Part Fiveteen : Marlin !

1

Sorry to abadone her,
Sorry to like her,
And sorry to myself to have a feeling.

Spread the love

Berhari – hari berlalu sejak dia terakhir berbicara dengan Hanze. Dia tidak mengerti kenapa atasannya itu mulai menjaga jarak dari dirinya sejak obrolan terakhir mereka. Tidak hanya itu, jika dia melakukan sebuah kesalahan kecil, maka emosi Hanze akan meledak dengan cepat, seolah pria itu sudah tidak menyukai kehadiran dirinya disana.

Terhanyut dalam pikirannya yang kacau, dia tidak sengaja menjatuhkan gelas Hanze dan membuat gelas itu pecah berantakan. Pria itu bahkan tidak mengeluarkan sepatah katapun. Hanze hanya keluar dari kantornya dengan membanting pintu kantor secara keras. Airmatanya jatuh sembari mengumpulkan serpihan – serpihan kaca yang berserak dilantai kantor. Dia tidak mengerti apa yang membuat pria itu mulai menjauhinya.

Siang itu Marlin menjemputnya dipabrik, mereka membuat janji untuk makan siang bersama. Jarak kantor Marlin hanya beberapa menit dari tempat kerjanya. Chat sederhana mereka telah membawa mereka kepada pertemuan kembali setelah sekian lama. Mengetahui bahwa Risa bekerja didaerah sekitar kantornya, Marlin memutuskan untuk menjemputnya siang itu.

Marlin adalah sahabat satu – satunya yang dia miliki. Mereka sempat berkelahi hebat ketika dia memutuskan untuk menikahi Yoki. Marlin beranggapan bahwa Yoki adalah pria brengsek dan dia tidak mendengarkannya. Setelah pernikahannya berujung perceraian, Marlin kembali menceramahinya. Dia tidak mampu menerima berbagai macam celoteh kala itu sehingga dia memutuskan untuk pergi dari kehidupan Marlin.

Mereka sudah berteman sejak SD kelas 1, persahabatan itu sungguh ada didalam hidup Risa. Dia bahkan tidak membutuhkan teman lainnya. Cukup bersama Marlin, dia bisa menyelesaikan semua masalahnya karena Marlin adalah sahabat yang serba bisa selama ini. Kehilangan dia tentunya akan menjadi beban bagi dirinya, karena emosi sesaat kala itu, dia menjauhi Marlin dan ketika dia berusaha mengirim pesan kepada sahabatnya itu untuk berbaikan, dia disambut dengan baik.

Tidak hanya kembali berbaikan, Marlin juga membantu dia menjaga anak – anaknya ketika harus kerja lembur dan tidak jarang Marlin mentraktirnya makan. Sungguh sahabat yang tidak akan dia temukan dimanapun. Dia memutuskan tidak akan mengabaikan nasehat Marlin lagi. Memang nasehat sahabatnya itu terkadang kejam dan tidak manusiawi, tetapi semua yang Marlin katakan selalu benar dan itu semua tidak lain adalah demi kebaikannya juga.

“Bagaimana suasana kantor hari ini ?”

Sahut Marlin ketika Risa membuka pintu mobilnya.

“Sama saja. Hanze tidak bercakapan denganku dan ironisnya, ketika aku tidak sengaja memecahkan gelasnya, dia tidak marah dan berkata apapun. Dia keluar dari kantor dan membanting pintu ! Sebentar lagi aku pasti akan gila lin !”

“Kamu ga tanya dulu baik – baik ?”

“Bagaimana mau tanya, dia selalu buang muka ketika aku memanggilnya. Dan begitu aku melakukan sedikit saja kesalahan, dia langsung marah. Aku bahkan tidak tahu ada salah apa sama dia !”

Risa selalu mengeluarkan semua emosinya pada Marlin. Terkadang dia sadar bahwa dia tidak mungkin melampiaskan semua kekesalan dan masalahnya pada Marlin, tetapi dia tetap saja melakukannya.

“Itu perasaan kamu saja.”

“Apa ?! Ini bukan perasaan aku saja Marlin. Kamu kan tidak berada disana, kamu tidak tahu apa yang aku lihat dan rasakan !”

Marlin menghentikan mobilnya mendadak, membuat Risa terkejut. Marlin lalu memandang serius kearah Risa dan expresinya menunjukan bahwa dia sedang tidak ingin dibantah kali ini.

“Kamu bahkan terlalu egois untuk mendengarkanku ! Aku juga punya batas kesabaran menghadapi segala celotehmu yang tidak masuk akal !”

Kata – kata Marlin terasa begitu tajam menusuk hatinya. Biasanya Marlin tidak pernah begitu. Jika dia melakukan kesalahan fatal, Marlin baru akan memarahinya. Jika dia sekedar bercerita keluh kesah, biasanya Marlin hanya akan menjawab dengan santai.

“Aku juga bisa mengalami hari – hari buruk. Mungkin itu yang dirasakan oleh bos kamu. Jadi tidak semua hal bisa dengan mudah kamu kaitkan dengan kepentingan dirimu saja. Belajarlah mengerti seseorang sebelum kamu kehilangan mereka !”

“Berhari – hari ?”

“Kamu kan tidak tahu seberapa besar masalah yang dia alami, Risa !”

Risa tidak menjawab lebih lanjut amarah Marlin. Marlin tidak pernah berkeluh kesah tentang apapun padanya selama ini. Dia pasti juga sangat membutuhkan perhatian dan teman berbagi keluh kesah. Marlin benar. Dia sudah menjadi orang yang sangat egois dan hanya selalu memikirkan dirinya setiap saat.

