“Ospek SMA adalah hal yang kubenci.”
“Masa SMA adalah masa yang kubenci.”
“Aku… membenci kehidupanku..”
(teng.. tong…)
Bel pertanda pelajaran sastra akhirnya berbunyi. Mataku tidak terlepas dari kertas yang baru berisikan 3 baris tulisan penuh kebencian yang kutulis dengan penuh kesadaran. Sebagian siswa mengeluh dan sebagian siswa tampak gelisah tetapi mereka tetap bangkit dari kursi mereka dan mengumpulkan kertas yang sedari tadi berperang dengan mereka. Aku tetap setia diatas meja.
“Karen !” teriak sebuah suara dari depan.
Suara bu Irda akhirnya membuatku bangkit dengan helaan nafas panjang. Kukumpulkan kertas tersebut dengan berat hati. Tidak terasa 1 jam waktuku habis hanya untuk 3 baris kalimat tersebut. Bu Irda melihatku dan melirik kearah kertasku dan dengan cepat menatap kembali kearahku.
“Cuma begini ?” tanya bu Irda padaku.
Aku hanya tersenyum dan segera mengambil ranselku lalu keluar dari kelas. Bu Irda adalah guru sastra kesukaanku. Aku bisa melihat bahwa dia juga memberikan perhatian lebih kepadaku meskipun nilai yang berhasil aku dapatkan hanya berada diantara 6 dan 8. Setidaknya dia adalah guru yang setia membaca setiap cerpen yang aku buat.
Masa SMA yang aku harapkan bisa menjadi masa yang bahagia buatku ternyata tidak seindah yang kubayangkan. Aku berjalan dengan cepat melewati batasan anak kelas IPA. Yah, aku memilih jurusan IPS karena kecintaanku akan sastra.
Aku tidak pernah berkelahi seperti saat aku di SMP. Aku memanfaatkan waktuku untuk belajar dan mulai bekerja sambilan untuk mendapatkan uang jajan lebih. Awalnya tidak pernah terpikirkan olehku untuk bekerja paruh waktu. Masa SMA adalah masa dimana aku mencari jati diri dan pergi kemanapun yang aku inginkan bersama temanku seharusnya.
Yapz, temanku yang hanya satu, Anna. Mulai berubah sejak pertama kami masuk SMA. Beberapa bulan pertama semua terasa biasa saja meskipun kami berbeda kelas. Kami tetap bersama dijam istirahat. Dan semua berubah saat Anna memiliki teman lainnya dan perlahan hubungan kami retak. Ditambah dia sudah memiliki pacar saat itu dan berada dijurusan yang berbeda. Kami bahkan saling membuang muka saat berpapasan dikoridor sekolah.
Jujur kuakui, ada perasaan sedih yang begitu dalam saat hubungan kami mulai retak. Aku bahkan tidak tahu kenapa Anna mulai menjauhi diriku. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan kesibukan masa SMA, aku mulai terbiasa kembali menyendiri. Kesukaanku untuk mengarang cerita akhirnya juga membawaku diterima masuk dalam club drama.
Aku mulai belajar beracting disana. Aku belajar bagaimana tertawa disaat sedih, bagaimana bahagia disaat hati terluka dan bagaimana menahan emosi. Aku mulai menahan semua perasaan yang ada didalam diriku. Kupendam semuanya sendiri dan kusimpan rapat – rapat jauh didalam hatiku.
Mamaku yang tidak pernah berubah juga membuatku merasakan kekecewaan yang besar. Aku tahu bahwa tuntutan hidup membuatnya berbuat begitu, namun apa yang tidak bisa kuterima darinya adalah setiap janjinya padaku. Dia berkata akan berubah, namun dia tidak pernah berubah. Aku juga tidak pernah berbicara serius dengan papaku. Aku hanya berbicara dengannya saat membutuhkan uang, ataupun ingin meminta bantuannya untuk mengantarkanku kesuatu tempat.
Dan Willy ? Dia semakin larut didalam permainan game onlinenya, dan setiap malam dia selalu membuat mama marah dan tidak bisa tidur karena menunggunya pulang. Keluarga yang seharusnya menjadi tempatku mengadu dan bertumbuh, bagiku seperti kumpulan orang asing. Rumah yang seharusnya menjadi tempat dimana aku merindukan pulang, menjadi tempat yang paling aku takutkan untuk kembali. Aku hanya pulang untuk mandi dan tidur.
(to be continue..)