Dia selesai membaca beberapa penjelasan tentang pekerjaan lapangan dari google. Perusahaan itu bergerak dibidang minyak jelatah, seharusnya jika dia berada dibagian administrasi lapangan, dia tetap akan duduk dikantor dan menunggu laporan – laporan dari para lelaki yang bekerja diluar kantornya, cukup simple seharusnya.
Dia mematikan laptop kecilnya dan memandang lelah kedua anaknya yang kini sudah tertidur lelap. Angka jarum jam sudah berada dipertengahan angka 11 dan 12, dia harus segera tidur jika tidak ingin terlambat besok. Sebelum dia mematikan lampu kamarnya, layar ponselnya menyala. Dia memeriksa dan menemukan pesan dari mantan suaminya, masih bertanya akan kabar mereka. Dia mengabaikan pesan tersebut dan mulai berusaha memejamkan matanya. Hatinya masih terlalu sakit untuk kembali berkomunikasi dengannya.
Dipandanginya wajah Male yang sudah tertidur pulas lalu dipeluknya dengan erat didekapan dadanya. Dia akan memulai hidup barunya besok, dia tidak ingin mantannya kembali menganggu kehidupannya, dia juga tidak ingin lagi mempertemukan anak – anaknya dengan mantannya. Dia akan membesarkan mereka sendiri, tekatnya dalam hati. Lalu dia terlelap dengan segala beban pikirannya malam itu.
Pagi itu dia bangun tanpa bantuan alarm seperti biasa. Tidurnya terasa gelisah. Ditambah dengan rasa cemas akan pekerjaan yang akan segera dia hadapi hari ini, dia berusaha bersemangat dan belum menceritakan apapun kepada mamanya.
Setelah selesai memandikan anak – anaknya dan membuatkan mereka susu, dia mengurus dirinya dan berusaha untuk dapat terlihat rapi hari ini. Dia mengunakan kemeja berenda pagi itu dipadukan dengan rok hitam semalam. Dia memilih sepatu tanpa hak tinggi pagi itu, antisipasi jika dia ternyata tidak berada dikantoran. Setelah persiapannya dirasa sudah mantap, dia duduk diruangan tamu sambil menunggu jam bergerak ke pertengahan 7 dan 8, tidak ingin terlihat bodoh seperti semalam ketika dia datang kepagian.
“Ibu Kenny menerimamu dengan gaji berapa ?”
Mamanya muncul dari belakang sambil menyodorkan segelas tea hangat untuknya. Mereka duduk diruang tamu itu dalam keheningan sambil menikmati tea yang berada ditangan mereka masing – masing. Risa tidak tahu apa yang ingin dia katakan kepada mamanya pagi itu.
“Hati – hati ditempat kerja nanti ya.”
“Iya ma. Sebenarnya ada yang ingin Risa bilang sama mama.”
“Apa itu ?”
Dia terdiam sebentar, kepalanya kembali berpikir. Dia tidak biasa berbohong pada mamanya. Lebih baik dia mengatakan terlebih dahulu sebelum menjalankan pekerjaannya. Tetapi dia juga tidak ingin mamanya cemas sepanjang hari, lebih baik dia mengetahui dulu pekerjaannya baru mengatakannya.
“Tidak jadi ma, nanti Risa cerita ya. Sekarang sudah mau berangkat.”
Jawabnya cepat sambil bangkit dari kursi. Dia meletakkan kembali gelas tea didapur dan mencium kening kedua anaknya terlebih dahulu sebelum berangkat kerja. Male selalu menangis seperti biasa, sementara Mola masih tidur.
Dia sampai dikantor itu 15 menit sebelum jam 8. Bisa dilihat security yang menemaninya semalam sedang sibuk melakukan pemeriksaan bawaan para karyawan sebelum masuk kedalam kantor tersebut. Dia membawa sebuah tas kecil dan binggung haruskah dia memberikan tasnya untuk diperiksa sebelum bertemu dengan ibu Kenny. Semalam pria itu tidak memeriksa isi tasnya sama sekali.
