Part Three : We Both Know

3

My mind can’t think,
My eyes can’t blink,
My world falling apart.

Spread the love

(krekk..)

Pintu kamar terbuka dan Mola melangkah masuk kedalam. Segera dia membersihkan sisa airmata yang sudah mendingin dipipinya dengan berpura – pura menguap, tidak ingin terlihat lemah oleh putrinya.

“Mola kenapa ga bilang dulu mau kesini ?”

“Iya ma, Mola mau lihat kondisi papa dulu sebelum pergi kuliah. Sekalian bawain mama makan.”

Dia mengambil makanan yang diberikan Mola dan memutuskan untuk pergi kekantin. Dia tidak ingin menganggu waktu putrinya bersama papanya. Bagi dia, ketidaktahuan Mola akan siapa papa aslinya akan lebih baik daripada memberitahukan kenyataan bahwa pria yang terbaring disana adalah suami keduanya, alias papa tirinya. Mola yang sudah ditinggalkan sejak kecil oleh ayah aslinya tidak pernah menaruh kecurigaan apapun pada Hanze sehingga dia lebih mudah menerima kehadiran Hanze sebagai ayahnya.

Berbeda dengan Male. Anak lelakinya itu kini begitu membenci dirinya karena merasa bahwa Risa terlalu egois dan menjauhkan dia dari ayah kandungnya. Risa tahu bahwa Male hanya membenci dirinya. Male tidak memberitahukan hal tersebut kepada Mola, karena jika hal tersebut terjadi, sudah pasti Mola tidak akan berada disamping Hanze setiap harinya saat ini.

Dia termenung sepanjang perjalanan menuju kantin rumah sakit itu. Sebagian orang yang melihatnya berpikir bahwa dia adalah pasien. Penampilannya sungguh tidak dia pedulikan lagi. Dia terus berpikir kapan Male akan memaafkan dirinya. Kapan Male akan bertanya padanya tentang apa yang sebenarnya terjadi dan benar – benar mendengarkan penjelasannya. Dia tahu bahwa seharusnya dia memberitahu Male alasan dia menjauhkan dirinya dari ayah kandungnya. Tapi semua terlambat baginya karena pria itu telah bertemu dengan Male terlebih dahulu.

Pria itu telah memberikan cerita versi lain dan sejak perjumpaan mereka, Male memutuskan untuk tinggal terpisah dengannya. Male tidak pernah memberikannya kabar sejak hari itu. Bahkan ketika ayahnya mengalami kecelakaan pada hari pertama, dia tidak pernah menampakkan dirinya, membalas pesan Mola saja tidak dilakukannya.

Dia masuk kedalam kantin yang ramai oleh perawat dan beberapa keluarga pasien. Memesan segelas kopi hitam kental dan duduk sendirian disalah satu pojokan kantin tersebut. Mola memberikannya nasi ayam pagi itu, makanan kesukaannya sejak masih muda. Dia sadar bahwa Mola pasti berusaha keras mengembalikan keceriaan dan nafsu makannya. Tidak ingin mengecewakan putrinya, dia berusaha keras memakan nasi ayam itu.

Dihabiskan kopinya tidak lama kemudian dan segera berjalan kembali kelantai dimana suami dan putrinya berada. Dia tidak ingin Mola terlambat ketempat kuliahnya hanya karena menunggu dirinya terlalu lama. Dalam hatinya dia berpikir bahwa mungkin sekarang juga adalah saat yang tepat untuk memberitahu Mola siapa ayah kandungnya dan siapa pria yang sedang terbaring disana. Dengan begitu setidaknya Mola dan Male bisa akrab kembali, tidak seperti saat ini. Male tidak memberitahukan apapun pada Mola dan hanya pergi begitu saja dari kehidupan adik kandungnya itu.

Jika semua tidak berjalan sesuai apa yang ada dipikirannya, dan putrinya ikut membencinya, maka setidaknya Mola tidak perlu bersedih jika Hanze meninggal nanti. Ayah kandungnya masih hidup dan jika Mola memutuskan untuk ikut bersama ayahnya, maka hal yang bisa dia lakukan hanyalah pasrah kepada keadaan. Setidaknya salah satu anaknya tahu kebenaran yang sesungguhnya.

Dia tidak langsung masuk kedalam kamar tersebut. Entah kenapa kakinya terhenti dipintu depan. Dia menjinjitkan kakinya dan mengintip kedalam kamar tersebut. Dia melihat Mola yang mengenggam erat tangan Hanze disana dan tertunduk tanpa berkata – kata. Begitu sedih putrinya tersebut. Akankah dia sanggup mengatakan kebenaran yang sesungguhnya pada Mola dalam keadaan seperti ini. Apakah ini benar merupakan waktu yang tepat ?

