Chapter Seven : The True [Part 04]

0

Kumatikan telepon tersebut dan menyambung ulang panggilanku, dan tetap saja nomor tersebut tidak dapat dihubungi.

Spread the love

Rio masih tidur. Kulihat tas yang dibawa Paul diletakkan tidak jauh dari kasur Rio. Tidak tega membangunkannya, kutuliskan sebuah pesan sederhana dan kuletakkan tidak jauh dari tempat tidur Rio. Kucium keningnya dan menutup pintu kamarnya kembali. Paul masih setia duduk disana. Mungkin aku sudah berlaku kasar tadi, aku memutuskan untuk pamit padanya.

“Mika, bagaimana kalau aku antarin kamu sampai rumah ?” Paul berdiri dan menawarkan dirinya untuk mengantarkanku. Dia tidak marah sama sekali dengan perkataanku tadi.

“Tidak usah, Kamu disini saja jagain Rio. Aku tidak ingin Rio bangun tanpa seorangpun berada disampingnya.” Kuberikan senyuman terbaikku agar dia tidak tersinggung atas penolakan yang kulakukan.

Paul memandangku dan mengerti maksud dari penolakanku. Dengan berat hati dia membiarkan aku pulang sendiri, dia berdiri begitu dekat denganku. Aku bisa mencium dengan jelas aroma tubuhnya.

“Kamu bawa ini ya. Ponsel kamu kan tidak ada. Kalau ada apa – apa kamu bisa meneleponku kapan saja. Disini sudah tersimpan nomorku.” Katanya seraya mengengam tanganku dan memberikan sebuah ponsel ditelapak tanganku.

Kupandangi ponsel kecil tersebut dan kembali melihat kearahnya, jarinya dengan lembut ditempelkan dibibirku, menyuruhku untuk tidak banyak beralasan untuk menolak setiap keinginan baiknya padaku. Aku tersenyum dan menyimpan ponsel tersebut dikantong jaketku lalu pergi meninggalkan mereka berdua dirumah sakit.

Dinginnya udara pagi menembus jaketku. Kukancing dengan rapat jaketku dan berjalan sendiri diantara gelapnya malam yang mulai memundar. Halte bus terletak tidak jauh dari rumah sakit sehingga tidak ada kata tersesat disini.

Aku duduk sendirian dihalte, jalanan pagi ini sangat sepi. Kulihat papan jam kedatangan bus dan mecocokkannya dengan jam yang ada diponsel Paul saat ini. sekitar 10 menit lagi harusnya bus pertama akan sampai. Aku duduk dan membuka daftar contact yang ada diponsel ini karena rasa penasaran. Ponsel ini hanya menyimpan nomor Paul dan Rio saja. Sungguh aneh. Kusimpan kembali ponsel itu disaku jaketku dan mengeluarkan dompet Josh.

“Josh, kupakai dulu uangmu ya.” Gumamku dalam hati sambil mengeluarkan selembaran uang yang berada dalam dompet tersebut.

Kusimpan dompet itu dan terus terbayang dipikiranku akan Josh. meskipun aku hanya melihat dia sekilas, aku sadar betul bahwa dia sangat sayang padaku. Apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya selama ini sehingga dia berubah menjadi pembunuh berdarah dingin begini. Dan siapa suruhan Josh untuk memata – matai diriku.

Lamunanku terhenti saat suara klakson bus itu berbunyi didepanku. Kulihat bus itu masih sepi, bisa jadi aku penumpang pertamanya. Aku naik begitu pintu bus ini dibuka dan memilih untuk duduk didekat pintu bus. Sejak kecil aku selalu diajarkan oleh mamaku untuk duduk didekat pintu agar aku mudah lari jika ada hal – hal yang tidak diinginkan. Terutama jika aku sendirian.

Ada sejenis perasaan aneh saat bus ini mulai berjalan. Kukeluarkan ponsel yang ada dijaketku dan menelepon Paul. Setidaknya aku memberitahu dia posisi terakhirku, bahwa aku sudah berada didalam bus. Telepon diseberang sana bordering dan tidak dibutuhkan waktu lama, suara Paul dari sana sudah terdengar jelas.

“Mika !” Paul menjawab teleponku dengan nada panik.

“Paul, aku sudah berada dalam bus ya.” Kataku pelan.

Dia diam sebentar dan suaranya berubah lebih tenang. Paul berpesan padaku untuk memberikan update terbaru jika aku sudah sampai rumah nanti. Dia akan segera menyusul bila kapanpun dan dimanapun saat aku membutuhkannya. Ada sedikit perasaan bahagia karena aku hampir tidak pernah mendapatkan perhatian apapun selama ini.

Aku menutup telepon dan menyandarkan kepalaku dibangku tersebut. Ada perasaan lelah yang tidak bisa kujelaskan saat ini. Aku berusaha agar mataku tetap terjaga namun tidak kuasa menahan diri. Mungkin tidur sebentar akan sangat membantuku. Dan mataku terpejam.

“Mika.”

Perlahan kubuka mataku dan sosok lelaki tinggi berada didepanku. Kukejabkan mataku berkali – kali dan aku melihat Alvin hanya berjarak beberapa meter dari tempatku. Sejak kapan dia naik ke bus ini dan sudah berapa lama aku tertidur ! kesadaranku pulih seketika dan aku beranjak dari tempat dudukku.

Kupandangi sekelilingku dan sadar masih ada satu pemberhentian lagi untuk bisa sampai kerumahku. Pandanganku kembali tertuju pada Alvin dan yang bisa kulakukan saat ini adalah berusaha tetap terlihat tenang.

“Alvin, kamu mau kemana ? kok dibus ini.” tanyaku cepat dan berusaha mengatur suaraku agar tidak bergetar.

“Kepasar. Biasanya aku selalu naik bus subuh.” Alvin menjawab dengan suara dingin.

Aku ingat bahwa Alvin selalu masuk bekerja paling pagi dan bertugas membeli semua bahan makanan. Selama ini yang aku ketahui adalah dia membawa kendaraannya sendiri, tidak terpikir bagiku dia naik bus umum. Jika begitu, bagaimana dia bisa begitu cepat sampai ke café setiap paginya. Rute bus umum jelas bertolak belakang dengan jam masuk kerjanya. Dia berbohong !

Tanpa kusadari kakiku berjalan mundur beberapa langkah, berusaha membuat jarak antara aku dan Alvin.

“Kamu kenapa Mika ?” dia bertanya sambil mendekat kearahku.

Aku mundur beberapa langkah setiap kali dia berusaha mendekat, tanganku berusaha meraih ponsel yang diberikan Paul padaku. Aku akan meneleponnya. Tidak ada ! Tidak bisa kutemukan ponsel itu dikantong jaketku. Pandangan Alvin tertuju ketanganku didalam jaket.

“Kamu cari ini, Mika ?” Alvin mengeluarkan ponsel yang diberikan Paul padaku.

Sejak kapan dia mengambil ponsel tersebut ! tanganku terasa dingin. Bagaimana ini. apa yang harus aku lakukan. Jarakku berdiri dengan supir bus bisa dikatakan lumayan jauh. Aku akan berteriak sekarang juga.

“Jangan berteriak Mika. Kamu hanya akan memperburuk suasana.” Alvin seolah bisa membaca pikiranku kali ini.

“Apa tujuanmu ! siapa kamu sebenarnya !” kataku dengan suara mulai bergetar.

Alvin melihatku dan berhenti mendekat kearahku. Diulurkannya ponsel tersebut padaku dan memberikan isyarat agar aku menerimanya.

“Ini aku kembalikan padamu.” Kali ini Alvin tidak sedingin pertama kali dia berjumpa denganku.

Aku tidak percaya padanya ! kuberikan isyarat pada Alvin untuk meletakkan ponsel tersebut disalah satu kursi dalam bus dan menjauh dariku. Alvin tersenyum melihat kekonyolanku namun akhirnya mengikuti semua isyaratku. Diletakkannya ponsel tersebut tidak jauh dari kursi tempat dia berdiri lalu dia berjalan mundur dan mempersilakan aku mengambil ponselku disana. Dengan cepat aku berlari dan meraih ponsel tersebut dan kembali keposisi awal.

“Kamu takut dan tidak percaya padaku, Mika ?” tanya Alvin.

“Aku tidak akan percaya padamu sampai kapanpun !” bentakku.

Kutekan nomor Paul yang ada diponsel itu dan…

(nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi)

Kumatikan telepon tersebut dan menyambung ulang panggilanku, dan tetap saja nomor tersebut tidak dapat dihubungi. Aku mulai merasa panik, kupandangi Alvin yang tersenyum dingin didepanku. Dia berjalan mendekat kearahku,

“Seharusnya kamu tidak percaya pada yang namanya Paul.” Katanya.

Wait ! dia kenal pada Paul. Siapa Alvin sebenarnya !

“Paul itu kakaknya Rio, sudah pasti aku lebih mempercayainya.” aku tetap berusaha menelepon nomor tersebut dan tidak bisa.

“Dia bukan kakak Rio. Bagaimana kamu bisa percaya pada orang begitu cepat !” bentak Alvin.

“tapi.. Rio bilang iya.” Suaraku mulai bergetar hebat, hatiku sudah tidak kuat menerima semua pernyataan Alvin.

“Karena dia takut Paul akan menyakitimu, dan keadaan Rio sedang tidak sepenuhnya sadar ! Dia tidak akan bisa melawan disana, dan sekarang kamu malah meninggalkan Rio bersama Paul ! kamu bahkan memberitahukan keberadaanmu yang sudah jauh dari rumah sakit dengan menghubunginya !” Alvin membentakku. Aku terdiam, seluruh tubuhku bergetar hebat. Aku terduduk dikursi dekatku.

Kupadangi Alvin yang berjalan terus kearah supir. Dikeluarkannya sebuah tali kilat dari salah satu kantong jaketnya dan dilenggangkannya tali tersebut. dia masuk keruang kemudi dan tidak lama setelah Alvin masuk kedalam, bus ini berhenti dipinggir. Alvin membuka pintu kemudi dan sang driver berjalan keluar bersamanya. Apa yang Alvin lakukan ! drivernya berjalan dengan heran sambil melihat kearahku. Alvin yang dibelakangnya mulai membuka lebar tangannya dan tali itu diikatkannya keleher driver dengan sekuat tenaga. Driver itu meronta – ronta sekuat tenaga, namun kalah dengan tenaga Alvin.

(to be continue…)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights