Dia kembali kekantornya setelah jam kerja selesai dan melihat wanita itu sudah tidak ada disana. Dia melihat meja wanita itu kini tampak bersih. Dia membuka laci dan lemari yang biasa dipakai oleh wanita itu untuk meletakkan berbagai perlengkapannya, semuanya kosong. Dia lalu mencari ke toilet dan berlari kelapangan dan dia tetap dia menemukan Risa dimanapun. Parkiran mulai kosong, motor Risa jelas sudah tidak berada disana. Dia kembali ketempatnya dan memungut sisa kertas yang dia sobek pagi itu.
Perasaan sedih meliputi seluruh dirinya. Dia lalu menyatukan kembali serpihan kertas itu dan memasukannya kembali kedalam amplop baru. Dia mengambil ponselnya lalu mengirim pesan kepada Risa bahwa besok dia harus datang kekantor dan mereka akan bicarakan masalah itu. Dia begitu ingin menjadi bagian dari hidup Risa. Dia hanya tidak tahu bagaimana cara menyampaikan perasaannya tersebut.
Sore itu dia pulang lebih awal. Dia parkir sembarangan dihalam rumahnya dan langsung masuk kedalam kamarnya. Ibunya tampak cemas melihat putranya yang begitu murung dan memutuskan untuk menghiburnya. Ketika Hanze menceritakan masalahnya, ibunya mengelus kepalanya dan meminta Hanze untuk memberikan Risa waktu berpikir. Tentunya bagian dimana dirinya menaruh perasaan pada Risa tidak dimasukkan kedalam ceritanya tersebut.
Dia makan dengan tidak semangat dan tatapannya hanya tertuju pada layar ponselnya, berharap RIsa membalas pesannya. Dia mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa meskipun perasaannya sungguh tidak tenang. Setelah semua pekerjaan selesai, dia kembali mengirimkan pesan kepada Risa. Tidak hanya Risa kali ini, melainkan Karen juga. Dia meminta agar Karen membujuk Risa agar tetap masuk kerja. Bukan cara yang baik jika berhenti mendadak seperti itu.
Mereka tidak merespon apapun hingga tengah malam. Hanze berusaha bertahan didepan layar ponselnya malam itu, tetapi matanya sungguh sudah tidak mampu. Dia bertekat untuk melupakan Risa jika pesannya tidak dibalas. Hatinya terasa perih karena baginya, memohon seperti itu terasa bukan dirinya sendiri. Dia lalu tertidur dengan ponsel didekapan dadanya.
Getaran lembut ponsel didekapan dadanya membuatnya terbangun. Dia berpikir bahwa itu adalah pesan dari Risa ataupun Karen namun ternyata itu adalah getaran alarmnya. Dia tidak menemukan pesan apapun dari mereka pagi itu. Wajahnya tidak tersenyum, hatinya terasa perih. Dia pergi kekantor lebih cepat hari itu.
Surat didalam amplop itu akhirnya dikirimkan kepada Kenny tanpa menelponnya terlebih dahulu. Dia lalu menghapus nomor Risa dan Karen dari ponselnya dan pikirannya terasa begitu kacau. Putus asa akan rasa sakit yang tertancap dalam hatinya, dia memutuskan untuk membenci Risa. Dia membuang perasaan sayangnya pada wanita itu dan memulai kembali harinya seolah Risa tidak pernah hadir dalam hidupnya.
[Sungguh aku tidak pernah menduga hal ini akan terjadi. Ketika perasaanku mulai tumbuh, ketika rasa itu mulai ada, dan ketika itu juga aku kembali disakiti. Aku tahu mungkin aku bukanlah sosok idaman dia, tetapi apa yang sudah aku lewati bersama dia, apakah tidak berbekas sedikitpun didalam hatinya ? Aku sadar bahwa aku adalah satu – satunya orang yang petut disalahkan karena terlalu menaruh perasaan padanya. Aku hanyalah orang asing bagi dia, dan jikapun dia menerimaku, aku hanya akan menjadi orang asing bagi kedua anaknya. Lebih baik aku melupakannya. Lebih baik aku menghapus segala kenanganku bersamanya. Lebih baik aku membencinya !]
(to be continue…)