“Permisi Bu, ada yang bisa dibantu ?”

Seorang security dilantai tersebut membuatnya tersontak. Mola segera melihat keluar dan bangkit berjalan kearah mereka. Dia tampak kehilangan kata – kata, tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada putrinya jika dia bertanya akan apa yang sedang dia lakukan diluar kamar mereka sendiri.

“Maaf Pak, dia adalah ibu saya.”

Mola memasang senyum tipis diwajahnya, security tersebut awalnya tidak percaya namun akhirnya berlalu dari sana.

“Mama, baik – baik saja ?”

Dia bertanya seolah tidak melihat apa yang baru dilakukan ibunya. Dengan pelan mereka berjalan masuk dan duduk dikursi yang agak berjauhan dari ranjang. Mola mengenggam tangan mamanya dan menatap tajam kepadanya, seolah bisa membaca apa yang sedang dipikirkan oleh mamanya.

“Ma, tidak perlu ragu jika ada hal yang ingin diberitahukan padaku. Aku akan mendengarkannya.”

Tatapan mata mereka bertemu, tanpa disadari matanya kini berkaca – kaca memandang wajah putrinya itu. Tangannya kini kuat mengenggam jari – jemari putrinya. Tangan yang dulunya mungil itu kini sudah berubah menjadi besar. Ini adalah waktu yang tepat untuk memberitahu Mola kenyataan sebenarnya. Dia tidak ingin apa yang dialami oleh Male juga dialami oleh putrinya itu.

“Mola, dia bukanlah ayah kandungmu.”

Dia mengeluarkan perkataan tersebut secara spontan bahkan tanpa adanya basa basi sama sekali. Dia sendiri terkejut mendengarkan ucapannya dan kini cengkramannya mulai terlepas. Dia menundukkan kepalanya dan takut untuk melihat wajah Mola yang duduk didepannya. Dia takut putrinya akan marah padanya.

Keheningan menyelimuti mereka berdua untuk beberapa saat hingga akhirnya Mola menjawab perkataan ibunya.

“Aku tahu kok ma.”

Jawaban Mola membuatnya tersentak dan memberanikan diri untuk kembali memandangi wajah putrinya itu. Terlihat begitu tenang, bahkan tidak ada satupun kata amarah yang keluar dari mulutnya.

“Kamu … tahu ?”

Mola mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Ada rasa lega dalam perasaannya sekaligus rasa penasaran yang begitu besar. Bagaimana Mola bisa tahu dan kenapa dia tidak marah seperti Male.

“Ma, aku hanya tidak ingin membahas hal tersebut dan membuka kembali luka mama. Hanze juga bukanlah orang yang jahat. Dia sudah seperti papa bagiku. Jadi mama jangan mencemaskan hal tersebut ya. Aku berangkat kuliah dulu.”

Mola memeluk dirinya sebentar dan mengambil barangnya. Sebelum dia benar – benar meninggalkan ruangan tersebut, dia berbalik arah dan memberikan penjelasan sekilas kepada mamanya.

“Male tidak benci sama mama kok. Kami tahu alasan kenapa mama tidak ingin dia bertemu kami. Male hanya butuh waktu saja. Jadi tidak perlu mencemaskan kami ya. Jaga papa dengan baik.”

Pintu tertutup, ruangan itu kembali hening. Hanya ada dia dan suaminya disertai suara lembut monitor pasien. Ada perasaan sedih juga perasaan lega didalam dadanya.

Anak – anaknya tahu. Dia tidak peduli bagaimana mereka bisa mengetahui kenyataan itu, asalkan mereka tidak membenci dirinya dan sayang pada Hanze itu sudah lebih dari cukup. Dia mengambil ponselnya yang terletak diatas meja samping ranjang suaminya. Setelah cukup lama berpikir sambil melihat ponsel tersebut, dia menekan tombol hijau dipojok kanan dan mengarahkan ponsel ketelinganya.

“Halo Marlin, bisa bantu gantikan aku menjaga Hanze sebentar ? Iya baik, aku tunggu ya. Makasih.”

Dia mematikan ponselnya dan mencium kening suaminya. Tidak lama dia menunggu, Marlin datang dan memeluknya sebentar. Tanpa basa basi, dia mengambil tasnya dan berlalu dari kamar tersebut. Berjalan terus hingga ke parkiran dan pergi meninggalkan rumah sakit itu dalam keheningan.


My hand shaked,
My heart burning,
My mind can’t think,
My eyes can’t blink,
My world falling apart.

(May 29, 1988)


(to be continue…)

Spread the love

3 thoughts on “Part Three : We Both Know

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights