Udara disekitarku berubah menjadi lembab dan dingin. Langkahku terhenti saat kulihat pintu menara hanya tersisa beberapa langkah. Disekitarku hanya terdapat beberapa pelayan yang sedang membersihkan halaman. Mereka terlihat berjarak dari menara ini.
Meskipun aku hanya mengunakan perpustakaannya saja, aku pernah melihat sebuah terowongan panjang dipojokan kiri perpustakaan. Aku tidak tahu kemana ujung terowongan ini tersambung karena aku tidak pernah berjalan kesana. Adanya terowongan tersebut terkadang membuatku berpikir rumah ini seperti rumah penyihir dari dunia dongeng. Dan setiap kali aku menceritakan hal tersebut kepada ibuku, dia hanya akan tertawa geli, dan ayahku sendiri hanya akan diam jika berada disana saat aku sedang bercerita.
Dia tidak pernah memberikan komentar apapun tentang ceritaku, dan dia juga tidak pernah memperkenalkan sejarah keluarga Pars padaku. Padahal aku adalah calon penerusnya secara sah. kami sangat jarang berbicara berdua.
Menara ini memiliki 14 lantai dan seluruh dindingnya terbuat dari batu alam black oral. Udara yang lembab dan warna bangunan terkesan kelam namun tak lapuk dengan mudah. Bel pintu tempat ini juga unik. Jika dirumah utamaku sudah mengunakan bel modern yang akan berbunyi cukup dengan satu tekanan, dimenara ini aku harus mengoyangkan tali yang terjulur dari sebuah lempengan berbentuk kepala singa sebanyak 3x goyangan kiri kekanan.
Belakangan aku selalu kesini sebelum kelas bahasaku dimulai. Toma tidak pernah mencariku sampai kesini dan aku selalu melewatkan kelas pelajaranku dengan cemerlang. Aku tidak pernah benar – benar menyukai pelajaran bahasa latinku, namun karena keluarga Pars harus menguasainya, aku terpaksa harus belajar sejak dini. Namaku tercatat sebagai penerus yang paling lama menguasai bahasa tersebut karena aku sering bolos. Kupikir mereka akan mengerti maksud dari bolosnya diriku sehingga tidak memaksaku untuk mempelajarinya lagi, namun ternyata aku salah. Jika hal lainnya bisa aku lewatkan dengan bermalas – malasan. Kali ini aku sungguh tidak bisa mengelak. Aku bahkan tidak tahu kenapa kami harus mempelajarinya.
Aku mulai mengoyangkan tali itu beberapa kali sambil mengintip dari salah satu lubang kecil didepan pintu. Tidak ada seorangpun didalam menara. Ini kesempatanku untuk masuk dari belakang menara ini secara diam – diam ! Entah kenapa pikiran tersebut terbesit begitu saja didalam kepalaku.
Aku berlari kecil memutari menara ini dan mulai mencari pintu masuk lainnya. Tidak dibutuhkan waktu lama aku sudah kembali lagi pada pintu masuk utama dimana tadi aku mengoyangkan tali. Binggung dan seakan baru tersadar, menara ini hanya memiliki satu pintu akses ! bagaimana bisa menara dengan 14 lantai ini sama sekali tidak memiliki pintu cadangan ataupun tangga darurat ! Saat kupandangi kembali lempengan kecil berbentuk kepala singa didepan pintu tersebut, seperti terasa ada yang berbeda. Wajah singa ini terlihat berbeda dari sebelumnya. Aku berusaha memperhatikannya dengan lebih jelas sebelum seseorang akhirnya mengejutkanku dengan suara dinginnya.
“Sedang apa tuan disini ?”
Theo tepat dibelakangku !
Pria tersebut berusia 40th dan berambut hitam pekat tanpa uban pada usianya. Theo tergolong tinggi melebihi Toma sekitar 180cm dan berkulit putih pucat. Dia jarang berbicara dan kesehariannya hanya didalam menara. Jika dia keluar, berarti ada sesuatu yang dia kerjakan khusus sesuai permintaan ayah saja.
“Oh, aku mau keperpustakaan.” Jawabku santai.
“Tuan ada kelas jam 10 nanti kan ?” Theo melirik jam tangannya.
“Iya, aku hanya sebentar didalam.” Aku berusaha menyakinkannya. Gelombang suaraku terdapat getaran, pasti dia menyadarinya.
