Chapter Three : Family [Part 11]

0

Dia sadar hanya dengan melihat cara pandang Mikasa. Ada perasaan suka dalam diri Mikasa kepada Rio.

Spread the love

Dia memperhatikan Mikasa yang tersenyum sambil melihat kedalam café ini. Dia sadar hanya dengan melihat cara pandang Mikasa. Ada perasaan suka dalam diri Mikasa kepada Rio, salah satu anak buah kepercayaannya itu. Tangannya kuat mengengam tongkatnya, dia berjalan perlahan menuju salah satu meja dimana Rio duduk untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.

Rio, yang melihat kedatangan dia segera berdiri dan membungkukkan badannya. Dia memberikan beberapa perintah baru kepada Rio dan berlalu pergi dari café tersebut dengan sebuah senyum terukir kecil dibibirnya. Sementara Rio hanya berdiri diam dengan wajah yang tidak berwarna dan tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya kecuali sebuah anggukan yang menandakan dia mengerti.


Aku sampai kedepan pabrik dan melihat security didepan. Ada perasaan marah karena security ini tidak mau membantuku sama sekali saat Evan menelepon. Minimal dia bisa membantuku dengan berkata bahwa kopi diwarung tersebut memang benar habis. Aku selalu berpikir bahwa dia adalah sosok yang ramah dan menyukaiku, dan sekarang aku sadar bahwa tidak semua orang yang tersenyum kepada kita akan selalu baik kepada kita. Mereka bisa mejadi musuh yang mematikan bagi kita jika saatnya tiba.

Aku mengetuk dari balik pagar dan dia melangkah dengan keraguan untuk membukakan pintu bagiku.

“Aku dipanggil Ida.” Kataku dingin.

Aku langsung menyebutkan alasan kedatanganku sebelum dia mengeluarkan kata – kata tanda bersalahnya atau apapun yang berhubungan dengan berhentinya aku bekerja hari ini.

“Iya silakan. Ida sudah menunggu dikantornya” jawabnya pelan.

Aku langsung membawa sepedaku hingga area perkantoran dan memarkirkan sepedaku tepat didepan kantor Ida. Aku tidak memperdulikan arahan security dan amukan Ida nantinya karena tekatku yang kuat untuk benar – benar berhenti dari sini.

“Mika, yuk masuk !” Ida berteriak dari balik jendela tidak lama setelah aku meletakan sepedaku sembarangan.

Tumben dia tidak marah. Aku langsung masuk kekantornya yang sudah sepi. Dia mempersilakanku duduk terlebih dahulu. Tawaran minuman juga dia berikan padaku sebelum memulai pembicaraan namun aku menolak karena pikiranku saat ini adalah apa yang akan aku lakukan dicafe happy dan adakah Rio disana.

Melihatku yang sudah tidak fokus, Ida langsung mengarah pada tujuannya memanggilku kesana. Disodorkannya sebuah amplop putih padaku. Aku binggung. Dia mempersilakan aku membuka amplop tersebut dan isinya adalah uang. Bukan uang yang banyak seperti yang diberikan kakakku kepada mama. Kutebak ini adalah sisa gaji ataupun uang pemecatanku. Aku tidak menghitung uangnya dan menunggu Ida untuk memberikan penjelasan padaku.

“Mika, itu adalah uang terimakasih perusahaan kepada jasamu, dan sisa gajimu. Aku tahu kamu pasti sudah tidak berminat lagi untuk melanjutkan kerja disini. Tidak peduli seberapa besar usahaku membujukmu kan, selagi masih ada Adel dan Evan disana, kamu tidak akan masuk kerja lagi.” Wajah Ida serius dan dia tidak memberikan aku waktu untuk menjawab pertanyaannnya sama sekali.

“Jadi, akan sangat tidak adil kalau kamu tidak mendapatkan apapun dari perusahaan. Dan sebenarnya memang kamu tidak layak mendapatkan uang sepeserpun dari sini karena ini dianggap cabut dan tidak melalui prosedur seharusnya.” Dia berhenti sejenak untuk melihat perubahan raut wajahku dan melanjutkan kembali sambil membuka beberapa dokumen untuk aku tanda tangani.

Ida mengerakan tangannya dengan lincah sambil memberikan penjelasan dari data yang disodorkan didepanku, disana tertera dengan jelas sisa hari kerjaku yang belum terupah dan jumlah gaji yang akan aku dapatkan. Tidak lupa juga dia memasukan data sisa tabungan koperasi perusahaan yang bisa kuambil.

Dia juga memberikan uang tambahan sebagai  bonus karena jasa yang telah aku berikan bagi perusahaan selama setahun terakhir. Aku melihat total upah yang dia berikan dan jumlahnya hampir setara dengan 2 bulan gajiku. Kupandangi dia dan tanpa banyak bertanya aku segera menandatangani dokumen yang diberikan.

“Yakin uangnya tidak mau kamu hitung dulu ?” Tanya Ida sambil merapikan dokumen yang sudah selesai aku tanda tangani

Aku menggelengkan kepalaku dan langsung menyimpan uang yang diberikan Ida. Aku merasa sangat tidak nyaman berada disini sehingga tidak ingin membuang waktu lebih lama. Aku bangkit dan menyalami tangan Ida, mengukir sebuah senyum palsu dan berpamitan dengannya. Dia hanya melihatku menghilang dengan helaan nafas yang panjang.

Aku bebas ! untuk sementara aku bahkan tidak perlu cemas akan bagaimana cara aku membayar uang sewa rumah ataupun apa yang ingin aku makan besok. Dengan uang yang ada disampingku sekarang, aku akan benar – benar mencari kerja pelan – pelan dan sesuai dengan passionku, bukan hanya yang penting kerja dulu. Aku mulai membayangkan jika aku bekerja disebuah perusahaan besar, membayangkan aku menjadi kepalanya dan berbagai hal.

Aku berhenti dicafe tadi siang, ada perasaan ingin masuk namun termakan rasa malu jika datang hingga dua kali, apalagi jika yang pertama kali datang adalah gratis, mungkin mereka berpikir bahwa aku datang untuk mendapatkan gratisan lagi. Lebih baiik besok atau lusa saja, aku memutuskan untuk pulang kerumah dan mempersiapkan diri untuk peperangan mencari kerja besok pagi.

“Mika !” suara Rio bisa kudengar dengan jelas.

Aku melihat dia sudah berdiri didepan pintu café, dengan celemek dan kacamatanya, dia memandangku dan melambaikan tangannya agar aku singgah. Entah kenapa tanpa keraguan kuputar kepala sepedaku dan berhenti tepat didepan dia. Aku tidak memarkirkan sepedaku karena memang tidak ingin masuk kecafe itu dan menghabiskan uangku hanya dengan alasan konyol, ‘bertemu Rio’ karena dia sekarang berada jelas didepanku.

“Tidak masuk ?” rayu Rio.

Aku menolak permintaan Rio dengan alasan aku lelah dan ingin tidur lebih cepat hari ini, Tentunya dengan expresi muka yang dingin juga. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku bersikap begini didepannya. Padahal aku ingin bercerita banyak hal dan berharap dia memaksaku untuk masuk dan duduk sebentar bersamanya. Semoga dia tidak membenciku karena sikapku ini.

Rio memandangi diriku yang kelihatan lelah karena berbagai masalah yang datang secara mendadak, lalu dikeluarkannya selembaran kertas dari balik kantong jeansnya dan diberikan padaku. Tidak sesuai harapan, dia tidak berusaha membujukku untuk masuk kedalam café tersebut.

Kulihat kertas yang dia berikan padaku. Sebuah kertas lowongan kerja dicafe happy tempat aku berdiri sekarang. Aku melihat Rio dan dia tersenyum seperti biasanya.

“Bantu bagikan sama yang lagi butuh kerja ya, atau kalau kamu berminat juga boleh kok apply disini.” Goda Rio.

Aku tidak sanggup berkata apapun, bekerja ditempat yang sama dengan orang yang kamu sukai itu adalah hal ajaib yang terjadi dalam hidup. Seketika kubuang jauh – jauh pemikiran itu dan hanya menganggukkan kepalaku. Bisa kurasakan jantungku kini berdenyut cepat dan terasa ada aura panas merayapi mukaku.

“Ini nomor hpku, jangan sungkan buat hubungi aku ya, baik itu kalau kamu mau apply kerja disini atau kalau kamu butuh bantuan. Ok !” dia memberikan sebuah kartu nama yang bertuliskan biodata dirinya. Brand manager, adalah jabatannya dikartu tersebut, dibawahnya tertulis juga dengan jelas nomor hp yang bisa kuhubungi.

“OK.” Jawabku dengan cepat dan segera berpamitan dengannya.

(to be continue…)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights