Part Sixteen : Decided

0

Kecelakaan pagi itu membentur kepalanya dengan kuat, menyebabkan otaknya benar – benar tidak berfungsi lagi.

Spread the love

4 hari berlalu sejak dia menerima surat – surat yang diberikan oleh Richard padanya. Hari ini dia akan memberikan jawaban kepada Richard tentang keputusannya. Kedua anaknya mendukung dirinya dan setuju akan keputusannya. Dia tidak akan bersikap egois kali ini. Hal utama bagi dirinya saat ini adalah kesadaran kembali Hanze. Dia membahas hal ini dengan kedua anaknya, tidak ada satupun hal yang ingin dia sembunyikan lagi dari mereka berdua.

Pintu terbuka saat dia sibuk memandangi langit dari jendela kamarnya. Marlin datang tidak lama setelah Risa mengirimkan pesan padanya bahwa ada hal penting yang ingin dia bicarakan dengan wanita itu. Marlin datang dengan penampilan santai disertai 2 gelas kopi ditangannya pagi itu, dia lalu memberikan 1 gelas latte pada Risa, kopi kesukaannya, lalu dia duduk disamping Risa.

“Bagaimana keadaan kamu ?”

“Baik. Terimakasih kopinya.”

“Ada perkembangan sama Hanze ?”

“Tidak ada…”

“Ada apa ? Kamu membuatku cemas lewat pesanmu.”

Risa diam sejenak dan meminum kopinya. Dia menatap Marlin lalu matanya berganti menatap Hanze. Awalnya dia ragu untuk membicarakan topik yang sudah dia siapkan sejaka semalam, tetapi hari itu dia sudah membulatkan niatnya bahwa dia tidak akan bersikap egois lagi.

“Kamu tahu Risa, kamu selalu bisa menceritakan apapun padaku.”

Marlin mengenggam tangan Risa dan matanya tajam menatap Risa. Ucapan Marlin memantapkan hati Risa untuk memberitahu Marlin apa yang sesungguhnya sedang dia rasakan dan tidak bisa dia tahan lagi.

“Apakah kamu masih mencintai Hanze ?”

 Pertanyaan Risa membuat Marlin terdiam tanpa kata. Wajah Marlin berubah seketika saat Risa melontarkan pertanyaan itu. Dia terlihat seperti sosok yang berbeda dalam hitungan detik. Genggaman tangannya juga terlepas dengan cepat.

“Maksud kamu ? Jangan gila deh !”

Risa tidak menjelaskan maksud pertanyaan itu, tetapi dia bangkit berdiri dan menunjukan buku diary Hanze pada Marlin, wanita itu kini terdiam kaku didepan matanya.

“Aku menemukan buku diary Hanze, dan aku tahu semuanya, Marlin.”

Marlin mengigit bibirnya, mencengkram erat kedua lututnya yang tampak bergetar hebat.

“Itu sudah lama, Risa !”

“Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya padaku ? Bahkan dihari pernikahanku, kamu tampak mendukungku dan baik – baik saja.”

“Aku tidak ingin membicarakannya, Risa !”

“Dalam keadaan begini, aku harus tahu !”

“Kamu tidak akan pernah tahu betapa dalamnya Hanze mencintaimu dan kamu hanya mementingkan dirimu ! Kamu tidak tahu bagaimana aku bisa terus bertahan saat orang yang aku cintai lebih memilih orang yang tidak punya hati ! Bagian apa yang ingin kamu tahu, Risa !”

Marlin menjerit histeris. Matanya berkaca – kaca tampak berusaha menahan airmata yang sedikit lagi akan terjatuh. Risa hanya diam, tangannya erat mengenggam buku diary Hanze.

“Dia mengorbankan begitu banyak hal demi kamu, tidak pernahkah kamu memikirkan hatinya ! Dengan mudah kamu bilang tidak ingin memiliki anak dengannya dan dia tetap menerimamu ! Bahkan hingga hari ini kamu tahu dia telah menyiapkan segala hal buat kamu jika dia mati ! Aku sudah muak Risa ! Aku muak dengan semua hal yang kamu lakukan ! Puas !”

Airmata Marlin tidak tertahankan lagi. Matanya memerah dan dia bangkit berdiri. Sebelum dia keluar dari kamar itu, Risa mengejarnya dan memeluk Marlin dengan erat dari belakang. Risa memeluk Marlin dengan begitu erat meskipun Marlin berusaha keras melepaskan dirinya dari pelukan Risa. Marlin meronta sekuat tenaga dan airmatanya jatuh tidak tertahankan.

“Lepaskan !”

Risa tidak melepaskan pelukannya meskipun tangan Marlin kuat menghantam wajahnya berkali – kali. Dia tidak akan membiarkan sahabat satu – satunya yang dia miliki itu pergi. Dia tidak bermaksud mengungkit masa lalu, dia hanya ingin bertanya dan mengetahui kenyataan.