“Pagi pak..”
Sapanya ramah. Security itu menyelesaikan pemeriksaannya terhadap karyawan terakhir dan menoleh kearahnya dengan sedikit terkejut.
“Oh pagi. Interviewnya berjalan lancar kelihatannya.”
“Iya, ibu Kenny menyuruh saya datang hari ini karena akan membawa saya ke lapangan. Saya diletakkan dibagian lapangan kelihatannya.”
“Oh gitu. Tasnya saya periksa dulu ya sebelum kamu masuk kedalam.”
Dia tidak banyak bertanya dan merasa sedikit malu kepada security itu karena curhat pagi hari. Jika dia memberitahukannya pada ibu Kenny, bisa – bisa dia gugur sebelum melihat bagian lapangan itu seperti apa. Bodoh sekali ! batinnya dalam hati.
“Ini sudah, silakan masuk ya.”
Security itu tersenyum tipis dan mengembalikan tasnya. Dia membalas senyumnya dan segera berlalu menyusuri lorong yang semalam dia lalui. Hiruk pikuk perkantoran lebih terasa hari ini. Dia duduk dikursi yang sama seperti semalam dengan tenang dan membiarkan dirinya menjadi bahan pembicaraan mereka. Dia tidak peduli karena dia tidak akan bergabung bersama mereka. Dia terduduk diam sambil sesekali melihat jam tangannya.
“Risa, kamu datang juga.”
Suara Kenny terdengar dari kejauhan. Ibu itu berjalan sedikit cepat dan segera menghampirinya. Kenny mengajaknya pindah kedalam kantor dan membiarkannya menunggu didalam sembari dia merapikan kertas – kertas diatas mejanya seperti kemarin. Tidak lama setelah dia selesai, Risa masuk kedalam ruangan Kenny.
“Jadi, setelah saya pertimbangkan, kamu akan berada dibawah saya. Kamu tetap tidak disini, tetapi segala tugas dan tanggungjawabmu berada dibawah saya. Dilapangan nanti, bos kamu bukan Hanze, tetapi saya. Paham ?”
Sejujurnya dia tidak begitu mengerti maksud dari setiap perkataan Kenny pagi itu, tetapi dia menjawab bahwa dia paham. Intinya adalah Hanze adalah bos disana dan Kenny tetap ingin dia melaporkan segala sesuatu kepada dirinya.
Setelah kesepakatan terbentuk secara mendadak dan terkesan sepihak, Kenny mengajak Risa untuk pergi kelokasi tersebut. Kenny tidak segan – segan untuk ikut dengan motor yang dibawa Risa. Awalnya dia malu untuk membawa atasannya tersebut dengan motornya, tetapi melihat semangat Kenny menuju kesana, akhirnya mereka berboncengan menyusuri ramainya jalan raya. Jarak kantor tersebut hingga ke pabriknya adalah sekitar 30 menit jika ditempuh dengan kecepatan normal.
Dia mengikuti intruksi Kenny untuk memarkirkan motornya dan mengikuti Kenny masuk kedalam pabrik tersebut. Aroma sedikit tidak sedap tercium olehnya namun dia abaikan karena tidak ingin memberikan kesan buruk kepada Kenny.
Mereka memasuki kantor itu dan beberapa pria yang awalnya sedang bercakapan disana segera bubar begitu mengetahui bahwa Kenny datang. Kenny tidak banyak berbicara sejak ketibaannya disana, dia hanya memberitahu security disana maksud kedatangannya adalah ingin bertemu Hanze. Mereka lalu dipersilakan masuk dan Kenny mengajak Risa kedalam kantor itu tanpa basa basi.
“Kita akan tunggu Hanze disini, dia sangat sibuk. Dan kantor ini besok akan menjadi tempatmu.”
