Last Chapter : Love

0

Tanpa banyak bertanya, aku memakan roti tersebut. terasa lembut dengan cream vanilla didalamnya.

Spread the love

Perlahan kubuka mataku, meskipun terasa berat, samar – samar aku bisa merasakan cahaya masuk kemataku. Penglihatanku perlahan – lahan mulai pulih. Aku bisa melihat cahaya matahari masuk melalui sela – sela gorden jendela yang terbuka sedikit. Angin berhembus pelan masuk kedalam ruangan ini. mataku melihat sekeliling ruangan yang berwarna ungu muda ini. kuangkat tanganku yang masih terpasang jarum infus. Dimanakah aku ? sudah berapa lama aku berada disini.

Tidak jauh dari tempat aku terbaring, tea hangat dan beberapa roti sudah tersedia disana. kulihat jam disalah satu pojokan dinding, sudah mengarah pada jam 9 pagi. Aku berusaha bangkit berdiri dari tempat tidurku, lalu duduk diatas ranjang ini. kupandangi sekelilingku yang sepi. Ruangan ini hanya berisi diriku sendiri, dan ini bukanlah rumah sakit.

Aku harus keluar dari sini ! kucoba mencabut jarum infus yang berada ditanganku. Terasa sakit. Ini bukan mimpi. Saat aku berusaha melepaskan jarum infus, suara pintu terbuka membuatku terkejut, aku berpura – pura tidur dan menyembunyikan tanganku yang sudah tidak terpasang infus kebalik selimut.

Aku bisa melihat bayangan orang itu berjalan masuk kedalam kamar ini. aku berpura – pura memejamkan mataku, dan menunggu. Mungkin jika dia melihatku masih tertidur, dia akan pergi, itulah saatnya bagiku untuk melarikan diri dari sini.

Dia mendekat kearahku. Menarik sebuah kursi tidak jauh dari sana dan duduk didepanku.

Tangannya lembut membelai kepalaku, dan aroma tubuhnya, terasa begitu familiar bagiku.

“Mikasa…” suaranya pelan.

Josh. dia masih hidup. Perasaan lega seketika menghampiriku.

Kubuka mataku dan melihat dengan jelas Josh sedang duduk didepanku. Ada sedikit keterkejutan dari wajahnya ketika melihat aku ternyata sudah sadarkan diri, namun dia tersenyum.

“Mikasa, kamu sudah sadar.” Katanya lembut.

“Ini dimana, Josh.” aku memberanikan diriku bertanya padanya.

Tangannya mengambil roti yang ada disampingku dan memberikannya padaku.

“Makan dulu, Mika.” Katanya pelan.

Aku tidak berani mengambil roti itu karena dia pasti akan sadar bahwa infus ini sudah kulepaskan.

“Nanti saja.” Aku menolaknya dengan wajah memelas.

Dia diam sebentar dan expresinya seketika berubah, dengan kasar dia mengangkat tangaku dan meletakkan roti ditanganku.

“Aku bilang makan !” diletakkan roti tersebut ditanganku.

Aku bergetar ketakutan akan perubahan sifatnya, dan matanya melihat ketanganku, sadar bahwa infus itu sudah kulepaskan.

Mukanya datar, ditariknya nafasnya dalam – dalam, lalu mengambil roti tersebut dari tanganku, meletakkannya dimeja itu kembali dan dengan lembut mengambil jarum baru disalah satu laci dekat sana.

“Aku akan menginfusmu Mika, kamu butuh bantuan infus agar cepat pulih.” Suaranya kembali melembut.

Aku tidak berani memberikan jawaban apapun karena takut dia akan marah lagi seperti tadi.

Kubiarkan dia memasang jarum infus ditanganku. Aku merasa sungguh tidak berdaya.

Infus ini selesai dia pasang dan dia kembali memberikanku roti.

Tanpa banyak bertanya, aku memakan roti tersebut. terasa lembut dengan cream vanilla didalamnya. Salah satu roti kesukaanku. Dia mengetahuinya.

“Kamu akan tinggal disini Mika. Buatlah dirimu nyaman.” Josh berdiri dan berjalan keluar dari kamar ini. sebelum bayangannya menghilang, dia memberitahuku sesuatu yang membuat aku sangat kaget.

“Rio masih hidup, dan kalian akan tinggal disini bersama aku.” Katanya sambil berlalu.

Aku tertegun, bagaimana bisa… aku tidak percaya apapun perkataan Josh. namun kenyataan bahwa Josh masih hidup juga menyimpan pertanyaan sendiri bagiku.

Kuhabiskan roti ini dengan cepat dan aku berusaha tidak panik. Bagaimana bisa Rio masih hidup, aku jelas melihatnya mati didepanku. Membuat aku menjadi pembunuh berdarah dingin. Bagaimana kami semua bisa lolos dari kejadian mengerikan itu.

(tok.. tok..)

Pintu kamar ini berbunyi. Ditengah keraguan aku memberanikan diriku mejawab panggilan tersebut.

