Tidak jauh dari lapangan tersebut, terdapat sebuah bangunan kecil tempat sebagian karyawan ini tinggal. Biasa disebut mess. Mess ini dikontrol oleh personalia secara langsung sehingga tidak semua karyawan diberikan kesempatan untuk bisa tinggal disana. Hanya orang – orang yang dipercayai merupakan karyawan yang memberikan prestasi dan kinerja terbaiklah yang berada disana.
Aku sampai pada bagian belakang area ketiga dan disana terdapat sebuah pintu kecil yang bisa tembus kejalan raya. Seorang security duduk disana dengan malasnya.
“Kemana Mika ?” tanyanya sambil berdiri dari post saat melihatku mendekatinya.
Aku menunjukan uang selembaran uang yang diberikan Yuli padaku dan dia sudah mengerti bahwa aku disuruh pergi berbelanja oleh admin dikantor. Dibukakannya pintu agar aku bisa keluar,
“Jangan lama ya.” Pesannya padaku pelan sebelum membiarkan aku berlalu melewatinya.
Sebuah market terletak tidak jauh dari sini, cukup berjalan sebentar sekitar 3 menit dan menyebrang untuk bisa memasuki market tersebut. Market ini lumayan besar dan memiliki berbagai jenis kebutuhan, ditambah setiap lorong raknya berjaring – jaring, sehingga pembeli bisa menerawang ke rak berikutnya untuk memudahkkan pencarian barang mereka, cukup dengan memicingkan mata saja.
Aku langsung mendatangi rak tempat kopi kesukaan Adel dan tanpa membuang waktu, aku segera berjalan kederetan snack, kuambil beberapa snack yang sering dikunyah oleh Yuli dan sambil menghitung dalam hati total belanjaku. Saat mengambil sebuah Cheetos, aku bisa melihat ke rak sebelah dan seorang laki – laki yang tidak asing sedang berbelanja dideretan tersebut. Sangat familiar sekali bagiku.
Kupincingkan mataku untuk melihat lebih jelas, tapi aku tetap tidak bisa menebaknya dengan baik. Aku memutari rak agar bisa melihat dia secara dekat, namun sayangnya saat aku sampai pada barisan rak itu, dia sudah tidak ada. Aku berjalan ke kasir dan bisa kulihat pintu sudah tertutup, mungkin dia sudah selesai berbelanja, atau sengaja pergi karena sadar aku berusaha mendekatinya.
Kuselesaikan belanjaku dan segera berjalan kembali ke pabrik. Security yang sama membukakan pagar dan memberitahuku bahwa Evan baru saja masuk kerja dan kemungkinan besar sekarang berada dikantorku. Sudah menjadi kebiasaan kami saling memberitahu keadaan satu sama lain agar sama – sama tidak kena marah nantinya.
“Dia ada cek tidak siapa saja yang keluar tadi bang ?” tanyaku sedikit panik.
Seharusnya aku hanya belanja diwarung depan, bukan pergi kemarket.
“Ada, abang bilang kamu pergi barusan aja, karena kopi diwarung depan habis. Tidak usah cemas, mending cepat masuk kantor aja dhe ya.” Katanya sambil menuutup pintu begitu aku melangkah masuk. Aku segera merapikan penampilanku dan mengatur nafasku agar tidak terlihat panik lalu berjalan dengan langkah agak cepat dengan tentenganku kembali kekantor.
Aku sampai dikantor dan kulihat Evan sedang berdiri dimeja kosong tempatku meletakkan kopi tadi. Tangannya terlipat dan Adel berada tidak jauh darinya. Kulihat wajah Evan yang serius dan Yuli yang tidak bersuara sama sekali dan hanya melihat ke komputernya saja. Aku memutuskan untuk masuk kedalam kantor dan berjalan langsung menuju lemari penyimpanan dibelakang.
“Kamu darimana ? apa itu kamu nenteng – nenteng ?” Evan berbicara dengan nada agak kasar saat melihatku.
Sebuah kursi bergeser dan aku mengalihkan pandanganku pada Yuli. Dia berdiri dan berjalan keluar dari kantor ini, pertanda Evan akan marah tidak jelas (lagi) padaku. Kugengam erat bungkusan belanjaku, sambil menatap lantai, aku menjawab pertanyaan Evan. Kujelaskan bahwa aku membeli kopi dimarket karena diwarung biasa kopi tersebut sudah habis. Aku tahu warung tersebut tidak akan kehabisan kopi, namun karena aku tidak ingin security tadi mendapatkan masalah, aku berbohong pada Evan.
Evan melihatku sebentar dan merapikan kacamatanya lalu berjalan ketempat Adel dan mengambil telepon terdekat. Dia menghubungi security didepan dan menyuruhnya kewarung didepan, tempat seharusnya aku membeli kopi.
Mati ! Mati ! ulangku terus menerus didalam diriku, tapak tanganku terasa berkeringat, kenapa tiba – tiba Evan bersikap begitu padaku. Aku bahkan kembali sebelum 30 menit dan biasanya aku lebih lama berada diluar. Tidak pernah ada masalah sama sekali.
Evan mematikan teleponnya dan menoleh kepadaku.
“Bagaimana kamu bisa bilang habis saat berjalan kedepan saja tidak kamu lakukan ! dan kamu lihat, (jarinya menujuk kearah kopi yang tadi pagi aku buat dan masih terletak penuh disana), kamu suka membuang – buang bahan ! siapa yang menyuruhmu membuat kopi. Apa untuk diri kamu sendiri !” Bentaknya dengan suara yang lantang, bisa kulirik karyawan yang berada dibawah menoleh keatas sekilas karena besarnya suara Evan.
“Tidak Pak, itu untuk Ibu..” jawabku sambil melihat Kearah Adel, namun dipotong.
“Alasan ! Kalau kamu tidak bisa bekerja dan tidak tahu aturan bekerja. Tidak perlu kamu bekerja dan beralasan terus !” Evan membentakku dengan kasarnya.
Sebuah suara kecil menyuruhku untuk melakukan perlawanan. Tidak ! aku masih butuh pekerjaan disini. Tidak ! dia tidak bisa memperlakukan hidupku dengan seenaknya, ini sudah setahun kesabaran yang kupendam didalam hati. Dia tidak bisa sesuka hati menjadikan aku tempat pelampiasan amarahnya setiap kali dia ada masalah, ataupun saat Adel tidak suka dengan apapun yang aku lakukan, dia tidak bisa hanya mendengarkan Adel hanya karena dia pacarnya. Dianggap apakah diriku ini.
Kulepaskan tentenganku dan kubiarkan terjatuh dilantai, kutatap muka Evan, bergantian dengan menatap Adel. Wajahku terasa panas, amarahku sudah tidak bisa kutahan, namun tidak ada satu katapun keluar dari bibirku, tidak ada setetes airmata kemarahan ataupun kesedihan menetes dari mataku. Kuancungkan jari tengahku pada Evan disertai ungkapan isi hatiku padanya.
“F*ck YOU !” kataku sambil menendang belanjaan dilantai tersebut, dan pergi dari kantor itu.
Aku tidak akan kembali lagi bekerja disini ! tidak akan ! kukatakan pada diriku terus menerus sepanjang perjalananku keparkiran. Bisa kurasakan karyawan yang berada dibagian lainnya menatapku dengan heran, aku berjalan dengan cepat, wajahku sudah seperti udang rebus saat ini, aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, kenapa aku tidak bisa mengontrol emosiku. Aku sampai dikantin dan langsung mengambil sepedaku.
Segera kukayuh sepedaku keloker dan mengambil semua barangku disana, lalu aku meninggalkan pabrik ini. Yah, security tadi tidak bertanya apapun kecuali membukakan pintu karena dia tahu pasti aku dipulangkan oleh Evan.
(To be continue…)