kepada kami untuk makan. Jean dan Toma tampak antusias untuk memakan hidangan pembuka. Jean makan dengan semangatnya karena udang adalah salah satu menu kesukaannya, sementara Toma tampak kesulitan untuk membuang kulit makanan tersebut. Pandanganku hanya tertuju pada Jean yang makan dengan lahapnya.
Kulihat beberapa ekor udang yang berada diatas piringku. Dengan berat aku mulai menusuk salah satu udang dan memasukannya kedalam mulutku. Bibirku terasa kaku untuk kugerakan. Aku tidak melepaskan kulit udang tersebut dan langsung mengunyahnya. Hanya beberapa kali gigitan dan udang tersebut sudah hancur didalam mulutku. Aku menelannya dengan cepat.
Kuambil udang berikutnya dan memasukannya kembali kedalam mulutku dengan lebih bersemangat, ada rasa lapar yang menerjangku seketika. Aku terus makan dengan cepat dan segera meminta tambahan pada salah satu pelayan yang berada disampingku. Tidak dibutuhkan waktu lama, sepiring tambahan udang sudah diberikan kepadaku dan aku langsung melahapnya dengan cepat.
“Kamu tidak membuang kulitnya, Josh ?” ayah melontarkan pertanyaan.
<Abaikan saja !>
Tanganku terhenti seketika didepan bibirku saat suara itu kembali hadir didalam kepalaku. Kupandangi seekor udang segar didepanku dan melemparnya kemeja dengan terkejut. Ujung bibirku bersisa cairan yang keluar dari tubuh udang yang kumakan dan segera aku membersihkannya dengan kain yang tersedia. Jean dan Toma ikut terkejut melihat tingkahku barusan.
“Ada apa, Josh ?”
“Ti…”
Bibirku kaku untuk menjawab pertanyaan ayah. Aku kesulitan untuk berkata – kata.
<Lapar !>
“Diam !” jeritku.
Sekelilingku terasa hening, bisa kudengar suara tarikan nafas yang berat dari Jean yang duduk diseberangku. Toma hanya diam ditempatnya dan dengan takut aku melihat keayahku yang bangkit berdiri dan berjalan ketempatku.
“Tuan, mohon maafkan tuan muda.” Toma bangkit berdiri dari tempatnya.
Aku tidak bergerak dari tempatku saat ayah berjalan mendekatiku. Aroma khasnya tercium begitu kental. Toma berdiri diam ditempatnya dan wajahnya mengambarkan kecemasan akan diriku. Ayah memandang Toma lalu berahli pada diriku.
“Pandang aku.” Perintah ayah.
Aku tidak bisa mengangkat wajahku dan melihat kearahnya meskipun hati kecilku begitu ingin melakukannya. Aku kehilangan control akan diriku sendiri.
“Pandang aku !” suara ayah meninggi.
Bibirku terbuka namun tidak bersuara, badanku kaku dan jari jemariku tidak dapat kugerakan. Dengan kasarnya tangan ayah mencengkram leherku, mataku hidup memperhatikan Toma dan Jean yang mulai memasang kuda – kuda mereka untuk menolongku dan terhenti saat ayah mengangkat tangannya lalu mengeluarkan suara lantangnya sambil melihat kearahku.
“Diam ditempat kalian !” ayah memberikan perintah.
Dia terus mencengkramku dan aku tidak terbatuk, apa yang terjadi, apa yang harus kulakukan. Aku bahkan tidak merasakan kesakitan apapun dari cengkraman ayah. Bibir ini tersenyum kaku seiring dengan bertambah kuatnya cengkraman ayah padaku.
<Mari kita bunuh dia !>
Suara itu mulai kembali merasuki kepalaku, tanganku bergerak dengan sendirinya dan berusaha kutahan namun tidak berdaya. Bergerak dengan cepat dan mengambil salah satu pisau dapur yang berada disampingku lalu melayangkannya dengan cepat kepada ayahku. Tangan ayah menangkapku dan dengan mudahnya dia menjatuhkan pisau yang berada ditanganku. Ayah, tolong aku… jeritku dalam hati.
<Manusia lemah !>
Cengkraman kuat itu memaksakan kepalaku untuk berputar melihat kearah ayah. Dengan tatapan kaku dan dingin, ayah mengeluarkan pertanyaan yang tidak pernah aku percayai.
“Siapa kamu !” tanya ayah.
Aku anakmu, Josh. Tolong aku ayah ! Ada sesuatu yang sedang berusaha mengendalikan tubuhku !
“Quis es !” nada bicara ayah mulai berubah.
Perlahan hembusan angin yang begitu dingin mulai terasa disekujur tubuhku dan memenuhi ruangan ini. Semua orang berdiri mematung.
“A….k…” saat aku berusaha sekeras tenagaku untuk menjawab, tiba – tiba sekelilingku menjadi gelap.
(to be continue….)
*Quis es ! = Who are You !*