Dave mulai menceritakan dirinya dengan penuh semangat. Salah satu kisah cardcaptor sakura adalah favoritenya. Dia mengatakan bahwa film itu bukan hanya sekedar animasi belaka, melainkan kisah nyata.
Banyak kartu – kartu yang telah hilang dan dia mendapatkan tugas untuk mengumpulkannya kembali. Biasanya hal tersebut selalu dilakukannya tengah malam ketika semua orang sudah tertidur. Aku memang menyukai anime tersebut, namun bagiku, Dave terlalu jauh pada imajinasinya sendiri.
Ada keinginan kuat untuk berkata pada Dave bahwa itu adalah dunia ciptaannya sendiri dan tidak mungkin terjadi. Namun, aku terlalu takut untuk mengecewakannya. Aku takut tidak akan memiliki teman tepatnya, sehingga aku hanya bisa berusaha mengikuti alur ceritanya.
Suara pintu terbuka dari bawah, Dave segera berlari turun kebawah dan aku mengikutinya. Orangtua Dave pulang. Betapa kagetnya mereka saat melihatku berada dirumah mereka. Aku berusaha menyapa dan mereka menyahutku.
Papa Dave bertanya padaku dengan siapa aku kerumahnya, dan kujelaskan bahwa kami berjalan kaki dari sekolah kesini. Setelah terjadi saling pandang antara papa dan mama Dave, akhirnya papa Dave kembali bertanya padaku apakah aku memiliki nomor ponsel rumah.
Aku menjawab dengan semangat dan kuberikan nomor papaku. Aku mengetahui nomor papa karena dia sering menulisnya dibuku. Aku menghafalnya diluar kepala sehingga jika sesuatu terjadi padaku saat dia tidak ada, aku bisa menghubunginya dari wartel ataupun meminjam ponsel tetangga.
Papa Dave berjalan agak jauh setelah aku memberikan nomor papa padanya. Aku dipersilakan duduk oleh mamanya dan diberikan makanan. Aku merasa begitu bahagia melihat perhatian mamanya. Kunikmati makanan tersebut bersama Dave dalam keheningan. Aku akan pulang sebentar lagi sebelum mama cemas.
Kudengar pintu besi rumah Dave berbunyi tidak lama setelahnya, Papa Dave bangkit dari dapur dan pergi untuk membukakan pintu tersebut, Aku duduk dengan tenang didapur dan bersiap membersihkan piring tempat makanku sendiri sebelum akhirnya seseorang memanggil namaku dari pintu depan.
“Karen !” aku terkejut karena sadar itu adalah suara papa.
Bagaimana dia bisa menjemputku kesini padahal aku tidak memberitahu papa sama sekali. Mama Dave menyuruhku meletakkan begitu saja piring bekas makanku dan menyuruhku kedepan. Aku berjalan dengan hati yang tidak enak dan kupandangi papaku sedang berbicara dengan papa Dave.
Setelah melihatku mendekat, mereka menghentikan pembicaraan lalu papa segera pamit dengan orangtua Dave. Kuperhatikan tatapan papa Dave yang dingin sebelum akhirnya aku naik keatas motor papa dan pergi dari sana. Aku bahkan tidak sempat pamit dengan Dave.
Papa tidak berkata apapun sepanjang perjalanan pulang kami. Pasti dia tahu dari papanya Dave. Apa yang harus aku lakukan, perasaan binggung dan takut bercampur didalam diriku. Aku sampai rumah dan segera turun dari motor papa.
Kulihat mama sudah menungguku dipintu dan segera berdiri setelah melihatku. Dipeluknya diriku dan bisa kulihat wajah marah papa berlalu begitu saja keruang tamu.
“Karen. Kamu jangan pergi sama laki – laki tidak dikenal lagi ya !” kata mama ketika melihat papa sudah berlalu.
“Ma, Dave kan teman Karen.” Jawabku.
“Iya tapi kan dia laki – laki. Buat apa dirumah laki – laki berdua saja tanpa pengawasan orangtua !” nada bicara mama mulai berubah.
“Kan aku hanya main sama Dave ma.” ada perasaan sedih didalam suaraku.
“Tidak dengan kerumahnya !” bentak mama.
“Temanku hanya Dave ma !” aku melepas pelukan mama dan segera berlari kedalam kamar.
Aku sungguh tidak mengerti apa maksud ucapan mama pada saat itu. Apakah salah jika aku bermain kerumah teman ! kenapa aku selalu dilarang sementara Willy bebas melakukan apapun ! Kupeluk gulingku dan aku mulai menangis didalam kesunyian.
(to be continue…)