Kenny lalu memperkenalkan Hanze melalui cerita singkat. Hanze adalah pria berusia 21th dan sudah bekerja hampir 3th disana. Pria itu memiliki semangat kerja yang tinggi namun sayangnya sangat sulit diatur. Hanze juga merupakan seorang pelawan. Itulah sebabnya Kenny ingin menjadikannya mata – mata disana.
Dia sedikit tertegun dengan ucapan Kenny. Lalu dia memandangi sekeliling kantor kecil itu. Ada sebuah dispenser, dua buah komputer jadul dan sebuah laptop yang kelihatan mahal, pasti kepunyaan Hanze, pikirnya. Beberapa bungkus kopi juga berada didalam kantor itu, mungkin kepunyaan karyawan tadi. Dia hanya duduk disana bersama Kenny sambil membayangi kehidupan barunya nanti dikantor itu. Dan pekerjaannya sebagai mata – mata !
“Hallo ibu..”
Pintu terbuka dan seorang pria masuk kedalam. Kenny bangkit berdiri dan memeluk pria itu sebentar. Rambutnya ikal dan kulitnya putih, sungguh aneh untuk orang yang bekerja dibagian lapangan yang panas. Dia juga tidak terlalu tinggi dan mimic wajahnya tampak sungguh bahagia.
“Kenalkan ini pak Hanze.”
Kenny memberikan Risa intruksi untuk memperkenalkan dirinya. Dia bangkit berdiri dan mendekati pria itu lalu mengulurkan tangannya. Hanze hanya sebatas bahunya. Pria itu lalu menyambut tangannya dan mengenggamnya erat dengan senyum manisnya.
“Hanze, kamu akan menjadi adminku kan ?”
“Iya pak.”
Setelah agak lama mengenggam tangannya, pria itu lalu terfokus kembali pada Kenny. Mereka berjalan sedikit menjauh dari Risa dan membahas beberapa hal sebelum akhirnya berjalan kembali kearah Risa.
“Baiklah Risa, mulai besok kamu bisa langsung kesini ya. Penanggung jawab pabrik ini adalah pak Hanze, nanti dia akan mengajakmu berkeliling dan menjelaskan apa saja pekerjaanmu.”
Setelah dirasa Risa cukup paham akan apa yang dia sampaikan, Kenny menelepon supir pribadinya dan berlalu dari pabrik itu. Dia sungguh sendirian sekarang disana. Hanze sibuk membersihkan sebuah meja dan tidak lama setelah dia selesai, dia memberikan meja itu kepada Risa.
“Mulai hari ini, tempat ini adalah rumah keduamu. Dikantor ini hanya ada aku dan kamu, terkadang beberapa pekerja akan kesini hanya untuk sekedar mendinginkan diri mereka ataupun meminta air panas untuk kopi mereka. Jangan dimarahi ya.”
Risa memperhatikan gaya pria itu saat berbicara. Tubuhnya tidak pernah berhenti bergerak sedikitpun sejak pertama mereka bertemu, sungguh energy anak muda. Dia lalu berjalan kemeja yang diberikan padanya dan dengan sedikit segan duduk disana. dia memulai aktifitasnya dengan sedikit bersih – bersih.
“Apakah file – file disini masih berguna semua pak ?”
Dia mengambil inisiatif untuk memulai sebuah percakapan pertama.
“Iya, kamu sisihkan saja jangan dibuang ya.”
Mata Hanze terpaku pada laptop didepannya dan tidak melihat pada Risa ketika berbicara. Sedikit helaan jengkel dalam hati, dia melanjutkan kegiatan bersih – bersihnya dan menyisihkan file – file itu kemeja terpisah. Bagaimana kantor ini bisa bersih kalau arsip – arsip lama dan tidak jelas ini masih dia simpan ! hari pertama terkesan sungguh menyebalkan bagi Risa. Meskipun dia tidak tahu masing – masing kegunaan arsip itu, feelingnya mengatakan bahwa arsip itu tidaklah berguna !
