Mobil ini berhenti tepat didepan pintu rumahku, tempat dimana Rio juga menghentikan mobilnya. Lampu depan rumahku tidak menyala, tidak biasanya. Aku keluar dengan cepat dari mobil dan Alvin memegang tanganku. Aku terhenti dan melihatnya.
“hati – hati dan jangan gegabah Mika.” Katanya.
Dia turun dari mobilnya dan berjalan didepanku. Aku mengikutinya dari belakang. Ada perasaan aneh ketika aku takut untuk masuk kedalam rumah sendiri. Jantungku berdebar – debar. Kucari kunci pintu rumah didalam tas kecil dan tidak bisa kutemukan. Paul pasti mengambilnya ! tanpa banyak bicara, Alvin memutar gangang pintu depan rumahku dan pintu ini terbuka. Tidak terkunci sama sekali.
Ruangan depan rumah terlihat berantakan. Kain bekas jahitan mama berjatuhan dilantai. Dengan suara pelan, aku memangil mamaku.
“Ma.” Kataku sambil berjalan kedalam rumah.
Alvin mengambil salah satu gunting yang terjatuh dilantai. Dan kami berjalan perlahan. Kuperhatikan kamarku yang berantakan. Tidak ada seorangpun disana. dan Reno tidak memberikan gongongan khasnya seperti bias,a dimana dia selalu menyambutku setiap kali mendengarkan suaraku. Ada sesuatu yang lain didalam rumah ini.
Aku mulai memasuki ruang belakang rumah, seketika kutarik baju Alvin dan menyuruh dia berhenti. Ada sebuah bayangan disekitar meja makan rumahku. Dengan perasaan was – was, setelah berkompromi dengan Alvin. Aku memberanikan diriku berjalan sendiri, sementara Alvin memutar keluar dan akan masuk dari belakang rumahku.
Betapa terkejutnya aku saat melihat Rio terduduk disalah satu kursi ruang makan rumahku. Dia duduk dengan sebuah infus tergantung tidak jauh dari tempatnya. Tanpa berpikir apapun, aku langsung memeluknya. Nafasnya berhembus pelan. Dia tidak mengatakan sepatah katapun. Kulepaskan pelukanku dan melihat kearahnya, Rio begitu pucat, bibirnya kaku. Bola matanya berusaha melihatku. Apa yang terjadi padanya !
“Hallo Mika.”
Paul keluar dari kamar mandi dan berdiri tidak jauh dari aku dan Rio.
“Apa yang kamu lakukan pada Rio !” kemarahanku tidak bisa tertahankan lagi. Alvin, cepatlah. Batinku dalam hati.
“Oh dia. Aku hanya memberikan obat penghilang sakit saja. Sebentar lagi dia tidak akan merasakan apapun lagi koq.”
Paul berjalan mendekat, Tangan kasarnya menamparku hingga terjatuh. Sebelum aku memiliki tenaga untuk bangkit, dia menendangku dengan kuat. Aku meringkuk menahan kesakitan yang luar biasa. Paul yang beberapa jam lalu begitu lembut dan perhatian padaku berubah menjadi orang yang tidak kukenal sama sekali.
“Dimana surat peninggalan Josh, Mika ?” dia bertanya padaku.
Aku tidak mengerti maksud ucapan Paul sama sekali. Apakah dia bertanya perihal surat yang berada dalam dompet Josh ? itu adalah kisah masa lalu Josh. apa hubungannya dengan Paul. Aku memilih diam dan Paul menendangku kembali dengan tenaga yang lebih kuat. Aku merintih kesakitan dan berusaha menahan airmataku namun tidak bisa.
Kulihat Rio yang berusaha mengerakkan tangannya, bibirnya bergemetar hebat menahan amarah atas perlakuan Paul padaku.
“Dimana Mika !” Paul mulai kehilangan kesabarannya.
“Surat itu..” kupelankan suaraku.
Paul menunduk melihatku, tangannya mencengkram leherku. Dadaku sesak. Tanganku berusaha meraih kerah bajunya namun tidak sampai. Paul mengunakan tangan lainnya untuk meraba isi kantong dijaketku.
Tidak ! Tidak ! aku berusaha meronta agar dia tidak menyentuh salah satu kantong jaketku. Namun terlambat. Dia mengengam dompet Josh dan dengan senyuman liciknya, dia mengambil dompet tersebut dan melepaskan cengkramannya. Aku terbatuk dengan hebatnya dan Paul bangkit berdiri. Dia segera mengeluarkan kertas yang berada didompet itu dan matanya cepat membaca setiap tulisan yang ada disana, beberapa lembar surat dia buang, sampai dia berhenti diselembar kertas yang berisi angka – angka yang tidak kumegerti. Dia tertawa keras. Setelah puas akan peraihannya, dia menyimpan kertas tersebut disaku celananya dan berjalan kearah Rio.
Tidak ! jangan Rio ! aku berusaha merangkak dan mata Paul melihatku dengan jijiknya. Ditariknya rambut Rio dengan kuat. Rio berusaha melakukan perlawanan. Dengan sisa tenaga yang ada, Rio mencabut jarum infus sekuat tenaga dan menusukkannya tepat dileher Paul.
Paul melepaskan tangannya dan mundur beberapa langkah sambil memegang lehernya. Darah dari tangan Rio menguncur dengan derasnya. Dia terjatuh dari kursinya, tepat didepanku.
Aku berusaha merangkak dan tanganku mengengam Rio. Bibirnya bergetar hebat dan berusaha menyampaikan sesuatu.
“Ma… maaf….” dia berusaha merangkai kata.
“Sudah Rio, sudah…” Tangisku meledak didepannya. Kugengam tangannya sekuat tenaga.
“Jangan tinggalin aku..” aku memohon padanya.
“Mi..ka… maaf..kan…” Darah dari mulut Rio keluar ketika sebuah pisau tertancap tepat dipunggungnya. Paul berdiri diatasnya.
“Seharusnya dari pertama aku membunuhmu !” Paul menginjak kepala Rio dan Rio… Rio…
Perlahan gengaman tangannya terlepas. Nafasnya satu – satu.
“Tidak…. TIDAKKKK..” aku histeris.
Rio menatapku dan tersenyum. Lalu nafasnya terhenti.
“TIDAK !!! BANGUN RIOO BANGUN !!” kuguncang badan Rio yang kaku. Dia tidak menjawabku.
Paul mencabut pisau dari punggung Rio dan berjalan mendekat kearahku.
“Apa maumu ! bunuh saja aku !!” jeritku. Kematian bukan hal yang kutakutkan lagi saat ini.
Tangan Paul terangkat tinggi dan aku menutup mataku. Tidak ada kesakitan apapun yang aku rasakan.
Setetes cairan hangat membasahi wajahku. Perlahan aku buka mataku, aku tidak terluka sama sekali.
Cairan itu semakin deras menetes dan aku melihat kearah tetesan tersebut. Paul, terdiam tepat diatasku,
Matanya liar menatapku, kuperhatikan dada Paul yang ditembus oleh gunting. Alvin berdiri tepat dibelakangnya. Menusuk Paul dengan gunting yang tadi diambil dari ruang depan. Dengan sebuah dorongan terakhir dari Alvin, badan Paul terjatuh tidak jauh dari Rio.
Alvin membantuku berdiri. Kukumpulkan sisa tenagaku dan bangkit. Kupandangi Alvin dan sebuah tamparan kuat kuhantamkan kepipinya. Alvin memegang pipinya dan melihat binggung kearahku.
“Kemana saja kamu, Alvin !” jeritku histeris.
“Rio.. Rio…” isakku.. berusaha menjelaskan namun tidak mampu. Alvin hanya melihat kearah dimana Rio sudah tidak bernyawa lagi. Alvin tidak mengeluarkan sepatah katapun, namun dari tatapannya aku sadar bahwa dia merasakan kesedihan yang sama denganku.
“Ha.. ha…” Paul tertawa dengan sisa tenaga yang dia miliki.
“Kamu !!!” geramku. Aku meraih pisau yang ada dilantai. Pisau sama yang menghabisi nyawa Rio.
“Kamu !!” pisau itu menghempas udara diruangan ini. tertusuk dengan kuatnya pada dada Paul.
“Mika… persis seperti Jo..” darah segar keluar dari mulut Paul.
“Diam !!” teriakku. Kucabut pisau itu dari dada Paul, lalu kutusukan lagi pisau tersebut. berulang kali. rasanya tidak mau berhenti. Aku kehilangan kendali atas diriku sendiri.
“Mika. Berhenti Mika.” Alvin berusaha menghentikanku.
“BUNUH !! BUNUH !!” Teriakku terus menerus sambil menusuk Paul yang sudah tidak bernyawa disana.
“Mika, hentikan !” Alvin menarik badanku dan berusaha mengambil pisau tersebut dari tanganku.
“Diam !!!” jeritku sambil membalikan badan. Tanganku dengan kuat menghantam Alvin yang berada dibelakangku. Alvin terjatuh.
“Seandainya kamu cepat !” aku berjalan mendekati Alvin.
“Mika.. ini aku, Alvin.” Alvin ketakutan melihatku. Ya, dia takut padaku dan berusaha lari.
(sengaja.. dia sengaja datang terlambat.. dia sengaja membiarkan Paul membunuh membunuh Rio).
“Diam ! Diam !” kupukul berulang kali kepalaku. Suara itu mulai terdengar. Suara – suara aneh ini. seolah memberikanku petunjuk apa yang harus kulakukan.
(Bodoh ! mau sampai kapan kamu lari dari kenyataan ! bunuh dia Mika ! bunuh dia !)
“Mika.. ini aku, Alvin.” Suara Alvin terdengar samar – samar dikepalaku.
Aku berusaha menghiraukan suara – suara yang ada dikepalaku. Namun suara itu semakin keras berseru padaku. Kututup telingaku dengan kedua tanganku, suara itu tidak kunjung hilang. Kulihat Alvin yang merangkak berusaha menjauh dariku. Tanganku kuat menarik bajunya dan menyeretnya. Aku merasakan ada kekuatan yang begitu besar keluar dari dalam diriku. Dan ada perasaan bahagia setiap saat aku merasakan darah hangat ditanganku.
“Mika ! jangan biarkan dia mengontrolmu !” teriak Alvin sambil berusaha melepaskan diri dariku.
Kuangkat tinggi pisau yang ada ditanganku dan dengan mudahnya kutebas leher Alvin.
Darah bercucuran keluar dari lehernya. Aku mengahiri hidup Alvin seperti seekor ayam didepanku. Dan suara itu menghilang. Kujatuhkan pisau ditanganku. Sudah berakhir. Aku terduduk ditumpukan mayat – mayat ini. tanganku bergetar hebat, apakah aku sudah menjadi seorang pembunuh.
Diusiaku yang baru akan menginjak 20th, aku akan menghabiskan kehidupanku seumur hidup didalam penjara. Kuambil pisau yang kujatuhkan dan bersiap mengakhiri kehidupanku, dan sebuah pukulan hebat tepat dibelakangku, aku terjatuh tidak berdaya, dan sebelum aku kehilangan kesadaranku, samar – samar bisa kulihat bayangan mama berdiri didepanku, lalu semuanya gelap.
(to be continue…)