Dia mengusap pipinya yang basah karena airmata berulang kali. Hanze begitu bahagia bertemu dengannya. Pria itu begitu mencintainya sejak hari pertama mereka bertemu ditempat kerja. Dia menutup diary itu karena tidak mampu melanjutkannya. Dipandangi Hanze yang tetap terbaring disana, begitu tenang. Jika dia tidak membela Male pagi itu dan mengakhiri perkelahian mereka, Hanze tidak akan berada diranjang ini.
Dia membayangkan kembali setiap hal yang telah dia lakukan pada Hanze, dia hanya menyakiti hatinya dan kini dia sadar bahwa pria itu benar – benar tulus mencintainya. Tidak ada satupun alasan yang membuat pria itu berjalan pergi. Dia bertahan, tidak peduli apapun yang dikatakan orang padanya, dia berhenti dari pekerjaannya tidak lama setelah Risa resign dan dia terus mengejar Risa hingga mereka menikah.
Perjalanan pernikahan mereka tidaklah mudah. Hanze ditentang oleh seluruh keluarganya karena menikahi seorang janda dengan 2 anak, tetapi dia tidak memperdulikan hal itu. Dia juga menerima Male dan Mola layaknya anak sendiri dan setelah mereka menikah, pria itu juga berlapang dada menerima keputusan Risa ketika dia berkata tidak ingin memiliki anak lagi. Pria itu begitu sempurna menerimanya, tetapi hal yang dia lakukan hanyalah terus memanfaatkannya. Pernikahan yang dia lakukan itu tidak lain agar Yoki pergi dari hidupnya. Dia tidak pernah benar – benar serius mencintai Hanze, tetapi melihat suami yang sudah bersama dengannya selama 3 tahun terakhir itu kini terbaring tak berdaya, hatinya hancur sekali.
Salah satu penyebab kenapa Male begitu marah pada mereka juga karena kebohongan yang dia ciptakan sendiri. Dia selalu berkata kepada kedua anaknya bahwa ayah mereka bekerja. Pernikahannya dengan Hanze tidak dihadiri oleh kedua anaknya, hanya diwakilkan kedua orangtua Risa dan juga beberapa kerabat baik Hanze. Dia lalu membawa kedua anak itu pergi dari rumah mamanya dan tinggal bersama Hanze. Pria itu membantunya mengarang kisah pekerjaannya demi kebaikkan Risa walau pada akhirnya Male mengetahui kenyataan sebenarnya juga.
Awalnya mereka ingin menjalin hubungan tanpa pernikahan. Hanze yang berpendapat berbeda tetap berusaha membujuk Risa untuk memantapkan status mereka didepan gereja. Mereka mendapatkan surat nikah mereka dengan susah payah, dan untuk membangun keluarga pun sungguhlah sulit. Tetapi kini dia mulai paham, bahwa seberapa hebatpun sebuah kebohongan dia tutupi, pada akhirnya akan diketahui juga, dan hal itu akan menyakiti lebih banyak perasaan orang daripada berterus terang dari awal.
Pagi itu, Hanze mengatakan bahwa kepergian Male adalah kesalahannya sendiri karena tidak mencerna informasi dengan baik. Dia begitu marah mendengarkan perkataan Hanze pagi itu. Perkelahian hebat tidak terelakan. Hanze pergi dari rumah dengan keadaan yang tidak stabil, dan kecelakaan naas itu telah membuatnya berada dirumah sakit ini.
Detik demi detik berlalu dengan cepat ketika dia tenggelam kedalam khayalannya. Pintu kamar mereka diketuk dengan pelan dan dia mulai melihat kearah pintu tersebut. Mola berada didepan pintu itu. Setelah dia mengangguk pertanda Mola boleh masuk, anak gadisnya itu masuk kedalam, disusuli oleh Male dibelakangnya.
Dia begitu terkejut melihat Male menginjakkan kaki kerumah sakit. Dia berdiri dan segera memeluk putranya itu. Keharuan terlihat jelas diwajah mereka berdua. Setelah cukup lama berpelukan, dehaman Mola membuat Risa melepaskan pelukannya dan kembali duduk disamping kasur suaminya.
“Bagaimana kondisinya ?”
“Tidak ada perubahan, brain dead.”
Suasana hening mengelilingi mereka. Ingin sekali Risa bertanya pada Male apa yang membuat dia kemari, tetapi dia urungkan niatnya karena tidak ingin merusak suasana hati putranya itu.
Larut dalam keheningan, pintu kamar mereka diketuk beberapa kali. Sebelum mereka menyahut, seorang pria berpakaian rapi membuka pintu kamar mereka dan tersenyum hangat. Badannya tinggi sekitar 170cm dan mengunakan kacamata bulat. Rambutnya sedikit berantakan dan dia membawa tas bersamanya. Dengan tersenyum sopan dia melangkah masuk kedalam, membuat mereka bertiga sedikit terheran karena tidak ada yang mengenalinya.
“Selamat sore, saya Richard, pengacara sekaligus penanggung jawab asuransi Hanze Will. Bisakah saya berbicara dengan Risa Will ?”
Mereka saling menatap sesaat, seolah tahu bahwa pembicaraan mereka berdua akan sangat penting dan rahasia, Kedua anaknya memutuskan pergi dari kamar itu, membiarkan mereka berdua berbicara.
“Silakan duduk, maaf agak berantakan.”
“Tidak apa – apa bu. Bagaimana perkembangan Hanze ?”
Dia duduk berdekatan dengan Risa sambil memandang Hanze. Dia mengunakan parfum yang sama dengan suaminya. Membuat Risa teringat betapa menyebalkan suaminya itu setiap saat menyemprotkan parfum itu ketubuhnya. Aroma yang dulu begitu dia benci kini sangat dia rindukan.
“Dia brain dead. Hanya menunggu keajaiban sampai dia sadar.”
“Tidak mencoba keluar negeri ?”
Sejenak dia memikirkan perkataan pria itu lalu menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak pernah dengar brain dead bisa sembuh dinegara manapun.”
“Baiklah, ada beberapa hal yang harus kujelaskan padamu.”
Dia mengambil beberapa dokumen yang berada didalam tasnya dan menunjukkannya kepada Risa. Dokumen – dokumen itu tersegel dengan baik dan Richard membukanya didepan matanya. Salah satu dokumen yang dibuka pertama adalah warisan Hanze.
Pria itu meletakkan dokumen itu didepan mata Risa, membiarkan dirinya membaca dengan jelas nama ahli waris semua uang Hanze, diberikan pada dirinya.
“Disini saya ingin menjelaskan, kamu memiliki 2 pilhan, membawa pulang Hanze dan merawatnya dirumah atau membiarkannya terus berada dirumah sakit ini sampai keajaiban menjemputnya. Jika kamu membawa dia pulang, biaya tidak akan besar dan kamu bisa mendapatkan sejumlah yang tertera disini karena secara hukum, brain dead sudah seperti meninggal. Tetapi jika kamu ingin dia terus berada dirumah sakit ini, asuransi yang dia miliki bisa mengcover semuanya hingga dia sadar, jika dia sadar ataupun maaf kata dia meninggal, kalian bertiga tidak akan mendapatkan apapun karena semua biayanya telah diberikan pada perawatannya.”
“Apakah tidak ada pilihan lain ?”
“Tidak ada.”
Mendengarkan bahwa dia tidak ada pilihan lain, Risa tidak kuasa menahan tangisannya. Bagaimana bisa seseorang yang dia manfaatkan selama ini menyimpan cinta yang begitu besar padanya, hal yang tidak dia sadari sama sekali karena yang dia pikirkan hanyalah dirinya sendiri. Pria itu tidak hanya memberikan segala yang dia miliki, tetapi juga memikirkan kehidupan mereka bertiga dikala dia meninggal. Secara diam – diam Hanze telah mengansuransikan dirinya sendiri agar tidak menjadi beban bagi mereka.
Richard tidak berkata apapun, dia duduk tenang ditempatnya sampai Risa kembali tenang. Dia tidak melanjutkan penjelasannya tapi dapat dilihat bahwa kedua matanya ikut memerah, antara sedih ataupun terharu. Setelah perasaan Risa sedikit membaik, dengan sedikit terisak Risa melanjutkan pembahasan mereka.
“Bisakah kamu memberikanku waktu untuk memikirkannya ?”
“Baiklah, aku kesini hanya untuk menyampaikan hal tersebut. Dalam 10 hari kamu harus bisa memutuskannya. Aku berharap kamu bisa memutuskan dengan bijak. Dan tentunya aku juga berharap dia bisa kembali sadar sebelum 10 hari berlalu.”
Richard bangkit berdiri dan pamit dengan Risa. Dia mendekati Hanze dan berbisik lembut ditelinganya lalu pergi dari ruangan itu. Kehampaan menerpa Risa, dia sungguh tidak tahu apa langkah terbaik yang harus dia lakukan. Membawa Hanze pulang dan menjaganya ataukah membiarkannya berada dirumah sakit ini tanpa satupun kepastian.
Kedua anaknya melangkah masuk tidak lama setelah Richard pergi. Mereka mendekati Risa dan merangkulnya tanpa banyak bertanya. Risa tidak bisa menutupi kesedihannya lagi. Airmatanya jatuh didepan kedua anaknya.
I just wanna to marry you,
I just want to be with you now and forever,
Doesn’t matter if you didn’t want a kid anymore,
I just wanna be with you,
Now and forever…….
(October 12, 2003)
(to be continue….)