“Aku minta maaf karena tidak pernah melihat hal itu. Aku minta maaf karena selalu mengadukan kekesalanku dengan Hanze padamu. Aku minta maaf karena aku adalah orang yang terlalu egois. Aku hanya ingin mengetahui kenyataan disaat terakhir ini. Hanya itu !”

Marlin berhenti melawan, dia mendengarkan Risa yang terisak dibelakangnya. Pelukannya tetap kuat. Mereka berdua menangis bersama didalam ruangan itu sejadi – jadinya pagi itu.

Setelah mereka puas melampiaskan segala kemarahan dan kesedihan mereka. Akhirnya mereka kembali duduk dengan tenang. Marlin lalu mengeluarkan beberapa lembar surat yang ingin dia berikan kepada Risa sejak hari pertama Hanze berada dirumah sakit.

“Aku memang menyukai Hanze, tetapi aku lebih sayang padamu. Perasaan sukaku pada Hanze sudah aku kubur lama sekali ketika aku sadar akan setiap perjuangan Hanze demi mendapatkan kamu.”

Marlin lalu meletakkan surat – surat itu diatas kaki Risa. Surat – surat itu berasal dari salah satu rumah sakit terkenal. Marlin mulai menjelaskan pada Risa bahwa sebenarnya Hanze sudah tahu bahwa ada hal yang tidak benar dibagian otaknya, namun dia memilih untuk tidak mengobatinya karena tidak ingin menghabiskan uang yang dia miliki dan membuat Risa cemas. Kecelakaan pagi itu membentur kepalanya dengan kuat, menyebabkan otaknya benar – benar tidak berfungsi lagi. Jadi tidak sepenuhnya Risa harus menyalahkan dirinya sendiri.

“Kenapa kamu tidak memberitahuku ?”

“Aku sudah berjanji padanya tidak akan memberitahukan apapun kecuali keadaan terpaksa. Bisakah aku meneruskan bagian terberat ?”

“Apalagi yang harus kuketahui ?!”

Marlin membuka lembar pertama surat diatas kaki Risa. Disana tertulis dengan jelas nama Hanze Will sebagai pendonor.

“Apa yang dia donorkan !”

Risa memucat, namun Marlin tetap terlihat tenang dan membalikkan halaman berikutnya. Risa terperanga membaca tulisan yang tercetak diatas kertas itu. Matanya terbuka lebar tidak percaya akan apa yang tertera dikertas itu.

Marlin lalu menjelaskan dengan tenang bahwa ketika pernikahan mereka terjadi, Hanze yang sadar bahwa Risa tidak ingin memiliki anak lagi dengannya mendonorkan spermanya kepada salah satu rumah sakit. Disana tertera nama Risa WIll jika suatu hari istrinya ingin memiliki anak dengannya. Tetapi jika Risa tetap pada keputusannya hingga berusia 45th, maka sperma itu akan didonorkan kepada pasangan yang ingin memiliki anak.

“Dia sungguh mencintaimu, Risa. Jangan membuat keputusan yang salah ya.”

Marlin mengakhiri percakapannya dan bangkit berdiri.

“Jadi, apa yang ingin kamu sampaikan padaku tadi ? Rasanya jadi aku yang bercerita.”

“Tidak ada. Terimakasih banyak akan semua hal yang telah kamu berikan padaku dan juga Hanze.”

Dia tidak mampu melanjutkan pertanyaannya pada Marlin, tentang pilihan yang diberikan pengacara itu padanya, pasti akan menjadi berat ketika dia harus mendengarkan jawaban Marlin. Dia tidak ingin goyah akan keputusan awalnya. Tidak menceritakan pada Marlin akan lebih baik. Setidaknya kedua anaknya sudah mengetahui pilihan tersebut.

Risa lalu mengiringi Marlin hingga kepintu depan. Sebelum Marlin benar – benar pergi, dia memeluk Risa dengan eratnya dan berbisik lembut ditelinganya.

“Aku ingin kamu memiliki anaknya. Setidaknya biarkan jiwanya terus hidup didalam kehidupan kita ya.”

Marlin melepaskan pelukannya dan mengusap airmatanya yang tersisa. Dia pergi dari rumah sakit itu dan membiarkan Risa sendirian dengan seribu pertanyaan didalam hatinya.


I really want my own kid,
She marry me but she didn’t want it,
I didn’t know why I walk into this hospital,
I try to not crying,

I give my sperm and keep them here,
I really hope that one day, when I was gone,
My kid will rise and grow up,
Even if Risa rejected it,
Someone will rise them like their own.
I just wish it would be Risa.

(November 07, 2003)


(to be continue….)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights