Chapter Three : Family [Part 06]

0

Akhirnya aku membuka isi amplop tersebut, sangat berhati – hati karena takut seseorang melihatku membawa uang yang banyak.

Spread the love

Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya menetes saat aku sudah berjarak beberapa meter dari pabrik itu. Apa yang akan aku lakukan setelah kejadian ini, tidak mungkin aku kembali ke pabrik tersebut. Bagaimana dengan hasil kerjaku bulan ini. Apakah mereka akan memberikannya padaku. Seharusnya aku tidak pergi begitu saja karena aku tidak membuat kesalahan sama sekali. Namun ada amarah yang begitu mendalam dihatiku.

Kulap air mataku disepanjang perjalanan dan aku mulai berpikir apa yang akan aku lakukan setelah ini. Aku bisa merasakan ponselku berbunyi berkali – kali. Kuhentikan sepedaku dipinggiran jalan dan kuraih ranselku. Nomor personalia pabrik. Aku memutuskan untuk tidak mengangkat telepon tersebut. Kulanjutkan laju sepedaku sampai aku berhenti disebuah café, tempat kopi yang sangat ingin aku coba dari dulu, Café Happy namanya. Mungkin tidak ada salahnya jika aku berada disini sekali dan mengunakan uang yang diberikan mamaku semalam. Sepedaku mengarah dengan sendirinya hingga kedepan parkiran café tersebut.

Aroma coffee sudah bisa kucium saat berada dipintu masuk, begitu wangi ! Awalnya ada sedikit keraguan untuk masuk kedalam karena takut mereka akan menjual kopi dengan harga yang mahal. Setelah berpikir beberapa kali, akhirnya kulangkahkan kakiku kedalam.

Kupandangi sekeliling café ini. Mereka memiliki nuansa agak gelap dan hanya ditemani sedikit penerangan yang ada. Beberapa bartender berdiri diruangan sebelah yang tertutup oleh kaca. Tidak ada security ataupun pelayan yang menyambut kedatanganku. Tidak menemukan spot yang akan sesuai denganku, kuputuskan untuk naik kelantai dua café ini. Tangga café ini terbuat dari kayu sehingga setiap pijakanku mengeluarkan bunyi lapuk seperti akan roboh.

Aku memilih tempat paling pojok dicafe ini karena memiliki pemandangan kejalan raya seperti pemandangan yang ditawarkan doffi, dan aku duduk disana sambil menunggu pelayan café ini menawarkanku minuman dan makanan mereka.

Tidak lama aku duduk disana, buku menu tersodor dimejaku dan salah satu pelayan berdiri disampingku.

“Kopi atau tea susu ?” Tanya pelayan itu.

Aku terkejut karena hanya Beca yang akan bertanya begitu, kupandangi pelayan itu dan dia adalah seorang lelaki yang sering aku lihat selama ini.

Dia adalah pria yang setiap sore berada didoffi sama sepertiku. What ! aku tidak bisa berkata apapun karena tidak mempercayai apa yang baru saja kulihat. Pria itu tersenyum padaku sambil menyodorkan tangannya untuk berkenalan denganku.

“Rio.” Katanya hangat sambil tersenyum.

“Mika.” aku menyambut tangan hangat itu dan tersenyum balik padanya.

Cepat – cepat aku lepaskan tangannya dan kembali melihat menu yang ditawarin padaku. Kulihat harga minuman yang disebutkan tadi. Gila ! Harganya hampir dua kali lipat dari harga tempatku biasanya. Aku langsung melakukan beberapa pertimbangan secara cepat diotakku, dan akhirnya kuputuskan untuk memesan segelas kopi hitam dan seporsi ubi merah goreng.

Ubi dipercaya memiliki kandungan yang mampu membuat perut kenyang dalam jangka waktu yang lama, dan tentunya hari ini aku tidak akan pergi ke doffi lagi. Aku akan duduk selama yang aku bisa disini karena sudah menghabiskan uang yang banyak.

Selesai memesan, Rio mengambil menu yang tadi dia berikan padaku, Ingin rasanya aku bertanya pada Rio apakah adalah karyawan disini. Namun kuurungkan niatku karena takut dia akan tersinggung. Lagipula dia mengenakan kemeja, bukan celemek. Tidak mungkin dia bekerja disini, mungkin dia adalah owner ataupun sedang membantu temannya yang memiliki café ini.

Rio mengulang pesananku dan berlalu. Tempat ini tidaklah begitu ramai, hanya beberapa orang yang asik duduk dibawah tadi, dan dilantai ini hanya ada 2 orang cewek dipojokan yang berbeda, tampak sedang serius membahas pekerjaan karena mereka mengunakan laptop. Kuputuskan untuk melanjutkan bacaan Hannibalku, kucari buku tersebut dalam tas lalu kembali kulihat amplop yang berisikan uang semalam. Akhirnya aku membuka isi amplop tersebut, sangat berhati – hati karena takut seseorang melihatku membawa uang yang banyak.

Kujadikan buku Hannibal sebagai penutup dari samping agar tidak ada yang melihatku dan segera kubuka dengan tangan gemetar amplop tersebut.

Ada 2 ikat uang yang masih bersegel dari bank, dan aku bisa menebak nominal uang tersebut hanya dengan melihat tulisan yang tercantum disana. Ini sudah setara dengan gajiku selama 1 tahun bekerja. Aku bisa mengunakannya untuk membayar uang sewa rumahku 3 tahun kedepan, ataupun membayar uang sewa setahun dan sisanya kugunakan terlebih dahulu untuk memberi sepeda motor idamanku.

(to be continue…)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights