Tulisan ini didedikasihkan untuk mereka yang putus asa menjalani kehidupan. Kadang, kerasnya hidup dan ketidak sempurnaan hidup kita membuat kita begitu depresi dan ingin mengakhiri hidup kita begitu saja.
Well, you’re not the only one who feel that ways.
In this special post, I wanna share what I been through on my whole childhood and how I keep survive until today.
Hope you have courage to keep live your life as well as I am.
Everything will be OK and they would be GREAT as long as you keep doing your best !
Saya terlahir dari keluarga yang biasa. Memiliki seorang papa, mama dan seorang abang dengan selisih 2 tahun diatas saya.
Perbedaannya adalah fisik saya ketika dilahirkan. Saya lahir dengan mata sebelah kanan saya yang hanya segaris saja. Kelahiran yang cacat tentunya menjadi suatu beban bagi sebagian keluarga. Saya tidak diberikan izin keluar rumah untuk sekedar bermain dengan teman – teman saya, dan seiring bertambahnya usia, saya harus menaikkan kepala saya ketika berbicara dan melihat orang, itu agar saya bisa melihat dengan jelas. Bagi mereka yang tidak mengenal saya, mereka selalu menilai saya sombong.
Keluarga yang biasa saja tentu tidak memiliki uang untuk membawa anaknya pergi berobat. Jadi saya menjalani hari – hari saya didalam rumah. Sampai usia ketika saya bisa bersekolah, saya masuk kesebuah TK yang sama dengan abang saya. Teman – teman mengolok saya, mereka juga tidak percaya bahwa saya adalah adik dari abang saya. Perbedaan fisik kami bagaikan langit dan bumi. Dia memiliki wajah yang tampan dengan lesung pipi yang manis serta mata yang besar, sementara saya memiliki rupa yang jelek, dengan senyum datar dan mata segaris sebelah kanan. Sedih bangat kalau saya ingat hari – hari saya yang selalu berada dirumah dan melihat abang saya bersenang – senang dengan tetangga lewat kaca jendela.
Kesedihan itu tidak berakhir begitu saja. Ketika saya memasuki SD, saya menjadi korban bullyan. Saya dianggap aneh dan tidak memiliki seorang temanpun. Ketika tugas kelompok diberikan, saya selalu mengerjakannya solo. Ironisnya lagi, otak saya juga tidak pintar sama sekali, saya selalu mendapatkan juara 3 besar. Tentunya dari belakang. 30 dari 33, atau 32 dari 34. Bisa dibayangkan betapa marahnya papa saya ?
Saya merasa bahwa dunia ini sungguh tidak adil, sudah dikasih fisik dan rupa jelek, otaknya pun tidak seberapa. Saat itulah depresi dan rasa ingin bunuh diri muncul. Tapi sampai tulisan ini diterbitkan, saya ternyata masih hidup. Itu tidak terlepas dari kasih seorang ibu yang tiada terbatas sepanjang masa.