Kupandangi dia dan kursi itu secara bergantian, aku akhirnya duduk disana dan bercerita berbagai hal dengannya. Percakapan ini terasa hangat dan nyaman bagiku. Dia juga membuatkanku kopi racikannya. Kopi hitam ini terasa kental dan harum, rasanya juga sangat melekat dilidah, Jean menjelaskan bahwa kopi ini adalah kopi pesanan khusus dikota berbeda dan bernama kopi gayo. Kopi ini merupakan salah satu kopi kesukaannya. Tidak ada kopi lain yang dia sukai selain kopi gayo ini. dan tanpa terasa aku menghabiskan waktu lama bersama dia.
“haha.. jadi kamu masih tidak cakapan sama Rio itu ? kenapa tidak kamu telepon saja dia sekarang dan jelasin apa yang kamu rasa sebenarnya.” Ucap Jean diakhir ceritaku.
Dia tertawa beberapa kali dalam cerita yang kuringkas secara sederhana, seperti mendengarkan anak kecil sedang mendogeng, dia mendengar sambil sesekali tersenyum atau bahkan tertawa. Dia tidak takut aku akan marah atau kesal padanya karena menertawakanku, sungguh pribadi yang harus aku tiru darinya.
“Tidak.” Jawabku singkat.
“Baiklah, aku akan mencari heelsku dulu, nanti kemalaman.” Aku bangkit berdiri dan bersiap pamit dengan Jean.
Berharap dia akan menawarkan tokonya menjadi tempat curhatku dikemudian hari ketika aku membutuhkan.
“Mana hp kamu ? kita tukaran nomor ya. Mana tau bisa chattingan atau kalau kamu butuh bantuan buat ngusir mereka lagi. Aku bisa membantu dengan senang hati.” Candanya sambil menjulurkan tangannya meminta hpku. Tanpa keraguan, aku mengeluarkan hpku dalam ransel dan memberikan padanya.
Kulihat dia memasukan beberapa nomor ke hpku dan menekan tombol telepon, tidak lama hp disalah satu rak dia berbunyi. Dia mengetikkan namanya disana. Jean dengan sebuah emot wajah bertanduk manis. Dan sebelum dia mengembalikan hpku. Dia mencari nomor Rio dan meneleponnya ! Aku yang sangat kaget dan langsung merebut hpku dan mematikan panggilan tersebut sebelum Rio menjawab panggilan itu.
Dia hanya tersenyum dan berpesan padaku untuk berbaikkan dengannya sebelum aku pergi dari tokonya. Aku berjalan dengan cepat kesalah satu toko heels yang ditawarkan Jean padaku tadi saat kami sedang bercerita. Sebuah heels hitam tidak terlalu tinggi terpajang dengan cantiknya disalah satu estalase kaca toko tersebut. Hal pertama yang kulakukan adalah melihat harga dibalik heels tersebut.
Harganya tergolong mahal untuk barang yang akan kupakai sekali saja. Pegawai toko datang menghampiriku dan menjelaskan bahwa heels itu sedang berada dalam periode promosi. Jika dipotong dengan diskon yang ada, harganya cocok bagiku. Setelah aku mencoba beberapa ukuran, akhirnya aku membeli sepasang heels tersebut, aku memutuskan untuk pulang dan sengaja melewati toko Jean, kulihat dia sedang bersiap untuk memberikan ukiran indah ditubuh tamunya tersebut. aku lewat dan tersenyum sendiri membayangkan kembali dirinya yang bla – blakan.
Sebuah panggilan masuk dari Rio saat aku tiba diparkiran mall ini. Aku merenungkan kembali perkataan Jean tadi dan mengangkat telepon tersebut. Suara lega dari seberang sana terdengar jelas. Rio sangat cemas padaku karena aku tidak membalas satupun pesan darinya, suaranya yang terputus – putus membuatku sulit mendengarkan apa yang dia katakan.
Jaringan disini tidak bagus karena parkiran mall ini berada dilantai paling bawah, dan sinyal segaris dihpku cukup menjadi alasan kuat bagiku untuk mematikan telepon Rio dan keluar dari mall ini terlebih dahulu. Aku sedikit ngebut menuju rumah dan sangat kaget begitu kulihat mobil Rio sudah terparkir didepan rumahku. Aku memasukan motorku dengan cepat dan berlari kedepan. Rio duduk dengan tenangnya ditemani segelas tea seduhan mama. Sudah berapa lama dia disini, dan untuk apa dia kesini.
Mama melihatku dan masuk kedalam kamar tanpa banyak bertanya, membiarkanku berdua saja dengan Rio malam ini.
“Kamu baik – baik saja, Mika ?” Tanya Rio dengan wajah cemasnya.
“Iya, sorry tadi dimatikan karena sinyalnya jelek.” Jawabku pelan.
Rio tidak mempermasalahkan alasan panggilannya dimatikan, dan dengan lembut bertanya padaku apakah ingin pergi makan malam berdua dengannya. Kulirik jam yang masih menunjukan angka 9 malam, dan perutku yang kosong juga menjadi pertimbanganku untuk makan malam.
“Dimana ?” aku bertanya pelan.
“Apaan sih dimana, kita pergi bersama, Yuk !” katanya sambil berdiri.
Aku kaget bukan main. Satu mobil bersama Rio untuk makan malam.
(to be continue…)