“Masuk.” Kataku pelan. Bersiap jika ini mungkin akan menjadi akhir dari hidupku.

Sosok yang begitu kurindukan masuk kedalam. Dia duduk diatas sebuah kursi roda, dan infus yang sama juga mengantung diatas kursi rodanya. Suster itu mendorong kursinya kearahku, semakin dekat.

“Rio.” Aku terisak, tidak percaya bahwa dia masih hidup.

“Mika.. maafkan aku..” suara Rio bergetar.

“Tidak.. Tidak.. maafkan aku..” air mataku mengalir, Suster tersebut pamit meninggalkan kami berdua disana. kehangatan ini, rasa sayang ini. dia adalah Rio.

“I love you, Mika.” Katanya pelan.

Kutatapi wajahnya, dan aku sadar bahwa dialah orang yang begitu aku cintai selama ini.

Jantungku berdebar dengan hebatnya, bibirku bergetar, aku akan menyatakan hal yang tidak pernah kuucapkan pada siapapun sebelumnya.

“I love you, Rio. Jangan pernah tinggalin aku lagi ya.” Kataku sambil menatap Rio.

Pandangan mata kami bertemu, dia tersenyum dan memelukku.

Lalu perlahan berbisik lembut ditelingaku.

“Tidak akan, Mika.”

Dan dia menciumku.


Sudah lama dia berdiri disana sendirian. Pandangannya kosong. Ada begitu banyak hal yang sedang dia pikirkan. Tangannya kuat mengengam tongkat tersebut sedari tadi. Membiarkan Rio tinggal disini bersama adiknya, Mikasa. Tentunya bukan tujuan utamanya. Namun, melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Mikasa, dia tidak sanggup menghancurkannya. Terutama setelah dia sadar bahwa dirinya tidak akan tergantikan sampai kapanpun dihati Mikasa.

Sebuah panggilan masuk membawa kesadarannya kembali.

“Ya.” Dengan sigap dia menjawab telepon tersebut.

“Semua sudah berjalan sesuai rencana, Josh.” suara disebelah memberikan jawaban yang ditunggu Josh selama ini.

“Baiklah, terimakasih.” Tutup Josh dan telepon itu dimatikan.

Dia memberikan sejumlah uang untuk wanita itu, Seharusya sejak awal dia sadar bahwa wanita itu bukanlah ibunya, dan bukan mama Mikasa. Melainkan hanya seseorang yang memanfaatkan kematian ibu mereka demi mendapatkan keuntungan. Dia begitu ingin membunuh wanita tersebut, namun melihat perjuangannya dalam menjaga Mikasa Selama ini serta membawa Mikasa pergi dari rumah itu membuat dia berubah pikiran.

Mikasa diantarkan hingga pada kediamannya, meskipun dia sangat marah karena dia memukul Mikasa sekuat tenaga. Jean yang berada disampingnya saat itu berhasil menenangkannya dan membantunya berpikir lebih rasional. Dan yang harus dia lakukan saat ini hanyalah memberitahu bahwa mama Mikasa sudah meninggal. Bukan sejak dia kecil, melainkan karena kebakaran hebat dirumahnya.

Ya, dia membakar rumah itu beserta mayat Paul dan Alvin didalamnya. dia membuat alibi dan jalan cerita sendiri dengan kekuatannya, membuat Mikasa jauh dari semua tuntutan hokum. Begitu juga dengan acara yang dia adakan, semua kecurigaan terarah pada Rose, dan tersangkanya sudah meninggal. Kasus itu akan ditutup segera.

Perasaan yang dia miliki saat ini bukan hanya perasaan bahagia saja. Melainkan ada kepuasan yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun.

Jean berjalan mendekat kearahnya, memeluknya dari belakang. Dia tidak menjaga jarak apapun lagi dari Jean. melihat kesetiaan serta pengorbanan Jean padanya, membuat dia sadar bahwa yang diinginkan wanita itu bukanlah sekedar menjadi teman baiknya, melainkan teman hidupnya.

Dia belajar membuka hatinya pada wanita itu, meski kepribadiannya suka berubah secara spontan tanpa kesadarannya, Jean adalah wanita yang mengerti setiap perubahan tersebut, dan menerima dirinya apa adanya. Dan Jean juga mengajarkan dia untuk melerakan adiknya, Mikasa bersama lelaki yang dicintainya, karena membunuh ataupun membiarkan Rio meninggal pada saat itu hanya akan memberikan duka pada Mikasa. Dan itu jelas tidak baik bagi kepribadian dia.

Dia sadar bahwa apa yang dikatakan Jean benar setelah dia melihat sendiri kebahagiaan diwajah Mikasa begitu mengetahui Rio masih hidup. Dan dia mulai mempercayakan dirinya pada Jean.

Dia membalikkan badannya, wanita itu tampak begitu cantik dimatanya. Perlahan dia menundukkan sedikit kepalanya, dan bibir mereka bertemu.

~ THE END ~

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights