Chapter Twenty Seven : Epilog [Last Part]

0

Tangan keriput itu perlahan terlepas dari genggaman mereka. Bibirnya tersenyum lembut dan nafasnya satu – satu.

Spread the love

Iringan tepuk tangan meriah menjadi penutup kisahnya malam itu. Dia menutup buku biru tua didepannya dan dipandangi sekelilingnya. Dipojokan aula itu duduk Marlin, mama angkatnya dan kedua saudara tirinya, Male dan istrinya juga Mola beserta 2 orang keponakannya. Terlihat dengan jelas mereka menangis penuh keharuan akan kisah yang disampaikannya malam itu. Mereka tidak melewatkan malam peluncuran buku terbarunya. Dia memberikan senyum terbaik kepada mereka dan melambaikan tangannya pertanda dia menyadari kehadiran mereka diaula itu.

Setelah keramaian massa yang berusaha mendapatkan tanda tangan atas peluncuran buku barunya mulai pergi satu persatu, Marlin mendekatinya dan memeluknya dengan erat.

“Kamu menulisnya dengan baik, nak.”

“Aku bangga padamu Rihan.”

Sambung Male dari belakang diiringi dengan istrinya dan juga Mola beserta 2 keponakannya. Mereka saling berpelukan lama dan bertukar keharuan. Dia tidak bisa membayangkan kehidupannya tanpa kehadiran mereka. Ibunya, Risa Will telah meninggal tidak lama setelah beberapa jam melahirkannya. Sementara ayahnya, Hanze Will masih berada dirumah sakit yang sama dan hingga kini tidak bisa dipastikan kapan kesadarannya. Namanya sendiri diambil dari nama depan ibunya dan juga ayahnya.

“Terimakasih telah hadir dipeluncuran buku terbaruku. Aku tidak tahu akan jadi apa diriku tanpa kehadiran kalian.”

“Tidak, kami yang sungguh berterimakasih padamu. Kamu telah membuat mama kita tetap hidup didalam hati kita lewat buku itu.”

Mereka saling bertukar keharuan sebelum hp Rihan berbunyi. Dia melihat panggilan tersebut yang datang dari rumah sakit dan berjalan sedikit menjauh dari keluarganya. Hatinya berdebar kencang sebelum akhirnya dia mengangkat panggilan tersebut.

“Ya hallo.”

“Selamat malam, dengan saudara RIhan ?”

Tanya seorang suster dari balik telepon tersebut.

“Iya benar.”

“Kami ingin memberitahukan kondisi bapak Hanze Will.”

Suasana sekitarnya terasa dingin. Bibirnya kaku dan darahnya terasa berhenti mengalir didalam tubuhnya.

“Ada apa sus ?”

Jawaban suster tersebut membuat airmatanya terjatuh. Bibirnya kini bergetar hebat seolah tidak percaya akan apa yang baru dia dengar. Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, dia mematikan telepon itu dan berlari cepat menghampiri Marlin lalu memeluknya dengan erat.

Dengan keheranan sekaligus cemas, Mola berusaha bertanya kepada Rihan akan apa yang baru saja terjadi.

“Ada apa Rihan ?”

Dia tidak menjawab pertanyaan Mola, membuat mereka semakin cemas.

“Rihan, ada apa. Kok kamu menangis begini ?”

Setelah dia berhasil mengatur seluruh emosinya, dia melepaskan pelukan eratnya dan berusaha berbicara meski terbata – bata.

“Dia sadar Ma… “

“Dia siapa ?”

“Dia… papaku.”

Tangis kebahagiaan meledak dari diri Rihan. Mereka yang mendengarkan hal tersebut terdiam dan menangis. Setelah suasana mereka semua membaik. Rihan mengambil buku diary biru itu dan mereka bergegas kerumah sakit.

25th Hanze dirawat disana dan hari itu, setelah kisahnya dibagikan untuk khalayak ramai. Hanze Will membuka kembali matanya. Mereka semua masuk kedalam kamar itu dengan mata sembab. Membuat pria tua itu melihat mereka dengan keheranan. Matanya tidak terbuka lebar namun tangannya menunjuk Marlin dengan jelas.

Marlin mendekatkan telinganya, berusaha mendengarkan apa yang ingin disampaikan pria itu.

“Ri… sa…”

“Ini aku, Marlin.”

Mata pria itu berusaha keras memandang sekelilingnya namun sosok yang ingin dia lihat tidak ada disana.

“Ri.. sa.. di… mana..?”

Tidak sanggup menahan segala emosi yang berada dibenaknya. Rihan berjalan mendekati pria itu dengan tangis yang berusaha keras dia tahan. Dia berjongkok disamping kanan kasur pria itu dan berbisik lembut kepadanya dengan suara bergetar.

“Mama sudah tiada pa… ini aku Rihan. Anak papa..”

“Ri… han..?”

Dia lalu menunjukan buku diary biru kusam kepada pria itu. Pria itu memegang buku diary itu dengan tangan gemetar dan dibukanya halaman terakhir diary itu. Diusapnya foto kusam yang berada disana dan airmatanya jatuh dari penghujung mata. Dia lalu memandangi sekelilingnya dan menyuruh mereka mendekat semuanya.

Tangan keriputnya berusaha menjangkau kepala Rihan dan diusapnya beberapa kali dengan lembut. Dia lalu menoleh kepada Male dan Mola yang berada disamping kiri kasurnya dan melakukan hal yang sama. Lalu dia tersenyum kepada Marlin dan kedua cucunya yang berada diujung ranjangnya.

“Tugasku.. sudah …. Selesai…”

“Pa, jangan tinggalin Rihan.”

Ucapannya bergetar, berusaha menahan tangisan yang siap meledak kapan saja.

“Jangan tinggalin kami lagi. Kumohon.”

Male dan Mola mengenggam tangan Hanze, tidak ingin melepaskannya kali ini.

“Pa.. maafin Male ya Pa..”

Hanze tampak mengangguk pelan mendengar ucapan anaknya itu.

“Pa.. jangan tinggalin Rihan..”

Mereka semua mengenggam erat tangan papanya, tidak ingin kehilangan sosok itu lagi. Namun kehidupan tidak pernah berpihak kepadanya.

“My.. way… back to… Risa..”

Pria tua itu lalu memejamkan matanya. Tangan keriput itu perlahan terlepas dari genggaman mereka. Bibirnya tersenyum lembut dan nafasnya satu – satu. Tidak lama kemudian, layar monitor itu bergaris datar dan meninggalkan bunyi yang memecahkan tangisan dimalam itu.

∞ The End ∞

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights