Pertanyaan terbesarku adalah darimana datangnya uang mama ini, dan kenapa masih baru dari bank jika ini adalah hasil tabungannya yang tidak kuketahui. Yang aku tahu mama bukanlah orang yang bisa mengunakan fasilitas seperti pengunaan atm, ponsel, dll. Atau mungkin dia tiba – tiba pergi ke bank untuk menukar uangnya dengan uang baru ! sungguh tidak mungkin terjadi !
Kukeluarkan dua ikat uang tersebut dan kucium aromanya. Ada aroma lain diuang ini. seperti aroma parfum. Dari aromanya aku bisa menebak ini pasti parfum orang kaya. Katrok bangat sih Mika, batinku. Kusimpan uang tersebut kembali keamplop dan sebuah kertas kecil diantara selipan uang tersebut terjatuh tepat didepanku.
Kurapikan letak ranselku dan kuambil kertas tersebut. Disana terdapat 10 huruf ditulis mengunakan tinta basah. Seperti nomor handphone. Lalu bagaimana bisa kertas ini terselip diantara uang ini. Apakah dia ingin aku menghubunginya. Kulipat kertas tersebut dan segera memikirkan hal lainnya. Pikiran bodoh ini terjadi karena aku terlalu banyak membaca buku detektif.
“Pesanannya ya.” Rio kembali dengan membawakan pesananku.
Segelas kopi panas dengan asap mengempul ditemani sepiring ubi panas yang mengoda sudah menghiasi mejaku. Kupandangi Rio yang kini mengunakan celemek dan mengantarkan pesananku. Wajahnya memang terasa tidak asing bagiku bukan karena aku melihatnya secara dekat hari ini, bukan juga karena aku sering melihatnya didoffi. Aku berusaha mengingat wajah ini, namun aku tidak bisa menebak dengan benar, ada kenangan dan perasaanku berkata dia adalah orang yang pernah dekat denganku.
“Sendiri saja hari ini ? Baru pertama kali ya kesini ?” dia membuka pembicaraan.
Kugengam kertas tadi ditelapakku dan mengangguk padanya. Tidak ingin dia mengetahui apa yang berada ditasku, dan apa yang ada ditanganku, dan tentunya aku ingin berada disini sendiri. Dia menatapku lalu bertanya padaku apakah dia bisa ikut duduk bersamaku dimeja itu, kulihat wajahnya dan aku mengizinkannya duduk didepanku. Bodoh ! apa yang aku lakukan !
Rio duduk didepanku, kupandangi dia dan ada semacam perasaan gugup datang menghampiriku. Rasa gugup karena aku membawa tas berisikan banyak uang, dan aku bahkan tidak tahu bagaimana melepaskan kertas yang ada digengaman tanganku. Suasana dingin antara aku dan Rio, tidak ada satu katapun yang terucap dari bibirku, dan dia hanya menatapku. Memperhatikan diriku dan aku sangat berharap dia bisa pergi meninggalkanku karena tidak akan ada topik antara kami.
“Kamu marah ya, itu tangannya digengam terus ?” Rio berusaha mencari topik pembicaraan.
Seketika gengamanku terlepas dan kertas tersebut sudah basah karena keringat ditelapak tanganku. Kuambil kertas tersebut dan kuluruskan, meskipun sudah penuh kerutan, angka yang tertera disana masih bisa kubaca. Syukurlah ! aku menghela nafas panjang tanpa kusadari Rio sedari tadi memperhatikan tingkahku.
“Engga koq.” Jawabku cepat saat teringat akan pertanyaannya.
Kutiup kopi tersebut dan kuminum dengan cepat. Mukaku seketika berubah karena rasa kopi yang sangat pahit ini. Sebuah tawak kecil bisa kudengar keluar dari mulut Rio, begitu aku menoleh, dia langsung bersikap layaknya tidak tertawa melihat tingkah konyolku, dan dia langusng mengeser beberapa pack gula kedepanku. Pertanda kopi tersebut belum diberikan gula sama sekali.
Tiga bungkus gula aku masukan kedalam kopiku, prediksi takaranku tidak pernah salah untuk hal begini, namun entah kenapa aku bisa sampai sebodoh itu didepan Rio, harusnya kuperhatikan dan kucoba rasakan dulu kopinya dengan sendok kecil yang tersedia sebelum langsung kuminum, tidak tahu kenapa aku menjadi cewek yang salah tingkah didepan lelaki, sekarang Rio pasti akan menganggap aku adalah cewek aneh, dan kenapa dia tidak pergi juga dari sini !
Kunikmati kembali kopiku yang sudah kutambah dengan gula sebanyak 3 bungkus. Kopinya terasa lebih baik dan enak sekarang. Sambil mencomot ubi yang masih panas, aku menikmati siangku disini, lupa akan kue talam yang kubeli tadi pagi. Kutawarkan ubi pada Rio dan dia menolak dengan halus, Dia terus duduk didepanku dan terus melihatku menikmati kopi dan ubi. Apa baiknya kutanyakan saja arti 10 angka yang aku temukan barusan padanya ? Memastikan apakah itu nomor telepon atau bukan. Lagipula dia tidak mengenal aku dan bisa jadi kami tidak akan bertemu lagi karena aku sudah jelas tidak akan ketempat yang mahal ini, dan jikapun bertemu dicafe kesukaanku biasanya, aku tidak akan mengajaknya ngobrol apalagi duduk bersamanya seperti hari ini.
“Rio.” Panggilku pelan dan masih penuh dengan keraguan.
Dia menatapku dan menunggu aku untuk bertanya. Kusodorkan kertas tersebut padanya dan bertanya apakah ini adalah nomor telepon. Alisnya berkerut sedikit, dan dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Menekan beberapa aplikasi yang tidak bisa kulihat dengan jelas dan matanya asik berpindah dari kertas dan layar ponsel. Keningnya mulai berkerut, lalu dia mengembalikan kertas tersebut padaku.
“Ini nomor handphone, Mi..” berusaha mengingat namaku.
“Mika.” Sahutku cepat dan kuraih kertas tersebut.
“Apakah kamu mengenali pemilik nomor ini ?” tanyaku tanpa ragu kali ini, karena dari gayanya bisa jadi dia mengenal pemilik nomor ini.
“Tidak.” Katanya dingin seketika.
Saat aku hendak bertanya kembali, seorang waiter mendekati Rio dan membisikan sesuatu ditelinganya. Aku hanya melihatnya dan tidak lama waiter tersebut pergi. Rio langsung berdiri dan pamit denganku. Kuperhatikan Rio yang berlalu dan kembali focus pada nomor yang ada dikertas tersebut. Aku bisa menghubunginya dengan ponselku saat ini, dan mencari tahu sendiri siapa sebenarnya dia. Apakah dia adalah pemilik uang ini atau bukan.
Tidak terasa ubiku kini sudah habis, kopiku hanya tersisa beberapa kali teguk lagi. Memegang hp sendiri sekarang terasa aneh bagiku. Kuperhatikan layar yang memberi petunjuk bahwa sudah ada lebih dari 10 kali telepon masuk yang kuabaikan, dan semuanya berasal dari nomor kantorku, termaksud dua diantaranya adalah nomor Yuli. Kuabaikan semua panggilan tidak terjawab tersebut dan segera memasukan nomor itu keponsel dan meneleponnya.
Tidak lama sebelum teleponku tersambung, layar ponselku mati. Ohh shit ! Kenapa dia musti mati disaat penting begini ! Aku merasa sangat kesal namun tidak bisa menyalahkannya karena terakhir sebelum aku pergi dari rumah, dia hanya terisi 2 baris dan aku juga mengunakannya untuk mendengarkan lagu sepanjang perjalanan.
Kukeluarkan semua isi tasku dan tidak menemukan apapun yang bisa membantuku mengisi daya pada hp ini. Perasaanku terasa sangat kesal, mulai dari aku yang kehilangan pekerjaan dalam hitungan jam, hpku yang mati, hingga charger yang ketinggalan olehku. Apa yang kupikirkan selama ini sampai aku bisa seceroboh ini ! Meminjam charger ditempat ini tentunya bukan ide yang bagus, kecuali aku sudah sering kesini, atau aku harus menemui Rio dan bertanya padanya ? aku teringat pada Rio yang tidak pernah nampak lagi sejak kedatangan waiter tersebut, beberapa tamu yang baru datang juga dilayani oleh orang lain. Aku mulai mencari sosok Rio tanpa kusadari. Kuperhatikan sekeliling café ini dan tidak kutemukan dirinya.
Seorang waiter lewat dan aku memutuskan untuk bertanya padanya.
“Maaf kak, Rio dimana ya ?” tanyaku sambil menghentikan langkah waiter tersebut.
Waiter itu tampak terkejut mendengar aku menyebut nama Rio.
“Pak Rionya barusan aja pergi, Bu.” Jawab waiter tersebut dengan gugup.
Dari jawabannya aku bisa menebak bahwa Rio adalah orang penting di café ini dan mungkin karena aku menyebut namanya langsung, waiter tadi pasti mengira aku adalah temannya atau pacarnya, sehingga memangilku dengan sebutan ‘Bu’
“Saya pamit dulu Bu.” Waiter tersebut pamit dengan sopannya.
Kuanggukan kepalaku dan waiter itu segera berlalu. Pacarnya ? Aku membayangkan diriku menjadi pacar Rio dan ada perasaan senang yang tidak jelas terasa olehku. Ini mungkin yang dinamakan baper. Sejenis imajinasi aneh yang tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata namun hebatnya bisa membuat perasaan senang dan bahagia tanpa alasan. Tidak kusadari aku tersenyum sendiri membayangkan betapa bodohnya aku. Cepat – cepat kuhabiskan kopiku dan bergegas menuju kasir, aku akan pulang dan bertanya kepada mamaku, jika perlu aku akan meminta mamaku untuk menghubungi nomor tersebut.
Setelah kupastikan tidak ada lagi barangku yang tertinggal disana, aku memutuskan untuk meninggalkan café tersebut. Kukeluarkan 1 lembar uang dari amplop dan segera bergegas kekasir. Dengan cepatnya aku menyebutkan nomor mejaku. Salah satu kasir mencek tagihanku dan betapa kagetnya aku saat kasir tersebut berkata bahwa pesananku sudah dibayar semua.
“Lho, serius ini tidak perlu bayar lagi ?” aku berusaha memperjelas apa yang barusan kudengar.
“Iya, Bu. Terimakasih sudah berkunjung kesini.” Kata kasir dengan ramahnya.
Pasti ini dibayar oleh Rio, karena tidak mungkin ada yang membayari pesananku jika bukan seseorang yang aku kenal barusan.
(to be continue…)