Iringan lembut bunyi yang keluar dari monitor pasien itu sudah menjadi bagian hidupnya. Dia menikmati paginya disana sambil memandangi wajah Hanze yang tidak pernah bangun setelah kecelakaan itu. Keluarga Hanze dan Risa mulai mengunjungi Hanze disana silih berganti namun tidak membawakan perubahan yang berarti.
Kedua anaknya juga terkadang menginap disana menemani ayah tiri mereka karena dirinya kini sudah tidak bisa terlalu kelelahan. Fokusnya saat ini bukan hanya pada Hanze saja, melainkan pada calon anak mereka. Dengan lembut dia mengelus perutnya yang kian hari kian bertambah besar sambil bergumam pelan.
“Aku ingin kamu memiliki jiwa seperti ayahmu kelak.”
Matanya sembab setiap kali membayangkan apa yang telah mereka lalui. Dia telah mempersiapkan segalanya, seolah tahu bahwa dia tidak akan melewati masa dimana dia akan membesarkan anaknya tersebut. Dipegangnya tangan Hanze dan didekatkan perutnya pada tangan tersebut, dia ingin anaknya merasakan tangan hangat ayahnya itu.
Dia lalu mengambil buku diary Hanze dan membuka kembali sisa beberapa halaman terakhir yang belum terbaca olehnya. Pikirannya membawa dia pergi jauh kemasa dimana Hanze pertama kali melamarnya. Pria itu menulis dengan detail setiap perasaan suka dan dukanya saat bersama Risa. Malam dimana dia menolak lamaran pria itu merupakan malam yang paling menyakiti perasaannya. Dia bahkan tidak tahu harus memulai kembali ataupun meninggalkannya saat itu.
Hati kecilnya selalu berkata bahwa Risa adalah sosok yang tepat baginya. Pria itu bahkan tidak tahu alasan kenapa dia begitu mencintai Risa. 3 hari setelah penolakan lamaran tersebut, Hanze mendatanginya dirumah dan mengajak Risa berbicara. Disana dia memahami alasan kenapa Risa menolaknya malam itu. Karena Risa tidak siap untuk kembali berumah tangga dan memiliki anak. Hatinya saat itu terasa begitu gelap.
Dia begitu ingin memiliki keturunan bersama Risa, namun dia juga tidak ingin kehilangan Risa hanya karena mereka memiliki perbedaan dalam hal anak. Baginya, Risa adalah segalanya. Dia akan mengorbankan impiannya itu asalkan Risa bersama dirinya. Akhirnya mereka mendapatkan kesepakatan dimana Hanze tidak akan memaksakan keinginan Risa. Cincin itu kembali diberikan Hanze padanya dan saat itulah dia menerima lamaran Hanze.
Mereka tidak memperdulikan pendapat keluarga mereka dan lalu setelah pernikahan mereka, mereka akhirnya tinggal bersama dirumah yang telah Hanze beli dengan kerja kerasnya. Baik Male ataupun Mola mendapatkan kamar mereka masing – masing. Hanze juga tidak pernah menganggu Risa, dia menyibukkan dirinya dikantornya dan diam – diam dia mendonorkan spermanya. Dia tidak ingin membuat Risa sedih ataupun marah. Dia memendam segala hal sendiri dan meluapkannya didalam buku tersebut.
Dia membalikkan halaman terakhir catatan diary itu dan menemukan sebuah kata yang seketika membuat tangisnya meledak begitu saja. “Way Back to You.”
Tertulis dengan tinta hitam tebal dan berisikan beberapa poin :
- Aku tidak boleh egois ketika dia tidak ingin melakukan sesuatu
- Aku tidak akan membuatnya cemas dengan memberitahukan sakitku padanya
- Aku ingin dia hidup bahagia, aku harus mengasuransikan diriku agar tidak merepotkannya kelak
- Aku begitu ingin dia memiliki anak bersamaku, namun aku tidak ingin memaksanya.
- Aku berharap jika suatu hari seseorang menemukan buku ini, sampaikan pada Risa bahwa aku begitu mencintainya. Apapun yang terjadi, aku selalu menemukan jalan untuk kembali padanya, karena aku sungguh mencintainya
Selembar foto mereka berempat tertempel dibawahnya disertai dengan “The End” tepat dihari pernikahan mereka. Dia tidak pernah menulis satupun catatan sejak hari itu. Dia lalu menutup buku tersebut diiringi airmata dan mencium kening Hanze. Dia meletakkan buku itu dengan rapi disamping kasur suaminya sebelum pergi dari sana.
(to be continue…)