“Prohibere tempus !” suara yang jauh dari bangku penonton.
Luke terhenti pada posisinya dan tidak bergerak sama sekali. Aku terpana namun tidak kubiarkan keterkejutanku bertahan lama karena aku segera mencari cara untuk melepaskan diri dari Luke.
engan leluasa dan kulihat ayahku bangkit dari tempat duduknya. Bertumpukan pada tongkatnya dia berjalan mendekat dan naik keatas panggung. Theo mengikutinya dan ibuku hanya duduk ditempatnya. meneriaki diriku sendiri dan jariku bergerak sedikit demi sedikit.
Ayah menoleh kearahku, wajahnya dingin dan dia tidak berkata apapun. Dia lalu menatap Luke, bisa kulihat mata Luke mencerminkan ketakutan. Sebelah tangan memegang tongkat dan satu tangannya mencengkram leher Luke. Urat tangannya terlihat jelas dan Luke mulai terbatuk dan sesak. Ayahku mencengkramnya dengan kuat dan mengangkatnya tinggi keudara. Theo mengangkatku dan membawaku pergi dari atas panggung. Seluruh orang yang berada disana hanya diam, tidak bergerak namun bisa kulihat mata mereka penuh ketakutan. Ayahku adalah penyihir !
Kami sampai dirumah dan Theo langsung membawaku masuk kekamarku. Tidak berdaya karena badanku masih terasa kaku, aku hanya bisa memperhatikan Theo dari jauh, dia pergi dan tidak dibutuhkan waktu lama dia segera kembali dan memberikanku minuman yang berwarna hitam pekat. Dengan lembut Theo mengambil pipet dan membuka mulutku. Aku menelan minuman itu dengan susah payah. Beberapa tegukan akhirnya membuatku mampu mengerakkan kembali tubuhku secara perlahan. Theo lalu meninggalkanku buru – buru.
bagaimana aku harus menghadapi teman – temanku besok jika benar bahwa ayahku adalah penyihir. Mereka akan membunuhku. Aku meringkuk dibalik selimut dan berharap bahwa kejadian malam ini hanyalah mimpi. Perlahan aku mulai terlelap. “Berikan mereka kamar !” “Masakan mereka sesuatu yang hangat !” Kubuka mataku dengan berat karena keributan yang terjadi diluar kamarku. Aku menuruni kasurku dan membuka pintu kamarku. Dinginnya udara malam menerpaku dan bisa kulihat beberapa pelayan sibuk mondar mandir. Aku menarik pakaian salah satu pelayan yang lewat didepanku.
“Ada apa ?” tanyaku pelan.
“Tuan besar membawa anak kecil kesini, jadi kami harus segera menyiapkan kamar serta makanan buat mereka.” katanya.
Aku melepaskan peganganku dan pelayan tersebut pamit. Jatungku berdebar dan berpikir mungkin ayahku membawa Luke kerumah ini. Aku berjalan keruang tamu dan dari kejauhan dapat kulihat seorang anak laki – laki dan seorang anak perempuan. Dengan pakaian lusuhnya dan rambut tidak teratur, pasti mereka adalah gembel jalanan yang dibawa pulang oleh ayah. Kuberanikan diriku untuk mendekati mereka. Ayah menoleh kearahku dan tangannya memberikan intruksi agar aku duduk disebelahnya. Dengan perasaan ragu dan sedikit takut, aku berjalan kesana, mengikuti perintah ayahku dan duduk disampingnya.
“Josh, mereka akan menjadi keluarga baru kita.”
“Mereka siapa, ayah ?” tanyaku pelan.
“Namaku Toma. Toma Oan, penerus keluarga Oan generasi ke-14.” Jawab Toma cepat.
“Apakah dia adikmu ?” tanyaku kembali sambil melirik anak gadis yang sejak tadi tertunduk.
Rambut panjangnya menutupi wajahnya dan kedua tangannya mengempal kuat diatas lututnya. Gaun putihnya tampak kusam dan sudah sobek.
“Bukan tuan muda.” Jawab Toma sopan.
“Perkenalkan dirimu !” seru ayahku.
Gadis itu tampak terkejut mendengar suara ayahku, kepalan tangannya dilepas dan dia mengangkat wajahnya, aku berusaha melihat wajahnya. “Jean.” jawabnya singkat.
“Josh, mulai hari ini dan seterusnya, Toma akan berlatih disini dan menjadi kepala pelayan Pars. Sementara Jean, dia akan belajar menjadi seorang putri keluarga Pars.” Ayah mengakhiri percakapan kami malam itu dan meninggalkan mereka berdua.
“Jean berasal darimana ayah ?” tanyaku sambil mengikuti ayah. Dia tidak menjawab pertanyaanku dan terus berjalan.
“Ayah, bagaimana dengan Luke ? apa yang sebenarnya terjadi ?” Ayah menghentikan langkahnya, tetapi tetap tidak menjawabnya.
“Ayah, apa yang harus aku lakukan besok disekolah ?” tanyaku lagi.
Aku mulai berlari kedepannya dan menatap wajahnya. Tatapannya dingin dan matanya memancarkan kemarahan.
“Josh, mulai besok kamu tidak akan bersekolah lagi.” Katanya.
“Kenapa ayah !”
“Karena kamu lemah !” jawabnya dingin,
Dia lalu melanjutkan langkahnya dan meninggalkanku sendirian bertemankan gelapnya malam.
“Ketika dia yang begitu aku kagumi hanya menganggap aku sebagai anak yang tidak berguna baginya. Apakah aku harus menyerah dan membiarkan kekecewaan itu menelanku selamanya ?”
(to be continue….)