Perlawanannya berakhir setelah Alvin menarik tali tersebut sekuat tenaga dileher driver. Aku menutup mulutku dan airmataku turun begitu saja. Tidak sanggup berkata apapun lagi.
Setelah memastikan driver itu sudah tidak bernyawa. Alvin menyimpan kembali tali tersebut dikantong jaketnya dan berjalan kepintu kemudi. Bus ini berjalan kembali kearah berbeda. kami kembali kerumah sakit. Aku tidak membenarkan tindakan Alvin, namun dia terlihat seperti tidak memiliki pilihan apapun lagi. Aku mengumpulkan tenagaku dan memberanikan diriku untuk masuk keruangan pengemudi. Alvin melihatku sebentar dan kembali memperhatikan jalanan. Aku duduk disampingnya.
“Semoga Rio baik – baik saja.” Ucapku pelan dan mengumpal tanganku.
Bus ini melanju dalam keheningan antara aku dan Alvin menuju rumahsakit.
Kami sampai lebih cepat daripada sebelumnya. Pintu bus dibuka dan aku segera berlari turun. Orang – orang sekitar sana terus memandangiku dengan keheranan. Sepajang perjalanan, Alvin sudah memberitahuku rencana yang akan kami jalankan begitu sampai kerumah sakit. Dia akan memutar bus tersebut kearea aman yang jauh dari pantauan cctv dan orang. Dan memindahkan mayat driver tersebut kedalam bagasi mobilnya, dan segera menyusulku. Entah kenapa aku percaya padanya kali ini. aku memberi tahu Alvin nomor kamar Rio.
Aku langsung berlari secepat yang kubisa dan kunaiki semua lantai yang terasa panjang dan tidak ada akhirnya. Sepanjang lorong disini terlihat sepi. Hanya ada beberapa keluarga pasien yang duduk didepan kamar menunggu dan beberapa suster yang sedang berganti shift.
Aku sampai didepan pintu kamar Rio dirawat. Tidak ada Paul didepan. Aku langsung masuk kedalam dan kamar ini gelap. Aku mencari saklar lampu yang terletak tidak jauh dari sana dan kunyalakan. Kamar ini berantakan dan Rio tidak ada ditempatnya ! aku panik, aku mencari kekamar mandi dan tidak kutemukan Rio ataupun Paul dimanapun. Seketika aku merasa sekelilingku berputar hebat dan aku menjerit histeris. Aku berlari ketempat suster jaga dan meraung pada mereka. Tidak ada satu patah katapun yang kuucapkan selain raungan histerisku. Mereka ketakutan dan memanggil security. Aku meronta begitu security disana menahan badanku. Memberikan perlawananku sekuat tenaga.
“Dimanaaa…” suaruku keras dan penuh keperihan.
Security itu berusaha menarikku tapi aku tetap bertahan menunggu jawaban dari suster.
“Dimana Rio !!” jeritku lebih keras pada mereka. Suster itu hanya saling memandang dan tidak memberikan jawaban apapun padaku.
Alvin datang dan berlari dari kejauhan, dia menepis tangan security tersebut dan memeluk diriku. Aku menagis dengan kencang didalam dekapan dada Alvin. Dia membelai rambutku dengan perlahan dan berusaha menenangkanku. Aku terus menagis dengan kencang, tanganku menunjuk kekamar Rio seharusnya berada. Dia melihatku dan menuntunku bersama masuk kedalam kamar tersebut.
Alvin terkejut begitu melihat kamar ini sudah kosong, berusaha tetap tenang, dia berjalan ketempat suster dan bertanya kemana Rio berada.
“Maaf sus, teman saya histeris karena baru tadi pagi dia bersama Riio didalam kamar ini, dan sekarang dia sudah pergi. Apakah pindah kamar sus ?” tanya Alvin dengan nada tenang sehingga tidak mencurigakan.
Suster tersebut melihat Alvin dan melihatku bergantian, dia masuk kedalam sebentar dan keluar membawa beberapa kertas. Suster itu membolak balikkan kertas itu didepan kami dan memberitahu bahwa Rio keluar dari rumah sakit atas kemauannya sendiri, dan yang setuju atas hal tersebut adalah Paul Lona. Merkea baru pergi sekitar 30 menit lalu dan salah satu suster lainnya berjalan menghampiri kami.
“Apakah ini dengan ibu Mika ?” tanyanya ramah
Alvin mengwakili diriku menjawab sementara aku berusaha menenangkan diriku.
“Ini ada titipan dari bapak Paul saat akan membawa adiknya keluar dari sini.” Ucap suster itu sambil memberikan sebuah plastik yang lumayan besar.
Alvin menerimanya dan mengucapkan terimakasih. Kami beranjak dari tempat itu dan Alvin tetap setia menuntunku berjalan, masuk kedalam lift yang tidak jauh dari sana.
Kupandangi Alvin saat lift berjalan turun. Dirinya yang dingin tersebut tidak mencerminkan bahwa dia adalah pribadi yang kasar. Tangisku mulai mereda, Alvin tidak melepaskan pegangannya. Kutatapi Alvin terus menerus dan saat dia menatap kearahku. Pandangan mata kami bertemu. Ada perasaan yang begitu intens. Untuk pertama kalinya aku merasa aman bersama seseorang, tidak peduli dia sudah membunuh orang beberapa saat lalu. Alvin tidak melepaskan pandangannya.
Bell lift berbunyi, Aku mengalihkan pandanganku dan melepas pegangan tangan Alvin. Kami berjalan dengan cepat ketempat dimana mobil Alvin berada dan masuk kedalamnya. Alvin menyerahkan plastik pemberian suster tersebut padaku dan menyuruhku untuk membukanya. Kutarik nafasku dan kubuka perlahan plastik tersebut. sebuah tas kecil berada didalam plastik tersebut. tas milikku !
Kukeluarkan tas tersebut dan Alvin melihatnya.
“Ini tasku yang hilang saat berada diacara Josh.” ucapku.
Alvin hanya melihat tanpa berkomentar, dia menyalakan mesin mobilnya dan kami melesat dengan cepat.
“Kemana kita pergi Alvin, kita harus mencari Rio segera !” aku membuka tas tersebut dan kulihat isinya masih sama dengan terakhir kali kupegang. Saat akan membuang plastik tersebut, sebuah selipan kertas kecil terjatuh disana. ditulis dengan terburu – buru dan tidak beraturan.
Ada huruf R dan N yang ditulis berantakan. Alvin mencuri pandang kearah kertas tersebut dan berusaha menerka apa yang ingin disampaikan isi kertas tersebut.
“Kita kerumahmu, Mika. Karena disanalah semua pusat masalah. Dan itu terlihat seperti tulisan Rio.” Katanya lalu kembali fokus dijalan raya.
Rumahku pusat semua masalah ?! kenapa Alvin bisa berkata begitu. Aku tidak mengerti. Selama aku tinggal disana, semua hal berjalan baik – baik saja. Aku bersekolah, hingga aku bekerja, semuanya terasa normal apa adanya. R dan N. apakah Rio menyuruhku untuk lari ? Run ? kenapa ? apa maksudnya ! kuremas kertas tersebut dan kumasukan kedalam kantong jaketku. Mobil ini melaju dengan cepat menuju rumahku. Semoga semuanya baik – baik saja. Doaku dalam hati.
(to be continue….)