“Tuan, mohon jangan membolos kelas bahasa tuan. Saya tidak akan mengizinkan tuan masuk kesini lagi, kecuali saat tuan benar – benar tidak memiliki jadwal lainnya.” Tegas Theo.
Aku terdiam didepannya sesaat sebelum akhirnya aku meninggalkan Theo tanpa banyak berkata – kata. Bagaimana dia bisa mengetahui kebiasaanku kesini adalah untuk memboloskan diri, tidak mungkin dari Toma ! karena sejak awal pertemuan Toma dan Theo, mereka bisa dikatakan adalah dua pribadi yang bertolak belakang. Aku tidak pernah melihat mereka berdua bersama. Sekedar bertegur sapa saja tidak pernah ! jadi sungguh mustahil jika Toma mengadu pada Theo.
Aku melanjutkan langkahku kerumah utama sambil kulirik jam kecil yang terpasang rapi ditangan kiriku. Masih ada sekitar 30 menit sebelum kelasku dimulai. Aku memutuskan untuk mengunjungi Mika terlebih dahulu.
Dapat kulihat kamar Mikasa terbuka pagi ini, siapa yang mengunjunginya sepagi ini ? aku berjalan dengan cepat menuju kamar Mika.
“Ayah ?” sapaku begitu melihat bahu orang yang kuhormati.
Dia tidak menoleh kearahku. Disampingnya berdiri seorang wanita yang bisa kutebak berumur sekitar 35th. Rambutnya pendek sebahu, matanya bulat dan warna kulitnya sedikit coklat. Kuperhatikan dia sesaat dan segera duduk disamping kasur Mika.
“Ini Monte, mulai hari ini dia akan jadi pengasuh sah Mikasa.” Kata ayah singkat.
Kupandangi wanita itu kembali dan dia tersenyum padaku. Sebelum aku sempat memberikan pertanyaan kepada wanita itu, ayah bangkit berdiri dan mengajakku keluar kamar Mikasa. Aku menurutinya dan meninggalkan Mikasa bersama Monte.
“Josh, Ayah harap kamu bisa sopan pada Monte. Dia berasal dari keluarga penjahit baju keluarga kita. Kebetulan karena dia hidup sendiri dan bersifat keibuan, ayah ingin dia yang menjaga Mikasa.” Kata ayah.
“Sebagai pengasuh ?”
“Tidak, sampai saatnya tiba, ayah ingin kamu berpura – pura bahwa dia adalah mama Mikasa.” Tegas ayah.
“Tapi yah.. bagaimana mungkin .. !!”
“Cukup ! ayah ingin kamu menjalankan tugasmu dengan baik ! ayah tidak ingin Mika mengetahui kenyataan bahwa kelahirannya kedunia telah mengorbankan hidup ibunya !” bentak ayah.
Aku tidak melawan perintahnya lebih dari itu. Matanya liar memandangiku dan segera berlalu meninggalkanku. Aku paham arti kehilangan yang dirasakan oleh ayah, begitu juga diriku. Membawa orang asing untuk dijadikan mama palsu bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan kepala keluarga. Perintah ayah adalah mutlak. Aku tahu bahwa aku harus menentangnya untuk hal ini, namun tidak tahu bagaimana caranya. Hanya dengan sekali bentak saja, aku sudah takut padanya.
<bunuh wanita itu !>
Sebuah suara datang memenuhi kepalaku. Tidak !
<bunuh saja !>
“Tidak !!” teriakku.
Kupandangi ayah yang menghentikan langkahnya sekejab dan kembali meneruskan langkahnya tanpa menoleh kearahku. Ayah pasti mendengarnya ! Ayah pasti berpikir aku menentangnya ! bagaimana aku menjelaskan padanya bahwa ada suara aneh didalam kepalaku ini ! Aku segera masuk kedalam kamarku dan meminum air suci yang disediakan Toma untukku.
Kubenamkan kepalaku didalam bantal dan berusaha mengatur keseimbanganku. Suara tersebut memberikanku perintah untuk melakukan sesuatu, dan terkadang perintah tersebut sungguh tidak sesuai dengan keinginanku, tetapi hasrat yang begitu kuat selalu memenuhi diriku untuk melakukannya, dan aku menikmatinya.
“Tidak peduli seberapa besar tempat tinggal yang dimiliki, dan seberapa banyak pelayan yang berada didalamnya. Semua akan terasa hampa tanpa kehadiran seorang Ibu didalamnya.”
(to be continue…)