Sejak pesan itu dia kirimkan kepada Mikasa, dia tidak melepaskan hpnya, menunggu jawaban dari Mikasa yang tidak kunjung dia dapatkan. Ada amarah didalam dirinya. Tidak seharusnya dia mengirimkan pesan tersebut kepada Mikasa dan membuat dirinya menunggu seperti ini. Sungguh merupakan sebuah kesalahan dari dirinya. Seharusnya dia mengunakan Rio sebagai salah satu senjata membawa Mikasa padanya, dan tidak dia lakukan karena tidak ingin menyakiti Mikasa. Rencananya adalah menjadikan Rio sebagai hadiah kepada Mikasa jika dia setuju untuk tinggal bersamanya.
Jarinya mulai bergerak dilayar hp tersebut. Menekan beberapa nomor dan mendekatkan hp tersebut ketelinganya. Hanya dibutuhkan beberapa kali dering dan suara diseberang sana sudah menjawab panggilannya. Dia bangkit berdiri dan memberikan intruksi kepada penerima telepon tersebut. Kali ini dia tidak akan membiarkan dirinya berbuat kesalahan sekecil apapun. sebuah senyum tipis terukir dibibirnya setelah percakapan ditelepon tersebut selesai. Dia meletakkan hp tersebut kemeja didekatnya dan tidak berniat menunggu balasan pesan dari Mikasa lagi. Semua akan berjalan sesuai dengan keinginannya.
Aku sampai ditempat kami janjian. Bisa kulihat mobil Ro terparkir disana. Kali ini kami janjian bertemu disebuah café yang tidak jauh dari tempat kami berada. Aku segera membenarkan rambut dan penampilanku agar terlihat baik didepan Rio dan segera berjalan masuk kedalam café tersebut. Mataku sibuk mencari sosok Rio dikeramaian café dan menemukannya dipojokan café seperti isi pesannya.
Aku bisa melihat dari kejauhan dia baru saja mematikan panggilan dan terpaku pada layar hpnya. Tanpa membuang waktu, aku berjalan dengan santainya mendekatinya dan mengangetkannya dari belakang seperti biasa. Dia begitu terkejut, tidak seperti biasanya. Aku menghentikan candaanku seketika saat kulihat ada yang aneh dengan expresi wajahnya.
“Rio, ada apa ?” aku duduk didepannya dan mencoba bertanya padanya.
Dia tidak menjawab pertanyaanku dan tidak memandangiku sama sekali. Suasana hening terjadi antara kami berdua.
Tidak lama seorang waiter datang membawakan menu kemeja kami, syukurlah pikirku. Ini bisa dijadikan alasan untuk mencairkan suasana diantara kami. Aku melihat menunya dan meminta waiter tersebut tidak meninggalkan meja kami. Aku menyebutkan beberapa jenis makanan dan sambil menolehkan mataku ke Rio, dia masih diam dan tidak memesan apapun.
“Rio, kalau tidak mau makan aku balik saja ini.” aku berusaha memulai percakapan dengan Rio.
Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi padanya, tetapi dia langsung menjadi dingin begitu, sungguh aku tidak suka. Apakah hanya karena candaan yang kuberikan padanya saja. Sungguh tidak seperti biasanya.
Dia melihat kearahku dan kembali melihat menu, akhirnya dia memilih beberapa menu dan kami mengembalikan buku tersebut kepada waiter tersebut. Begitu siap mengulang kembali pesanan kami, dia segera berlalu.
“Kamu kenapa ?” tanyaku lagi.
Kali ini dengan nada serius dan menatap kearahnya. Dia balik menatapku dan tampak sedang berpikir. Sebelum dia menjawab, pesanan kami tiba dengan cepat, segera dia meminum jus kesukaannya dan berdeham pelan.
“Engga ada koq Mika, gimana café tadi pas ditinggal ?” dia memulai percakapan tanpa melihat mataku.
Meskipun nada dan expresi mukanya kini kembali normal. Sungguh orang yang masih sulit kutebak, aku tidak tahu lebih dalam tentangnya, namun satu hal yang aku tahu dengan pasti, setiap kali dia selesai menerima telepon, pasti dia akan bersikap aneh terlebih dahulu. Siapakah orang yang meneleponnya, dan apa hubungannya dengan kehidupan Rio sehingga dia tampak begitu tertekan ! Tidak ingin merusak suasana, aku memilih untuk tidak membahasnya dan kembali pada topik seputar café saja.
(to be continue…)