Dia termenung setiap pagi dibalkon kamar itu. Dia selalu berpikir bahwa hidupnya pasti bisa lebih baik jika sejak awal dia tidak menjadi wanita yang begitu jahat. Semua orang yang dia sakiti selalu memaafkan setiap kesalahannya, tetapi kali ini, dia bahkan tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Dia tidak bisa memaafkan setiap kejahatannya pada Hanze.
Keputusannya untuk merawat Hanze dirumah sakit tanpa kepastian sudah menjadi keputusan akhirnya, meskipun beberapa pihak berkata bahwa dia bodoh, tetapi keyakinannya akan Hanze akan pulih mengalahkan setiap opini orang. Yang dia butuhkan bukanlah sejumlah uang banyak yang ditawarkan, melainkan sosok Hanze yang bisa membuatnya tersenyum sekaligus menangis setiap saat.
Pintu kamarnya terbuka, Marlin masuk dan berjalan mendekati Risa. Ditempelkannya segelas latte hangat kepipi Risa, membuat khayalannya buyar seketika. Sejak hari terakhir mereka berkelahi, mereka menjadi 2 sahabat yang saling mendukung. Keputusan untuk membiarkan Hanze tetap dirumah sakit tidak lepas juga dari pendapat Marlin. Mereka telah mempertimbangkan segala hal dengan matang. Risa yang awalnya tidak ingin memberitahu Marlin akhirnya mampu mengalahkan keegoisan dirinya. Dia sadar bahwa bukan hanya dia satu – satunya orang yang mengharapkan kesadaran Hanze.
Mama Hanze sudah tiada 2 tahun lalu setelah pernikahan mereka, sementara keluarga Hanze yang lain bisa dikatakan tidak peduli sama sekali terhadap hidup Hanze, terutama setelah keputusannya menikahi Risa. Kini saatnya bagi Risa untuk menjaga dan berada disampingnya. Hanya mama Hanze lah yang menerima hubungan mereka dan stroke telah membawanya pergi selamanya.
Keluarga Risa juga tidak ada yang mendukung hubungannya dengan Hanze. Dia tidak terlalu memperdulikan hal tersebut. Kini baginya, Hanze adalah satu – satunya orang yang dia butuhkan. Mama Risa terkadang berkunjung kerumahnya ketika dia berada dirumah sakit, sekedar membantu Mola membersihkan rumah atau memasak. Hal itu diketahui RIsa ketika Mola membawakan makanan dengan rasa masakan yang sama dengan mamanya. Perlahan mamanya mulai berbicara kembali dengannya lewat saluran telepon, ikut menyemangati Risa dan berharap Hanze bisa segera pulih.
Setelah mereka selesai menikmati kopi mereka masing – masing, Risa lalu memberikan file yang diberikan Marlin beberapa hari lalu perihal sperma Hanze. Tanpa keraguan Marlin mengambilnya. Tidak hanya keputusan akan kehidupan Hanze yang telah dia tentukan, melainkan juga tentang memiliki anak. Awalnya Marlin tidak yakin akan keputusan Risa yang ingin memberikan kesempatan kepada bibit Hanze untuk tumbuh dalam kandungannya. Resiko kehamilan diusia Risa akan membahayakan nyawanya. Namun melihat keyakinan Risa yang tidak surut akhirnya membuat Marlin mendukung setiap keputusan yang akan diambil Risa.
“Kamu akan selalu bersamaku sampai akhirkan, Marlin ?”
“Tentu saja. Kita akan melewati ini bersama – sama !”
“Aku ingin kamu menjadi ibu baginya jika aku tidak berhasil melewatinya.”
“Jangan berkata yang aneh – aneh !”
Mereka lalu duduk saling berpandangan dalam hening, menunggu kedatangan Male untuk mengantikan mereka menjaga Hanze hari itu. Semua sudah mereka rencanakan dengan baik, mereka akan pergi kerumah sakit itu bersama untuk memasukan sperma Hanze kedalam rahim Risa, jika berhasil, maka sperma itu akan berbuah dan memberikan Risa keturunan asli dari Hanze. Jika gagal, maka Risa akan kehilangan kesempatannya untuk bisa memiliki anak bersama Hanze.
Menunda kehamilannya ketika Hanze masih sehat juga menjadi salah satu penyesalan terbesar Risa. Dia tidak mampu memaafkan dirinya sendiri. Kedua anaknya ikut mendukung keputusan Risa ketika dia memberitahu mereka bahwa mereka mungkin akan memiliki adik lagi. Pria itu tidak hanya memberikan cintanya selama ini, melainkan juga seluruh raga dan hatinya dengan tulus. Hal yang sungguh dia harapkan adalah keberhasilan pembuahan tersebut.
Ketika Male datang, mereka meninggalkan Hanze dan Male didalam kamar itu. Sepanjang perjalanan mereka diisi oleh keheningan. Mereka sampai kerumah sakit tempat dimana Hanze memberikan spermanya. Risa bisa melihat sepanjang koridor rumah sakit itu dipenuhi oleh pasangan yang penuh kecemasan. Ada yang tertawa, ada juga yang menangis terisak – isak. Membuat hatinya semakin sedih ketika membayangkan kembali bagaimana dia memperlakukan Hanze saat mereka berumah tangga dulu.
“Kamu pasti kuat Risa.”
Marlin menggengam tangan Risa sebelum dia masuk kelaboratorium itu. Marlin sudah mengatur perjumpaan mereka dengan dokter spesialist yang akan menangani seluruh proses pembuahan Risa.
“Terimakasih Marlin. Aku tidak tahu akan menjadi apa saat ini jika tidak ada kamu.”
“Nanti saja berterimakasihnya, kamu sudah siap masuk kedalam ? Aku hanya bisa menemanimu sampai disini. Aku akan menunggu dikoridor luar.”
“Iya.”
Mereka lalu berpisah dan Marlin berjalan kesalah satu kursi panjang yang berada didekat meja resepsionis. Risa menghela nafas panjang lalu memutar pintu ruangan itu. Dia mempertaruhan segalanya pada proses pembuahan itu.
Dia terus memandangi detik – detik yang bergerak sangat pelan diarloji tangannya. Dokter itu sibuk membaca data – data yang ada dilayar monitornya sambil sesekali berdeham pelan. Beberapa lembar dokumen juga dia printkan. Meskipun dia tidak mengerti, tapi dia yakin bahwa hasil testnya tidak ada masalah.
Well, Risa menjalani serangkaian hasil test terlebih dahulu dilaboratorium terpisah untuk bisa mencek rahimnya terlebih dahulu, umur Risa yang sekarang pastinya akan sangat tidak direkomendasikan untuk hamil lagi.
Setelah menunggu agak lama, dokter itu tersenyum lembut. Perasaan gelisahnya sedari tadi terasa semakin menerkam.
“Apakah ibu sudah siap mendengarkan hasil testnya ?”
“Iya.”
“Keadaan rahim ibu masih bagus untuk pembuahan. Tetapi saya tidak menyarankan anda untuk melahirkan secara manual nantinya karena beresiko diusia anda yang sekarang Ibu.”
“Tidak masalah ! Kapan kita bisa mulai ?”
“Untungnya ibu sedang berada dalam masa subur. Jadi bisa dimulai segera mungkin. Dan juga ada beberapa dokumen yang harus ibu isi terlebih dahulu dan saat proses berlangsung, ibu harus memiliki seorang kerabat sebagai saksi.”
“Dia sedang menungguku diluar ! Aku akan memanggilnya !”
Risa keluar dari ruangan itu dengan perasaan yang sungguh bahagia. Dia berlari menghampiri Marlin yang berada didekat resepsionis dan langsung memeluknya dengan kuat. Dia tidak memperdulikan pandangan orang – orang disekitar mereka.
“Kita bisa memulai proses pembuahannya Marlin !”
Jerit Risa histeris. Semakin membuat sekeliling mereka memandangi mereka dengan perasaan yang berbeda. Marlin tersenyum dan segera menarik Risa menjauh dari kerumunan orang yang melihat kearah mereka.
“Risa ! Kamu lihat – lihat situasi dong. Nanti kita dikira pasangan L !”
“Iya maaf. Aku terlalu bahagia untuk memikirkan pendapat orang lain saat ini.”
“Jadi, kapan bisa dimulai kata dokternya ?”
“Hari ini juga ! Itu sebabnya aku membutuhkanmu sebagai saksiku.”
“Baiklah. Ayo kita lakukan sama – sama demi Hanze !”
Mereka berjalan dengan semangat kembali keruangan dokter itu. Dokter lalu memberikan beberapa dokumen kepada mereka dan setelah membaca berbagai poin yang tertera disana, Risa menandatangani dokumen itu dan menyerahkannya kembali kepada dokter.
Sebuah jarum suntik disiapkan dan sebotol kecil sperma Hanze dipanaskan. Mereka menunggu dengan begitu semangat, sesekali Marlin berbisik lembut ditelinga Risa bahwa semua akan baik – baik saja dan pembuahan itu pasti akan berhasil. Setelah sperma tersebut sudah cukup matang untuk dimasukan kedalam rahim Risa, dokter meminta Risa mengangkat kedua kakinya dan mereka memulai proses pembuahan tersebut bersama – sama.
She is the one who can accept whoever I love,
She is the one who always support me no matter how hard my life.
She fight really hard and now she rest really in peace.
I will always love you, mom.
(July 14, 2015)
(to be continue…)