Setelah bertanya pada polisi tentang RSJ Aleska, Neo dan Mora tidak menghabiskan waktu berlama – lama dikantor itu. Mereka memberikan penghormatan terakhir pada Leo lalu segera pergi dari sana sebelum mobil jenazah tiba. Mereka tidak ingin Lisa curiga jika mereka kembali terlalu lama. Neo juga mencemaskan Dani yang sendirian bersama Lisa.
Tidak dibutuhkan waktu lama, Neo dan Mora akhirnya tiba didepan RSJ Aleska. Tempat dimana Nana berada. Bangunan itu terlihat begitu kumuh. Dikelilingi oleh pagar besi yang sudah berkarat, bagunan itu hanya memiliki kayu oak hitam kecil didepan pagar sebagai pengenal. Orang biasa tidak akan sadar bahwa itu adalah sebuah RSJ.
Mereka masuk kedalam dan menyusuri halaman yang sangat luas. Beberapa pohon tinggi menghiasi sisi kanan dan kiri bangunan itu. RSJ itu bisa dikatakan lebih besar dari rumah sakit dimana Weisu berada. Beberapa perawat berlalu lalang didepan. Ada beberapa perawat yang sedang mengobrol, ada juga yang sedang membawa pasien mereka diatas kursi roda sambil mengitari halaman yang lumayan hijau. Beberapa pasien ada yang tertawa sendiri, ada juga yang menangis sendiri dan ada juga yang berbicara sendiri sambil melihat dinding.
Mereka menghampiri resepsionis disana dan menanyakan salah satu pasien mereka, Nana. Seorang ibu separuh baya dengan kacamata tebalnya terlihat agak terkejut mendengar nama Nana. Dia membuka bukunya dan mencari nama tersebut lalu tersenyum pada mereka.
“Ah, sejak dia masuk kesini 4th lalu, kalian adalah orang pertama yang mengunjunginya. Ada hubungan apakah kalian dengan Nana ?” tanya ibu itu dengan ramah.
“Kami temannya yang datang dari kota.” Jawab Mora cepat.
“Sebentar..”
Ibu itu menutup buku catatannya lalu meminta kartu identitas mereka. Mora memberikan miliknya dan ibu itu menuliskan namanya disalah satu buku yang kertasnya sudah mulai menguning. Dia lalu memberikan buku itu pada Mora dan meminta tanda tangannya disana. Mora mencuri pandang pada daftar tamu disana. Kunjungan terakhir tamu disana adalah 2 bulan lalu. Dia membayangkan betapa kesepiannya pasien – pasien itu. Tidak ada yang memperdulikan mereka.
Setelah selesai, ibu itu menyuruh mereka mengikuti dirinya. Mereka berjalan melewati lorong panjang yang masing – masing sisinya memiliki kamar tersendiri. Sebuah fentilasi kecil berada didepan pintu. Biasanya digunakan oleh para perawat untuk mengintip keadaan pasien. Tempat ini lebih mirip seperti penjara.
Neo mencuri kesempatan untuk mengintip kedalam kamar – kamar itu. Ada yang duduk menghadap dinding, ada yang mencoret – coret dinding dan ada juga yang langsung melihat dia sambil tersenyum. Mereka berhenti didepan kamar 25. Mora mengintip kedalam dan melihat seorang gadis berkacamata tebal dan berkulit hitam duduk seorang diri diatas kursi roda sambil menghadap keluar bangunan.
“Kami memberikannya ruangan special agar bisa melihat keluar lapangan. Dia tidak pernah berbicara sedikitpun sejak pertama kali tiba disini.”
Ibu itu mempersilakan mereka masuk dan meninggalkan mereka didalam ruangan itu. Nana tidak menoleh sama sekali. Mora duduk disalah satu kursi plastik yang berada disana, sementara Neo berdiri didekat Nana.
“Hallo Nana. Namaku Neo dan dia adalah Mora. Bagaimana kabarmu ?” tanya Neo sambil melihat Mora cemas.
Nana tidak merespon pertanyaan Neo.
“Maaf sebelumnya.”
Dengan hati – hati Neo membalikkan kursi tersebut sehingga tatapan Nana tertuju pada dirinya. Nana tidak merespon apapun ketika Neo memutar kursi itu. Dia hanya menatap Neo dengan tatapan dingin.
“Apa kamu tahu apa yang terjadi didesa ini ? Kami seolah terkena kutukan. Teman – teman kami.. meninggal dan sekarat. Tolong, bantu kami.”
Nana tetap tidak merespon. Dia hanya menatap Neo dan Mora secara bergantian.
Merasa tidak mendapatkan jawaban, Mora bangkit dari kursi itu dan menghampiri Neo. Dia berbisik lembut disampingnya.
“Aku rasa ini saatnya kita langsung melabrak Lisa.”
Mendengarkan kata Lisa, Nana langsung mebelalakan matanya. Neo menyadari perubahan pada pandangan Nana dan berjongkok didepannya.
“Kamu kenal Lisa ?”
Mora ikut berjongkok disamping Neo dan memperhatikan expresi Nana dengan serius.
“Kamu tahu Lisa dan Cowel ?”
Wajah Nana kini tampak ketakutan. Tidak lama kemudian dia mulai menangis. Neo dan Mora tampak begitu binggung dengan keadaan Nana.
“Aku…. Ingin bertemu Lisa…” Nana mulai berbicara. Suaranya pelan.
“Bertemu Lisa ? Kenapa ?” Mora bertanya kembali.
“Aku… ingin minta maaf…. Padanya…”
“Minta maaf kenapa ?” Mora bertanya lebih jauh.
Nana tidak merespon lagi pertanyaan mereka. Dia hanya menangis diatas kursi rodanya. Melihat keadaan Nana yang begitu memprihatinkan, Neo dan Mora memutuskan untuk segera kembali kerumah sakit dan memberitahu Lisa. Kecurigaan mereka pada Lisa hilang seketika. Mungkin dengan membawa Lisa bertemu dengan Nana, mereka akan mendapatkan kebenaran.
Mereka lalu menenangkan Nana dan pamit dengannya. Meskipun Nana tidak berbicara lagi, mereka tahu bahwa mereka harus membawa Lisa kesana.
Mereka bergegas pergi dari RSJ itu dan kembali kerumah sakit dengan cepat. Ada perasaan yang aneh dalam diri mereka. Ketika mereka sampai kerumah sakit, mereka melihat pintu kamar Weisu terbuka. Mereka segera berlari kesana dan mendapati Lisa dan Dani sedang menangis. Tidak ada Weisu didalam sana.
“Kenapa ?! DImana Weisu !” Neo panik, nada suaranya tinggi.
Mora menutup mulutnya dan mulai ikut menangis. Dani berusaha tenang lalu menceritakan pada mereka. Monitor Weisu tiba – tiba berubah jadi garis lurus. Tidak lama ketika mereka menekan tombol panik, dokter datang dan memberikan shock jantung padanya. Weisu kejang – kejang dan mulutnya berbuih. Lalu, sebuah jari keluar dari muntahannya. Tidak lama kemudian Weisu berhenti bernafas,
“What !!!” Neo tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Bagaimana bisa… Jari ?” Mora juga terkejut.
Masih dalam keadaan shock dan tidak percaya, dari kejauhan 2 orang polisi datang kekamar mereka dan memperlihatkan ½ jari didalam plastik barang bukti yang sudah disegel. Jari itu mereka dapati dari dalam tubuh Weisu. Dan mereka percaya bahwa seseorang telah memaksa Weisu menelan jari itu dalam keadaan koma. Ini adalah pembunuhan.
“Tidak mungkin. Pak polisi mencurigai kami ?” Neo semakin panik.
“Kami akan melakukan pemeriksaan menyeluruh disini. Untuk sementara tas kalian harus ditinggalkan untuk pemeriksaan.” kata seorang polisi yang berpostur tubuh agak pendek.
“Bagaimana dengan Weisu ?”
“Dia akan dikuburkan disini. Setelah melakukan identifikasi, kami tidak mendapatkan keterangan apapun akan identitas dirinya.”
“Dimana Weisu ?” Mora bangkit berdiri dan siap menantang para polisi itu jika dia tidak diizinkan melihat Weisu untuk yang terakhir kalinya.
“Diruang autopsi. Kalian boleh melihatnya sebentar dari balik kaca. Untuk saat ini, kalian harus meninggalkan rumah sakit ini sesegera mungkin. Kami akan mencari kalian jika menemukan sesuatu yang bisa dijadikan barang bukti lainnya. Saat ini kalian semua masuk dalam daftar calon tersangka dan dilarang meninggalkan desa ini sampai hasil investigasi keluar.” polisi pendek itu menyimpan potongan jari itu didalam tas kecil yang dibawanya dan bersiap akan pergi dari sana.
“Dimana kami akan menginap ?”
“Dipenginapan kalian sebelumnya. Tempat dimana saudara Weisu mencoba mengakhiri hidupnya.” Jawab polisi satunya.
“Saya akan mengambil kartu identitas kalian masing – masing.” lanjut polisi pendek itu.
Mereka saling memandang satu sama lain dan dimulai dari Neo, mereka memberikan kartu identitas mereka masing – masing pada para polisi. Tangan Dani tampak begitu gemetar, membuat kedua polisi itu saling pandang, seolah Dani adalah tersangka utama.
Setelah polisi itu mendapatkan identitas mereka, kedua polisi itu mengajak mereka keruang autopsi untuk melihat Weisu terakhir kalinya. para polisi itu lalu membawa mereka pergi dari rumah sakit itu menuju penginapan mereka sebelumnya. Mereka diberikan 1 kamar dan dijaga dari luar oleh salah satu polisi lainnya. Mereka menghabiskan hari itu dalam ketakutan.
(to be continue….)