Sepanjang perjalanan, aku berusaha mengingat siapa nama kakakku dan aku tidak berani bertanya kepada mama karena takut dia akan semakin teringat dengan dia. Ditinggal sejak aku akan berumur 5th, kenapa aku tidak bisa mengingat satupun detail dirinya. Apakah dia berada disekitarku selama ini tetapi tidak kusadari, ataukah dia membayar orang untuk memata – matai kehidupanku. Untuk apa dia melakukan itu semua.
Ayuhan sepedaku semakin kencang dan membawaku ke sebuah rumah merah yang cukup besar, halamannya tidak terlalu luas dan memiliki 3 lantai. kuhentikan sepedaku tepat didepan rumah berpintu keemasan tersebut dan menekan tombol bel yang tersedia disana.
Tidak dibutuhkan waktu lama seorang lelaki tua dari balik kaca mengintip dan membukakan pintu. Dia selalu tersenyum setiap kali melihat kedatanganku karena hanya aku satu – satunya orang yang bersedia tinggal dan menjaga rumah peninggalan almahum istrinya tersebut. Biaya penyewaan rumah tersebut juga tidak tergolong mahal karena mama adalah teman istrinya ketika masih hidup. Mereka terkadang menghabiskan sore hari bersama sambil bercerita berbagai hal. Dia juga sering membawakan kami makanan setiap kali dia memasak sesuatu dirumahnya. Sungguh kenangan yang tidak bisa kulupakan begitu saja. Hingga kanker membuat semuanya berubah.
Kuserahkan amplop yang sudah diisi sejumlah uang sesuai dengan biaya sewa tahunan rumah kami kepada lelaki tersebut.
“Tumben cepat bayarnya Mika.” Lelaki itu bertanya sambil menerima amplop yang kuberikan padanya.
Aku hanya tersenyum dan menunggu dia menghitung uang yang sudah aku pisahkan sesaat sebelum aku berangkat.
“Oke, pas ya Mika. Kamu kelihatan buru – buru, mau kemana ?” dia bertanya padaku lagi.
“Iya Pak, lagi mau kerjain hal lain. Mika pamit ya pak.” Kataku sambil menyalami tangannya dan pergi.
Kulanjutkan perjalananku kewarung internet yang tidak jauh dari belokan gang rumah ini. Aku masuk dan memilih tempat paling pojok dimana biasanya aku selalu duduk setiap kali berkunjung. Pemilik warung ini sudah mengenal diriku dan dia sudah tahu apa saja yang selalu aku lakukan setiap kali ketempat ini.
Aku menyimpan sebuah chip rahasia diranselku, chip dengan berbagai informasi tentang diriku dan tentunya beberapa bacaan kesukaanku juga tersimpan disana. Mataku lincah membaca kembali setiap ketikan yang kubuat di word yang kubuka. Aku tersenyum setelah menghabiskan hampir 30 menit didepan word dan sebuah tekanan enter akhirnya membuat printer didepan kasir tersebut berbunyi dan mulai mengeluarkan kertas print yang berisikan berbagai data lengkap diriku.
Hpku berbunyi tidak lama setelah aku menyelesaikan beberapa surat lamaran baru. Sebuah nomor yang sudah tidak asing muncul, team personalia pasti sangat kesal saat ini karena sedari tadi aku tidak menghiraukan telepon masuk dari mereka. Aku mengangkat telepon tersebut dan bersiap memberikan penjelasan kepada mereka bahwa aku mengundurkan diri dari sana dan tidak akan masuk lagi mulai besok.
“Ah Mika, kamu angkat juga akhirnya !” seru suara dibalik telepon sebelum aku sempat berkata ‘hallo’ atau ‘selamat siang’. Kak Ida dari bagian pengajian yang meneleponku. Aku bisa mengenalinya hanya dari cara menyapanya yang tidak pernah mengunakan kata ‘hallo’
“Mika, maaf bangat ini, kamu bisa kesini tidak ? Tadi Evan sangat marah dan blg kamu tidak akan masuk lagi besok. Ada apa Mika ? kamu kalau ada apa – apa kan bisa bilang sama aku, jangan langsung mendadak tidak kerja begitu.” Kata Ida.
Dia pasti akan berusaha membujukku untuk tetap masuk kerja besok kalau aku pergi kesana.
“Tidak bisa kak, banyak yang mau aku kerjakan kak.” Tolakku halus.
“Sudah, pokoknya kamu kesini dhe ya, sore pun aku tunggu gpp. Sampai jumpa nanti sore.” Dia mengakhiri panggilan sebelum aku menjawab.
Ida memang terkenal dengan gayanya yang bla – blakan, namun ketika dia memutuskan untuk langsung ke poin utama pembicaraan, biasanya dia selalu serius. Untuk yang terakhir kalinya aku akan kesana sepulang dari sini. Selain menghargainya, aku tahu pasti hal yang akan dia sampaikan padaku adalah sesuatu yang penting.
Kusimpan data terakhir dichip dan mengambil hasil printku dikasir, tidak dibutuhkan waktu lama aku sudah bisa pergi dari warung ini karena pemilik warung sudah menghitung sedari tadi jumlah biaya yang harus aku bayar. Kedatanganku kesini selalu dengan alasan yang sama, membuat surat lamaran kerja. Sebagian orang selalu berkata hidupku terlihat monoton, dan harus kuakui kebenarannya, sehingga tidak jarang kedatanganku ke beberapa tempat sudah diketahui tujuan dan maksudnya.
Jam sudah menunjukan jam 3 lewat, jika aku pergi sekarang kesana, aku bisa pulang sebelum matahari tenggelam, dan Evan biasanya sudah pulang. Aku memasang lagu kesukaan ditelingaku dan melaju menuju pabrik untuk terakhir kalinya.
Kulewati kembali café dimana aku bertemu dengan Rio, ada perasaan ingin singgah kembali disana sekedar untuk bertegur sapa dengan Rio ataupun bertanya beberapa hal yang tidak penting. Jantungku mulai berdenyut pelan dan ada perasaan bahagia hanya dengan membayangkan kembali bagaimana dia menawarkan minuman padaku siang tadi. Mungkin aku harus singgah kembali disana setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Ida. Tunggu aku ya. Sahutku dalam hati dan segera melewati café tersebut dengan kecepatan penuh.
(to be continue….)