“Pak, yakin file ini masih berguna ?”
Dia kembali bertanya setelah menemukan beberapa file yang sudah lewat hampir 5th lamanya.
“Sudah kubilang pisahkan saja !”
Nada bicara Hanze mulai berbeda, kini tidak seramah pertama kali mereka bertemu. Dia tidak panik, dia melanjutkan pertanyaannya, setidaknya agar hatinya lega dan tahu seberapa jauh arsip dikantor ini ingin disimpan.
“Ini sudah lewat 5th pak dari saat ini. Mau disimpan dimana file ini ?”
Mendengar pertanyaan Risa, pria itu menghentikan kegiatannya didepan laptop dan memandang Risa dari balik laptopnya. Dia mulai berpikir bahwa pria itu akan memecatnya saat ini juga.
“5th katamu ?”
“Iya benar pak, tahun 1982 lalu.”
“Wah, aku bahkan baru 2th lebih disini. Tolong kamu buang semua file itu. Sisakan file 6 bulan terakhir saja ya.”
Raut wajah pria itu tiba – tiba berubah lagi. Nadanya juga ikut berubah. Risa sedikit binggung namun memutuskan bahwa dia hanya akan menyimpan file jangka 1 tahun terakhir. Berjaga jika Hanze membutuhkannya.
Hanze menatap Risa yang mulai asik membongkar setiap lemari dan rak – rak yang berada dikantor mereka. Dia tidak akan menganggu wanita itu dihari pertama kerjanya. Dia memutuskan untuk keluar dari kantor dan memberikan privasi kepada Risa.
“Kamu bersihkan semua yang tidak penting ya. Anggap rumah sendiri. Tetapi jangan membuang segala sesuatu yang berada diatas mejaku, ok ?”
Risa menjawab oke dengan cepat dan Hanze keluar dari kantor itu tanpa banyak komentar. Dia bahkan tidak memberikan Risa pekerjaan apapun selain membersihkan file – file disana. dia sedikit lega ketika pria itu pergi, tidak ada lagi yang mengawasinya. Dia mulai mengerjakan rak demi rak dan memisahkan setiap file disana. rata – rata adalah file tua, Hanze pasti tidak pernah membukanya sama sekali.
Dia mulai membayangkan kehidupannya disini, bersama seorang pria yang lebih muda darinya dengan kondisi mood yang tidak menentu. Tidak akan ada yang percaya jika dia bercerita bahwa pria muda itu adalah seorang manager. Dengan kaos oblong dan jeans biasa, dia adalah atasan barunya saat ini.
Dia terkejut ketika Hanze kembali kekantor sambil meneteng 2 kotak makan siang. Dia lalu memberikan satu kepada Risa. Entah sudah berapa lama dia sibuk membersikan kantor itu, rasanya file – file lama itu tidak ada habisnya. Hanze tersenyum melihatnya dan mengajaknya makan dikantin. Dia mengatakan dengan jelas bahwa tidak boleh memakan apapun yang termaksud kedalam kategory makanan berat didalam kantor. Hanze juga memberikannya sebotol air mineral dan tissue. Dia tidak pernah menduga bahwa bos barunya akan sebaik itu, atau mungkin hanya pencitraan dihari pertama saja. Dia lalu berjalan keluar kantor berdampingan dengan Hanze.
Pabrik itu lumayan luas. Awalnya dia berpikir bahwa tidak akan ada perempuan disana, Sebenarnya ada, cuma sedikit. Dan mereka adalah tenaga buruh lepas harian sehingga tidak diberikan akses apapun kedalam kantor. Karyawan disana hanya mengunakan kaos biasa bertemankan sepatu safety. Kantin berada tidak jauh dipojok kanan kantornya.
Mereka sampai disana tanpa membahas apapun. Mata karyawan lainnya tertuju kepada mereka berdua, seolah mereka adalah pasangan baru disana.
Hanze membuka bungkusan makanannya diikuti oleh Risa. Sebungkus nasi ayam. Mungkin hanya kebetulan saja bagi Hanze membeli nasi ayam tersebut, itu adalah makanan kesukaan Risa sejak kecil. Setelah selesai menikmati makanan tersebut, Risa segera pamit untuk kembali kekantornya terlebih dahulu. Dia mulai merasa tidak nyaman ketika karyawan – karyawan lainnya mulai berdatangan dan mengajak Hanze berbincang. Risa tidak terbiasa dengan keramaian, terlebih juga karena Hanze ternyata adalah perokok.
Dia berjalan kembali kekantornya tanpa menyapa seorangpun yang dia lewati. Sejak kecil dia susah berteman, memulai perkenalan ataupun percakapan sungguh bukanlah keahliannya. Dia masuk kedalam kantornya dan kembali menyisihkan berbagai file – file lama. Setelah dirasa tidak ada lagi tumpukan yang tidak berguna didalam kantor tersebut, dia memberanikan diri untuk mengelilingi pabrik tersebut untuk mencari Hanze seorang diri.
Sepanjang perjalanan dia mulai merasa bahwa dia pasti salah berpakaian. Hampir semua orang disana hanya mengunakan kaos biasa ataupun kaos berkerah. Pabrik itu ternyata memproduksi berbagai jenis minyak. Awalnya Risa berpikir bahwa disana hanya terdapat minyak bekas, namun semua berbeda ketika dia mulai mengelilingi pabrik itu sendiri. Dari minyak goreng hingga minyak tanah semua ada disana. Beberapa orang selalu melihatnya dengan aneh, seolah dia datang ketempat yang salah. Beberapa lainnya bersiul pelan mencoba mengodanya dari kejauhan.
Lelah mencari Hanze, dia memutuskan untuk bertanya kepada salah seorang karyawan yang sedang duduk dibawah tangga dekat wc untuk beristirahat.
“Permisi bang, tahu pak Hanze dimana ?”
“Ada perlu apa ya ?”
“Saya mau tanya tempat pembuangan buat kumpulan file – file lama, Cuma tidak ketemu.”
“Oh, admin baru ? wah, coba dhe putar sendiri. Dia ada dimana – mana.”
Dia diam dan segera pergi ketika usaha bertanyanya tidak mendapatkan hasil. Pabrik ini terlalu luas baginya, mungkin lebih baik dia kembali dan menunggu Hanze dikantor.
Betapa terkejutnya dia ketika mendapati Hanze sudah berada didalam kantornya dan segera melihat kearahnya ketika pintu kantor itu terbuka.
“Kemana aja ?”
“Maaf, saya berkeliling mencari bapak.”
“Ada apa ?”
“File nya sudah selesai saya pindahkan. Mau dikemakankah file ini pak ?”
Hanze bangkit berdiri dan memperhatikan file – file yang ditunjuk Risa. Dia lalu memanggil 2 orang karyawan kedalam kantor dan membawa pergi file itu. Dari pembicaraannya, dia meminta file itu untuk dibakar dibelakang pabrik. Setelah kantor bersih, dia memanggil Risa untuk duduk didepannya.
“Risa, mulai besok kamu bisa bawa peralatanmu sendiri, seperti gelas kopi ataupun sendok dan keperluanmu. Disini kerjanya ada 3 shift, tetapi karena kamu akan menjadi admin saya, kamu akan masuk dijam normal kantor 8 pagi hingga 4 sore. Istirahat kamu 1 jam dan setiap tanggal merah kamu akan libur.”
Risa mendengarkan tanpa berkomentar.
“Dan kamu tidak perlu terus memakai kemeja, disini bukanlah kantor seperti dipusat. Kamu boleh mengunakan jeans dan kaos berkerah senyaman kamu asal sopan. Besok aku akan memberikan detail pekerjaan kamu dan membawamu berkeliling. Paham ?”
“Paham Pak.”
“Sekarang boleh pulang ya, besok kamu akan pulang dijam normal.”
Risa sedikit terkejut mengetahui bahwa dia sudah boleh pulang. Hanze menyakinkannya bahwa intruksinya tidaklah salah dan besok dia tetap bekerja, yang berarti Hanze menyukainya sebagai admin dan dia berhasil mendapatkan pekerjaan disana.
Dia mengambil tasnya dan segera pamit dengan Hanze yang kembali sibuk didepan laptopnya. Sebelum Risa keluar dari kantornya, Hanze kembali memanggil dia.
“Nomor hp kamu berapa, Risa ?”
Dia terkejut sedikit lalu segera membacakan nomor hpnya. Seharusnya dia yang bertanya nomor atasannya, bukan kebalikkannya. Setelah mereka saling bertukar nomor, Risa akhirnya benar – benar pamit dan meninggalkan pabrik tersebut.
Dia sampai dirumah dan langsung menceritakan hal tersebut kepada mamanya. Tawa bahagia mereka rasakan bersama sore itu. Risa lalu membantu mamanya berjualan bakwan hingga malam dan tidak lupa membacakan buku dogeng kepada kedua anaknya hingga mereka terlelap malam itu. Dia akan tidur lebih cepat agar besok bisa memberikan kinerja terbaik.
Lampu kamar dimatikan dan ponselnya berbunyi. Dengan perasaan gembira dia mengangkat telepon dari nomor yang tidak dikenalnya, berharap jika itu adalah Hanze.
“Halo ?”
“Oh, masih hidup kamu Risa ! Aku akan menuntut hak asuh anak – anakku dipengadilan jika kamu tidak mempertemukan aku dengan mereka !”
Wajahnya pucat, bibirnya bergetar mendadak. Itu adalah suara mantannya. Nomor itu pasti nomor baru karena hampir semua nomor sudah dia blockir.
“Kamu paham ?! aku adalah ayah sah anak – anakku !”
Entah apa yang merasukinya malam itu, sebuah perkataan yang tidak pernah diduga keluar dari mulutnya.
“Jangan kamu berani – beraninya menganggu hidupku lagi, apalagi mengancamku ! silakan perggi kepengadilan, karena aku tidak takut ! aku yang melahirkan anak – anakku, dan aku yang membesarkan mereka ! jangan kamu sesekali berani mengangguku apalagi mengancamku !”
Kemarahannya meledak, perkataannya tidak dapat terkontrol lagi malam itu. Dia mematikan telepon itu dan segera memblockir nomor itu. Dia segera pergi mencuci wajahnya dan menenangkan dirinya. Sebelum mematikan layar ponsel itu, sebuah pesan masuk. Dengan amarah yang masih berada diatas langit, dia membuka pesan itu, berpikir bahwa itu adalah mantannya yang kembali mengancam.
Nomor tidak dikenal, namun dari bahasanya dia tahu itu bukanlah mantannya. Pesan itu berisi pengingat untuk membawa botol minuman dan masuk jam 8 pagi. Sudah pasti ini adalah nomor boss barunya. Kemarahannya surut membaca pesan sederhana itu. Sungguh bos yang aneh karena penuh perhatian, tetapi dia senang mendapatkan pesan itu. Dia mematikan ponselnya lalu memeluk Male hingga terlelap malam itu.
Rasanya aku sempat memarahinya kala dia bertanya untuk pertama kali,
Lalu, keberaniannya untuk terus mengangguku justru menjadi hal yang akhirnya membuatku begitu terpesona,
Rasa malu menerjangku begitu cepat,
Lalu, aku juga tersadar bahwa dia adalah orang pertama yang sanggup membuatku merasakan apa itu kata “Malu”
My day gonna be sweet again.
(November 16, 1987)
(to be continue….)