Neo membuka matanya dan terkejut melihat Lisa duduk diatas kursi kayu itu. Dia melihat jam tangannya, sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Seharusnya dia mendapatkan giliran jaga dari jam 6 pagi tadi.
“Lisa, kenapa kamu tidak membangunkanku ?”
“Oh, sudah jam berapakah sekarang ?” Lisa sedikit tersentak.
“Jam 7. Seharusnya kamu membangunkanku jam 6 tadi.”
Neo melihat Dani dan Mora yang tertidur pulas didekat dirinya.
“Jangan bangunkan mereka. Pasti mereka sangat lelah.” Kata Lisa sambil menguap kecil.
“Aku akan mencari kopi dan sarapan.” Neo bangkit berdiri dan masuk kekamar mandi kecil yang berada diujung kamar itu.
Setelah dia selesai membersihkan wajahnya, pria itu tampak lebih segar. Dia membersihkan kacamatanya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang kecil dari dompetnya. Dia keluar dari kamar itu.
“Neo, kamu tidak pakai kacamata ?”
Lisa menghentikan langkahnya didepan pintu.
“Aku ingin berolahraga sebentar.”
Neo meninggalkan Lisa tanpa banyak bicara.
Lisa menatap Weisu yang masih terbaring diatas tempat tidurnya. Dia tersenyum kecil, dia lalu menyentuh kening Weisu dan mendekatkan kepalanya disamping telinga Weisu.
“Well, bentar lagi kamu akan tidur dengan sungguh nyeNyak.”
“Lisa ?” Mora membuat Lisa terkejut.
Lisa segera menjauhkan dirinya dari Weisu dan menatap Mora yang baru bangun.
“Oh, kamu sudah bangun Mora ?”
“Apa yang kamu lakukan ?”
Mora segera bangkit berdiri dan berjalan kesamping Weisu. Dia menatap pria itu dan Lisa secara bergantian.
“Apakah aku tidak boleh membisikan selamat pagi pada Weisu ?” Lisa bertanya dengan sinis.
“Oh, aku tidak tahu kalau kamu juga peduli pada Weisu.”
“Maksudmu ?”
Ketika hubungan diantara Lisa dan Mora mulai memburuk. Dani terbangun dan dengan polosnya, dia memandangi Lisa dan Mora secara bergantian.
“Apa yang sedang kalian lakukan ? Dimana Neo ?”
Mereka berdua sontak memandang Dani. Tanpa menjawab pertanyaan Dani, Mora membuang mukanya dan meninggalkan Lisa kekamar mandi, sementara Lisa, sengaja menjawab dengan keras agar Mora dapat mendengarkan dengan baik.
“Neo sedang pergi membelikan kopi dan sarapan ! Dan aku tidak boleh mengucapkan selamat pagi pada Weisu !”
“What ??”
“Shut up ! Bitches ! Sejak kapan aku bilang tidak boleh !” Mora keluar dari kamar mandinya. Tangannya mengempal kuat.
Dani, dalam kebinggungan yang semakin dalam bangkit dari lantai itu dan berjalan mendekati Mora lalu mendorongnya masuk kembali kekamar mandi dengan lembut. Dia lalu menutup pintu kamar mandi dan menatap Lisa dengan kejudesannya.
“Serius ?? Kalian berkelahi dalam kondisi begini ? I hate this !”
Dani langsung berjalan keluar dari kamar itu dan duduk dibalkon depan. Lisa menyusulnya. Mereka duduk berdekatan dan Lisa merangkul bahunya lalu berbisik lembut.
“Aku hanya membisikan selamat pagi pada Weisu, dan Mora langsung marah. Seolah aku adalah penyebab Weisu mengalami hal mengerikan ini.”
Dani tidak merespon. Tidak dibutuhkan waktu lama, Mora sudah selesai mandi dan berjalan keluar menghampiri mereka. Mora berjongkok didepan Lisa dan menatapnya. Dia memegang tangan Lisa lalu berbicara dengan lembut.
“Maaf, aku terlalu lelah. Jika aku ada salah, aku minta maaf.”
Lisa menatapnya lalu mereka berpelukan. Dani memeluk mereka berdua sekaligus dan mereka berusaha tertawa ringan bersama.
“Wow, aku telah ketinggalan apa ?”
Neo berdiri didepan mereka dengan 2 kantong plastic dikedua tangannya.
Tanpa banyak bicara mereka langsung menyerbu sarapan yang dibawakan Neo. Nasi itu diaduk dengan santan dan dimasak hingga gurih. Didalamnya ada potongan tempe dan telur yang diarek dengan cabe. Lalu 2 buah timun dan 1 buah tomat ikut menghiasi nasi tersebut. Disampingnya juga ada ayam suir. Mereka makan dengan lahapnya. Neo juga membawakan 4 gelas kopi hitam yang masih panas. Mereka menikmati pagi mereka dengan damai dan bahagia. Melupakan kengerian yang terjadi beberapa hari belakangan.
“So, apa yang kalian lakukan dikantor polisi kemarin ?” Neo membuka pembicaraan.
Lisa dan Dani saling bertukar pandang. Dani lalu memberikan jawaban pada Neo. Mereka dipanggil kekantor polisi karena polisi ingin memperlihatkan jasad Leo dan Cowel pada mereka. Mereka sudah menghubungi keluarga Leo, mereka setuju bahwa anak mereka akan dikuburkan dikota. Sementara Cowel, akan dikuburkan didesa itu.
Polisi itu memperkenakan mereka untuk melihat Leo terakhir kalinya sebelum mayatnya dikirimkan kembali. Orangtua Leo juga telah memberikan izin kepada Lisa untuk mengunakan mobil mereka sebagai sarana untuk kembali kekota.
“So, apakah kalian mau melihat Leo kesana ?” Lisa buka suara.
“Aku rasa…” Mora tampak ragu.
“Kami akan kesana. Setidaknya kami ingin memberikan penghormatan terakhir padanya.” Sambung Neo cepat.
“Aku rasa begitu…” lanjut Mora.
“Aku tahu kalian akan kesana. Aku sudah pesan sama polisi itu. Aku juga sudah mengambarkan denah kesana. Thank guys. Kalian memang yang terbaik.” Lisa memeluk Mora dan Neo bergantian.
Setelah mereka siap makan dan beristirahat sejenak. Neo dan Mora memutuskan untuk pergi kekantor polisi terlebih dahulu. Dokter jaga baru akan memeriksa Weisu malam nanti. Setelah membahas beberapa hal dengan Dani dan Lisa, mereka memisahkan diri dan membawa ransel mereka kekantor polisi berbekal map sederhana yang digambarkan Lisa disebuah kertas.
Ketika mereka sudah keluar dari kawasan rumah sakit, Neo berhenti sebentar lalu membahas rencananya bersama Mora. Mereka akan pergi kekantor polisi dengan cepat dan pergi ke rumah sakit jiwa tempat Nana berada. Mereka akan mencaritahu kebenaran akan jati diri Lisa yang sebenarnya.
Sementara Lisa dan Dani melewati detik demi detik tanpa kegiatan yang berarti disana. Jam demi jam berlalu, Dani yang awalnya semangat sekarang mulai sering mengeluh karena Mora dan Neo tidak kunjung kembali. Lisa berusaha menenangkannya.
“Mungkin mereka ingin menunggu disana sampai mobil jenazah membawa pergi Leo.” Lisa berusaha menghibur.
Monitor itu berjalan halus, menandakan Weisu masih hidup. Semakin sore Dani merasakan kegelisahan yang semakin parah. Dia tidak bisa mengunakan ponsel, dan dia juga tidak bisa melakukan apapun dikamar kecil itu.
“Aku akan pergi membeli kopi lagi. Apakah kamu mau menjaga Weisu sendiri ?” Dani bangkit berdiri dan mengambil jaketnya. Dia tidak membutuhkan jawaban Lisa, yang dia butuhkan adalah udara segar saat ini.
Dani lalu pergi dari kamar itu, menyisakan Lisa dan Weisu berdua. Setelah memastikan Dani telah berlalu dari sana, Lisa tertawa keras seorang diri. Dia bangkit berdiri dari tempat duduknya dan mengeluarkan jari Leo dari bawah bantal Weisu. Dia membuka oksigen Weisu dan membiarkan pria itu mulai tersentak. Mata Weisu akhirnya terbuka. Dia menatap Lisa dengan penuh ketakutan.
“Ohh,, poor Weisu. Aku tidak ingin berakhir seperti ini. Namun kamu telah membunuh Leo.”
“Ups, kamu tidak bisa berbicara ya. Terimakasih telah memintaku membunuh kekasihku. So, aku akan memberikanmu hadiah.”
Lisa memperlihatkan jari Leo pada Weisu. Pria itu berusaha mengerakan tubuhnya namun tidak berdaya. Lisa mendekatkan jari tersebut pada Weisu. Pria itu hanya terbaring lemah dan tidak mampu memberikan perlawanan.
Dengan kasar Lisa membuka paksa mulut Weisu. Dia memasukan jari Leo kedalam mulutnya dan memaksa Weisu menelannya. Pria itu meronta hebat. Lisa tidak perlu memberikan usaha lebih karena Weisu tidak memiliki lidah. Dengan memasukan air secukupnya, jari itu mengalir masuk dan tersangkut ditenggorokan Weisu. Mata pria itu terbelalak.
“Selamat tidur, Weisu…”
Lisa mencabut infus Weisu dan membiarkan pria itu meronta hebat. Lalu Weisu diam. Dia tidak bergerak. Lisa membersihkan bibir pria itu lalu menutup kembali oksigen dimulut Weisu. Dia memasang kembali infus Weisu lalu berpura – pura tertidur disamping kasur Weisu.
Pintu kamar terbuka beberapa jam kemudian, Dani kembali dengan 2 gelas kopi hitam ditangannya. Seketika gelas itu terjatuh dan Lisa, bangun dengan terkejutnya.
“Ada apa Dani ?”
Wanita itu menunjuk layar monitor disamping Lisa. Garis dimonitor itu telah menjadi datar. Lisa tampak panik, begitu juga Dani yang langsung berlari masuk kedalam. Mereka berusaha menyadarkan Weisu. Monitor itu mulai mengeluarkan bunyi beep keras. Mereka panik lalu menekan tombol panik diujung kasur Weisu dan seorang dokter jaga berlari dengan cepat kekamar mereka