((tok.. tok….))
“Tuan ..” panggil Toma pelan dari balik pintu.
Aku tidak menjawab panggilannya. Dia terus mengetuk pintu kamarku dan memanggilku berulang kali.
“Tuan, sebentar lagi guru les private tuan akan tiba.”
Dia terus membujukku.
“Tuan, jika tuan masih sibuk bermalas – malasan saat tuan bes…”
((brak !!!))
Kubuka pintu kamarku dan kubantingkan dengan keras. Seluruh pelayan yang berada didalam rumah tampak terkejut. Toma tetap tenang dan tidak berekspresi sama sekali terhadap sikapku.
“Cerewet !” kataku sambil berjalan keluar dari kamarku menuju ruang belajar khusus. Toma mengikutiku tanpa banyak berkomentar.
Ruang belajar khususku berada dilantai 2 rumah ini. Ruang ini hanya kupakai saat ada kelas belajar bahasa seperti saat ini. Tergolong besar untuk diriku sendiri. Didalamnya berjejer berbagai macam buku kuno dan buku bahasa lainnya. Bisa dikatakan seperti perpustakaan mini didalam rumah.
Sebuah meja dan empat buah kursi kayu yang diukir khusus terpajang indah didalamnya bertemankan sebuah lampu penerang jika ada yang membaca ataupun menulis didalam sini. Ruangan ini dulunya adalah tempat ayah. Kini ruangan ini sudah resmi menjadi milikku sejak ayah tidak pernah menginjakkan kakinya lagi disini. Toma selalu menunggu diluar ketika kelas belajarku bersama Fabo dimulai.
Tidak dibutuhkan waktu lama Fabo masuk kedalam ruangan belajarku. Dia berusia sekitar 30than dan tergolong pendek. Tubuhnya memiliki gen aneh yang membuatnya tidak bertambah tinggi layaknya orang normal. Hidungnya tergolong mancung dan dia suka membawa payungnya kemanapun dia berjalan. Hanya didalam ruangan saja dia menutup payungnya namun tetap meletakkannya didekat dirinya.
Itu adalah payung keluarganya secara turun temurun. Fabo merupakan guru secara turun temurun keluarga Pars, tidak jauh berbeda dengan Toma yang mengabdi secara turun temurun.
“Tuan, anda kelihatan lelah untuk belajar.” Fabo melirikku sambil berusaha menjangkau beberapa buku dirak terdekat.
“Perasaanmu saja.” Kujawab dengan datar dan berdiri untuk membantunya mengambil buku yang dia inginkan.
Kami lalu duduk bersebelahan seperti biasa. Dia mulai membuka bukunya dan mengajarku dengan piawai sambil sesekali menyisihkan lelucon dan kisah aneh agar aku tidak bosan.
“Tuan, anda benar kelihatan lelah.” Fabo kembali mengulang perkataan pertamanya setelah 30 menit kegiatan belajar kami berlalu.
“Apa yang perlu aku lelahkan Fabo ?” Aku mulai tertarik pada dirinya.
“Fabo bisa melihat kedalaman hati seseorang tuan.” Jawab Fabo.
“Oh ya ?” aku semakin berminat.
“Kalau begitu, apa yang kamu lihat didalam hatiku sekarang ?”
Fabo diam dan tidak menjawab pertanyaanku. Tangannya membolak – balikkan buku yang ada.
“Fabo, sebagai tuanmu, jawab pertanyaanku !”
Fabo menatapku, tidak berkedip. Kutatap balik bola matanya dan baru kusadari bahwa Fabo memiliki bola mata yang berbeda dari orang normal lainnya. Segera kubuang pandanganku darinya karena ada rasa mual yang menyelimutiku seketika. Aku tidak pernah memperhatikannya dengan begitu dekat selama ini.
“Fabo melihat kegelapan tuan.” Jawabnya dingin.
Fabo lalu berdiri dari tempatnya. Disusunnya kembali buku yang tadi diambil ketempatnya dan mengambil payungnya setelah buku sudah tersusun rapi.
“Pelajaran hari ini cukup sampai disini tuan. Kita akan lanjutkan begitu hati tuan sudah membaik. Fabo pamit dulu, tuan.” Katanya sambil berlalu.
Aku hanya memperhatikan dia berjalan keluar ruangan, Toma menemaninya tanpa banyak bertanya. Aku mulai memikirkan arti perkataan Fabo, mungkin aku sudah bersikap tidak sopan padanya. Membuang pandangan saat seseorang sedang menatap kita bukanlah hal yang sopan. Aku harus minta maaf padanya besok.
Pikiranku terasa begitu lelah. Apa yang sebenarnya terjadi pada diriku hari ini. Perasaan putus asa akan apa yang harus kulakukan dan siapakah diriku mulai kupertanyakan.
<bunuh saja mereka. Bodoh !>
Suara itu kembali memenuhi kepalaku. Aku berusaha membuka mataku namun terasa begitu berat untuk dibuka.
<Bunuh mereka dan selesaikan masalahmu satu persatu !>
Suara itu terdengar lebih jernih, seolah berada didekatku saat ini. Aku berusaha membuka mataku dan secerca cahaya terlihat olehku. Cahaya yang masuk dari pintu yang terbuka dan seseorang yang tinggi dengan mantel hitamnya sedang berjalan dari kejauhan mendekatiku.
Aku berusaha mengerakkan badanku, kursi ini menahanku untuk berdiri dan berlari. Aku tidak bisa melihat sosok itu dengan jelas namun dia berjalan semakin mendekatiku.
<bunuh !>
Sosok itu semakin dekat dan semakin dekat. Sekelilingku mulai terasa panas dan kegelapan itu terasa semakin pekat.
“Pergi !!” aku mulai berteriak.
Sosok gelap itu tidak berhenti dan terus mendekat.
Siapa dia, apa yang dia inginkan ! Pria didalam mantel hitam itu, aku tidak bisa melihat wajahnya, hanya seukir senyuman dibibirnya. Dia akan membunuhku, tidak. Aku tidak ingin mati saat ini ! tidak !!
“Tidak !! tidak !!” teriakku semakin keras.
Seseorang tolong aku ! siapapun itu, tolong aku !!
<kamu ingin pertolongan ?>
Suara itu hadir kembali dalam kepalaku, aku tidak bisa berpikir panjang lagi.
“Tolong aku !!”
<kamu akan melakukan apapun sesuai keinginanku ?>
“Tolong aku ! apapun itu !”
<Bagus… >
Sosok itu berhenti didepanku, aku tidak bisa melihat wajahnya, hanya ada kegelapan yang kurasakan. Dingin, kelam dan tidak bersisa apapun. Sosok itu menunduk kearahku, dan semua terasa hampa.
Ya, dingin dan hampa.
“Dia tidak datang disaat kita meminta pertolongannya. Dia datang disaat kita menjadi lemah dan terombang – ambing oleh keraguan jiwa.”
(to be continue….)