“Maafkan aku. Aku tidak bermaksud begitu. Tetapi aku tidak masalah kehilangan pekerjaanku, apapun itu selain kamu. Kamu jangan pergi ya dari hidupku. Maafkan aku yang egois ini.”

Risa berusaha memperbaiki suasana dan membujuk Marlin.

“Aku tidak ngomongin kamu kok.”

“Lho.. Ohh maksudnya..”

“Uda lah, yuk kita makan.”

Perbincangan mereka terhenti ketika Marlin kembali menjalankan mobilnya. Risa sadar bahwa tadi adalah curhatan Marlin. Dia tahu bahwa Msrlin pernah memiliki seorang lelaki yang begitu dia sukai dan kebersamaan mereka tidak berjalan mulus. Lelaki itu tidak memiliki perasaan yang sama pada Marlin. Sejak saat itu, dia tidak pernah bertanya apapun kepada Marlin perihal kehidupan cintanya. Jikapun dia membahas, maka Marlin akan menganti topiknya dengan cepat. Sungguh lelaki yang tidak tahu diri, batin Risa dalam hatinya.

Mereka sampai disebuah café tidak jauh dari kantor mereka. Setelah mendapatkan posisi yang mereka sukai, mereka memesan makanan tanpa saling bertanya dan sibuk dengan ponsel masing – masing. Risa merasa tidak enak kepada Marlin.

“Kamu masih marah sama aku ?”

“Hmm ?”

Marlin menjawab tanpa melihatnya, matanya sibuk pada tombol ponsel yang berada didepan matanya. 

“Kamu membuatku merasa terabaikan dengan ponselmu.”

“Sama halnya ketika kamu sibuk dengan keegoisan dan rasa benarmu. Mungkin karena itu juga bos kamu malas ngomong lagi sama kamu.”

“Kok kamu jadi belain dia gitu sih. Kamu teman dia atau aku sih ?!”

Marlin tidak menjawab pertanyaan Risa. Dia mematikan ponselnya ketika pesanan mereka mulai disajikan. Mereka menghabiskan makan siang mereka dalam keheningan.

“Kamu tidak membuatku lebih baik hari ini.”

“Oh iya sorry, bukan dokter.”

Semakin Risa mencoba mengexpresikan perasaannya, semakin pula Marlin membuatnya menjadi lebih kesal. Marlin membayar tagihan makan siang itu dan mereka memutuskan untuk kembali kekantor tanpa berbicara.

Ketika sampai dipabrik Risa, pintu mobil tidak dibuka Marlin. Sahabatnya lalu mengenggam tangannya dengan lembut.

“Aku tidak marah sama kamu. Terkadang rasa selalu benarnya kamu membuat orang kesal berada disekitarmu. Minimal kamu minta maaf saja sama bosmu. Jikapun dia tidak ingin berbicara padamu lagi, setidaknya kamu sudah minta maaf, dan itu akan membuat hatimu lebih lega, ok ?”

“Aku bahkan tidak tahu harus minta maaf karena apa !”

“Minta maaf kan tidak musti selalu ketika kita ada salah. Seperti aku misalnya, maaf yah sudah mengabaikanmu dengan sibuk sama ponselku. Tadi aku bahas kerjaan penting.”

Risa tampak canggung karena rasa bersalahnya telah menuduh Marlin mengabaikannya tanpa mengetahui apa topik yang sedang dia kerjakan diponselnya. Sedikit berdeham, Risa akhirnya menurunkan keegoisannya.

“Iya. Maaf juga aku selalu melampiaskan segala hal padamu.”

Marlin tersenyum dan mengacak – acak rambut Risa seperti biasa lalu membuka pintu mobilnya. Mereka sudah berbaikan kembali dan Risa turun dari mobil dengan perasaan yang setidaknya lebih baik meskipun dia tidak mengerti kenapa Marlin sempat begitu kasar padanya tadi.

Setelah melihat Marlin berlalu, dia menghembuskan nafasnya dengan berat lalu berjalan kedalam kantornya. Hanze seperti biasa sibuk didepan laptopnya dan tidak mengubris kehadirannya sama sekali. Dia telah memutuskan untuk mengikuti nasehat Marlin dan menurunkan tingkat keegoisannya. Bagaimanapun juga Hanze adalah atasannya disana.

“Saya minta maaf jika ada salah pada bapak.”

Katanya lantang, membuat Hanze melirik kearahnya. Dia juga mengunakan Bahasa yang sopan.

“Meskipun saya tidak tahu apa kesalahan saya, saya minta maaf. Akan lebih baik lagi jika bapak mengatakannya daripada menjadi bisu. Terimakasih.”

Dia tidak menunggu tanggapan atasannya itu. Dia segera mengambil file yang berada dipojok mejanya dan bergegas pergi dari kantor itu. Setelah kata – kata itu terlontar, hatinya terasa lebih bebas dan tidak terbebani lagi.


Well, it’s been 4 day after we didn’t speak to each other,
She come to me after lunch break and say sorry to me even when she didn’t know what part she doing wrong.
It’s not her, it’s mine.
I should be the one who say sorry to her.

Sorry to abadone her,
Sorry to like her,
And sorry to myself to have a feeling.

(January 19, 1988)


(to be continue…)

Spread the love

1 thought on “Part Fiveteen : Marlin !

  1. whoiah thi blog is excellent i really luke studying your posts.

    Stayy up tthe good work! Yoou understand, many people aree searching round for thiis info, you could
    aid them greatly.

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights