Malam ini aku kembali menunggu mama membuat kerupuk. Mataku terasa berat dan jam sudah hampir berada diangka 10 malam. Aku sungguh iri kepada Willy yang bisa langsung tidur. Tidak perlu membantu mama didapur, tidak perlu menunggu mama dan bisa bermain game terus. Papa selalu memberikan uang padanya sehingga sekalipun papa tidak ada, dia bisa bermain game tanpa khawatir tidak memiliki uang. Sementara aku, untuk makan dikantin saja kuhemat.
“Ma, aku tidur dulu dikamar ya.” Kataku pada mama.
“Karen tidur aja dikursi, nanti mama bangunkan. Sebentar lagi selesai kok.”
Mama selalu berkata begitu padaku. Kuhela nafasku dan kupejamkan mataku. Aku tertidur dengan cepat karena kelelahan.
“Karen.. Karen..” samar samar kudengar suara mama memanggilku.
“umm..” kubuka mataku dengan beratnya.
“Yuk tidur kekamar.”
Dengan setengah sadar kuikuti mama berjalan kedalam kamar dan kembali melanjutkan tidurku.
Aku melewati setiap hariku dalam kesendirian disekolah. Setiap ada tugas sekolah selalu kukerjakan sendiri, tentunya dibantu oleh bu Hati. Ada beberapa guru yang selalu memarahiku dan berkata bahwa aku tidak bisa berteman disekolah, padahal kenyataannya adalah tidak ada satupun orang yang mau berteman denganku.
Aku dan Dave juga sudah tidak bercakapan untuk alasan yang tidak kuketahui penyebabnya. Kehilangan Feri tanpa alasan yang jelas, lalu kehilangan Dave dengan alasan yang sama membuatku tidak ingin berteman dengan siapapun lagi. Tepatnya aku tidak bisa membedakan apakah aku yang tidak bisa berteman dengan orang ataukah tidak ada orang yang ingin berteman denganku.
Aku mulai sering mengikuti mamaku pergi ketempat perjudiannya setelah lesku selesai dan mendapatkan beberapa ribu dari sana jika mama memenangkan permainan. Kegiatan berjudi mama hanya akan berhenti jika papa sudah pulang.
Papa selalu pulang tepat disaat ujian akhir sekolah akan dilaksanakan. Ada perasaan cemas dan takut didalam diriku. Bagaimana aku bisa mendapatkan nilai bagus. Bagaimana aku bisa mendapatkan juara dan ranking yang lebih baik. Aku begitu takut papa akan memarahi mamaku setiap kali dia melihat ketidakmampuanku. Aku mulai sering belajar 2 minggu menjelang ujian dan bangun lebih subuh saat hari ujian tiba.
Aku menjawab semua pertanyaan dikertas ujian dengan rasa percaya diri yang tinggi karena bagiku, aku sudah berusaha semaksimal yang aku bisa, dan aku juga begitu yakin akan mendapatkan nilai bagus di kelas 4 ini. Sampai hari dimana pembagian hasil ujian diberikan kepada kami. Tanganku gemetar melihat nilai yang tertera disana. Tidak ada satupun hasil ujianku yang mendapatkan nilai 60 disana. Aku harus mengikuti remedial untuk setiap pelajaran jika ingin dinyatakan lulus kelas 4 tahun ini. Aku begitu takut untuk memperlihatkan nilaiku, terutama pada papaku.
Sejak kejadian aku pulang bersama angkot, mama sudah mendaftarkan namaku untuk pulang bersama bus sekolah, sehingga setiap hari aku akan pulang dengan bus. Didalam bus, aku mengenal seorang anak pendiam dan berasal dari kelas 4A didalam bus. Cadra namanya. Rumah kami tidak begitu jauh karena supir bus kami, Pak Eto selalu mengantarkannya terlebih dahulu.
Hari itu, tidak tahu apa yang berada didalam pikiranku, aku berniat menukar nilaiku dengan Candra saat berada didalam bus. Aku memilih tempat duduk yang berdekatan dengannya dan berusaha mendapatkan nilainya saat dia sedang sibuk membaca komiknya.
“Can. Boleh lihat hasil ujianmu ?” tanyaku saat bus bersiap untuk mengantarkan kami.
“Oh iya, sebentar ya.” Candra langsung melipat komiknya dan mencari kertas ujiannya didalam tas, tanpa banyak bertanya ataupun curiga sama sekali. Dia langsung memberikan kertas tersebut padaku.
Aku sedikit terkejut melihat nilai ujiannya dikertas tersebut. Nilai paling rendah yang dia dapat adalah 8 ! Keinginanku semakin kuat untuk mendapatkan nilai tersebut.
Pak Eto mulai menghitung murid yang ada didalam busnya dan menyalakan bus tersebut tidak lama setelah dia selesai menghitung. Bus mulai berjalan pelan keluar dari kawasan sekolah, kuperhatikan murid lain sibuk ngobrol dan Candra kembali sibuk dengan komiknya. Kukeluarkan penghapus yang berada ditasku dan mulai menghapus namanya dari kertas ujian tersebut.
Setelah namanya selesai kuhapus, segera kukeluarkan pensilku dan mengisi kolom tersebut dengan identitas diriku. Selesai mengubah nilainya, kukeluarkan kertas ujianku dengan mata pelajaran yang sama dan melakukan hal yang sama pada kertasku. Kuganti namaku dengan nama Candra disana tanpa rasa bersalah. Dan tentunya tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.
Setelah memastikan ada 4 pelajaran yang kuganti, kukembalikan kertas tersebut kepada candra. Tentunya dengan harapan dia tidak memeriksa namanya lagi.
“Makasih ya Candra.” Kataku polos sambil mengulurkan kertas ujiannya.
Candra menoleh kearah kertas tersebut dan langsung menyimpannya kembali kedalam tas. Dia kembali melanjutkan bacaannya sampai bus mengantarkannya hingga kerumah. Dia turun dan aku melambaikan tanganku. Aku tidak memikirkan sama sekali apa yang akan terjadi padanya. Yang ada dipikiranku saat itu adalah apakah aku sudah menganti namanya dengan baik dan apakah papa akan bangga dengan nilaiku hari ini. Tidak dibutuhkan waktu lama aku sudah sampai didepan rumah dan aku segera berpamitan dengan pak Eto.
Aku memanggil mamaku dari depan dan tidak lama mama langsung membuka pintu. Aku tersenyum dan berlari seketika kedalam rumah. Kukeluarkan hasil ujianku tanpa rasa bersalah dan langsung memberikannya kepada mama.
“Ma, aku dapat 8 !!” teriakku tanpa rasa bersalah sama sekali.
Mama ikut senang melihat nilaiku yang bagus. Dielusnya kepalaku berulang kali dan diberikannya kertas tersebut pada papaku yang duduk diruang tamu. Melihat nilaiku, papa tersenyum dan mengembalikan kertas itu kembali kepada mama. Mama menghampiriku dan berniat membelikanku makanan kesukaan sebagai ucapan selamat. Kusebutkan kue idamanku dan mama berjanji akan membelikannya besok. Disatu sisi, Aku mulai menyadari kasih sayang papaku hanya sebatas nilai ujian !
Aku segera pergi mandi dan mulai berpikir bagaimana nasib Candra saat orangtuanya melihat nilainya yang tiba – tiba rendah. Aku tidak tahu kenapa bisa terlintas dibenakku untuk menukar nilai kami. Apakah aku terlalu takut kepada papaku, ataukah aku terobsesi untuk mendapatkan nilai bagus padahal aku tidak mampu ?
Perubahan diselembaran kertas ujian tersebut tidak akan mengubah nilai raporku nantinya. Pikiranku mulai memikirkan resiko yang akan terjadi saat kebohonganku tersebut diketahui.
Ketika aku mulai memutuskan untuk jujur kepada mama akan hal tersebut, samar – samar kudengar suara seseorang memanggil namaku dari depan pintu rumah kami. Kutajamkan pendengaranku dan bisa kudengar bahwa seorang ibu sedang marah – marah dari depan, dan papaku berusaha menenangkannya. Ada perasaan tidak enak dan cemas dari diriku. Aku tidak berani keluar dari kamar mandi.
Aku terus menunggu dan menunggu suara tersebut reda hingga akhirnya yang ada hanyalah keheningan. Kukeringkan badanku dan segera keluar dari kamar mandi. Papa sudah kembali duduk ditempat semula saat kutinggalkan, sementara mama menungguku didapur belakang.
“Karen.” Panggil mama lembut.
Aku mendekati mama dan memutuskan untuk jujur namun sayangnya selembaran kertas sudah berada ditangan mama. Kuperhatikan kertas tersebut dengan rasa takut dan bisa kurasakan wajahku saat ini pasti sudah berubah pucat.
“Tadi mama Candra kesini..”
“Pasti dia buang karena takut !” bentak papa dari dalam sebelum mama sempat menyelesaikan perkataannya.
Aku kaget dan tidak berani melihat papa. Mama Candra pasti sudah datang kesini tadi dan marah – marah. Pasti ! berbagai macam perasaan kini ada didalam hatiku.
“Jadi dia kasih mama ini. katanya ada didalam tas Candra.” Mama melanjutkan perkataannya sambil memberikan selembaran kertas yang sedari tadi dia pegang.
Dengan perasaan takut, kuambil kertas tersebut dan kubuka perlahan. Selembar kertas ujian dengan angka 20 !
Hal pertama yang terlintas dipikiranku bukan lagi tentang kemarahan papa dan mama, melainkan bagaimana bisa kertas ujian ini berada didalam tas dia. Jika papa menyadari bahwa pelajarannya sama dengan kertas yang kuberikan tadi dengan nilai 9, maka semua kebohonganku akan terbongkar.
“Karen, kamu takut kena marah ya dapat nilai rendah begini ?” tanya mama lembut.
“Engga kok.” Aku tidak berani menjawab sebelum mendapatkan alasan yang baik.
“Kalau tidak, kenapa bisa ditas orang !” papa menyambut jawabanku, masih dengan nada marah.
“Dengarkan dulu dia bilang apa !” bentak mamaku karena dia juga sudah mulai kehilangan kesabarannya.
Kulihat papa dan mamaku yang mulai berkelahi karena kertas tersebut. Aku tidak menjawab pertanyaan mereka dan langsung berlari kedalam kamar. Suara mereka masih terdengar hingga kekamar. Kubenamkan kepalaku dalam bantal dan mulai menangis hingga suara perkelahian mereka berhenti. Tidak lama kemudian pintu kamar terbuka. Aku tidak berani melihat siapa yang kini masuk kedalam kamar.
“Dia sudah pergi. Dia memang begitu Karen.” Kata mama.
Kuintip mama dari balik bantal. Papa sudah pergi setelah perkelahian. Aku tetap memilih untuk diam dan tidak ingin menjelaskan apapun pada dia.
(to be continue…)