Pembagian rapor menjadi hari yang paling menakutkan bagiku karena disanalah aku ditentukan bisa naik kelas ataupun harus mengulang. Upacara bendera berlangsung sedikit lebih lama karena para guru membacakan para juara agar dapat berdiri didepan dan menjadi panutan bagi siswa lainnya. Namaku jelas tidak menjadi salah satunya.
Kuperhatikan sekeliling dan dapat kulihat sosok papaku berada didekat kerumunan orangtua. Bahagia luar biasa kurasakan kala itu. Upacara berakhir dan aku berusaha berjalan melewati kerumunan dan menghampiri papaku.
Dia melihatku dan berjalan terlebih dahulu menuju kelas Willy. Dalam hatiku berseru :
“Pa ! Aku duluan lho yang datangin papa ! kenapa Willy yang diutamakan !”
Aku tidak mampu mengatakannya. Dengan memendam kembali kekecewaan, aku hanya mengikuti dia sampai didepan kelas Willy dan menunggu giliran nama Willy dipanggil.
Wali kelas Willy memuji kemampuan Willy didepan papa. Dia mendapatkan rank 5 dari 32 anak. Kulihat papa dengan bangga mengelus kepalanya dan menyalami gurunya dengan tersenyum lebar. Lalu kami berjalan menuju kelasku, 1C.
Aku mengajak papa kesalah satu bangku tempat dudukku dengan bangga, dan papa memilih duduk sedikit berjauhan dariku.
“Karen.” Panggil bu Sumi tidak lama setelah kami duduk.
Papa berhadapan dengan bu Sumi. Aku berada disamping papa, sementara Willy duduk disalah satu kursi dalam kelasku. Bu Sumi menatapku sebentar sebelum berbicara dengan papa.
Perasaan cemas seketika menghinggapi diriku. Bu Sumi menjelaskan bahwa kemampuanku membaca dan mendengarku tidak begitu baik, namun kemampuan menulisku ada peningkatan. Kulihat raporku dan disana tertera dengan jelas bahwa aku mendapatkan peringat 36 dari 38 anak.
Melihat angka tersebut membuatku seolah tersambar oleh petir disiang hari. Aku bahkan tidak berani melihat wajah papaku saat itu dan untungnya aku dinyatakan lulus kelas 1 dengan catatan harus ada perubahan pada nilaiku dikelas 2.
Kami pulang bertiga untuk pertama kalinya dengan kendaraan papa. Aku hanya duduk diam didepan dan Willy dibelakang. Aku sampai rumah dan segera masuk kedalam kamar tanpa berani berkata apapun sementara papa terdengar sedang memarahi mamaku.
Aku hanya tidur terus menerus didalam kamar dan pikiranku sibuk membayangkan banyak hal. Apa yang harus aku lakukan, kenapa aku tidak bisa pintar sama sekali. Aku mulai merasa bahwa diriku tidak diinginkan oleh keluargaku. Sungguh perasaan yang luar biasa nyata kurasakan ketika usiaku bahkan belum menyentuh angka 10th.
Aku tidak berani berada diruangan yang ada papaku saat itu. Untuk meraih mainanku saja, aku berusaha memanjat sendiri hingga akhirnya aku menjatuhkan mainan tersebut dan sontak membuat seisi rumah terkejut karena suaranya yang luar biasa keras.
Mama berlari segera ketempatku dengan celemek yang masih ada dibadannya begitu juga papa. Dia menatapku dan tidak ada satu katapun yang dia keluarkan. Hanya datang melihat dan berlalu pergi. Aku tidak berani menangis pada saat itu.
Mama mengambilkan sisa mainan yang masih berada diatas lemari dan meletakkannya ditempat aku duduk. Dia berpesan padaku untuk merapikannya kembali setelah bermain. Ada secerca kebahagiaan diwajahku ketika mengetahui bahwa mama tidak marah padaku.
Aku mulai suka memainkan setiap robotku sendiri dan berbicara sendiri. Aku mulai bisa membuat dialog diantara robot yang ada tidak tahu sejak kapan,
Pikiranku asik membayangkan, mengarang cerita dan membentuk permainanku sendiri. Permainan ilusi namanya. Semua yang aku kerjakan berdasarkan imajinasiku, aku membayangkannya lalu menciptakannya seolah hal tersebut adalah nyata.
Aku tidak akan memberitahu mama akan permainan baruku ini. Aku juga memutuskan bahwa aku tidak membutuhkan teman siapapun selama aku bersekolah. Tidak masalah jika aku harus mengerjakan tugas kelompok sendirian. Yang aku butuhkan adalah diriku sendiri. Dan begitulah diriku.
Aku menjadi pribadi yang tidak memperdulikan lingkungan sekitarku dan asik dengan dunia ciptaanku sendiri.
Memasuki kelas 2C, aku mulai menjadi korban bully temanku karena mereka menganggap aku aneh. Aku selalu tersenyum sendiri didalam kelas dan bahkan aku mulai berbicara sendiri. Aku tidak tahu kenapa mereka begitu membenciku.
Saat kami berbaris, selalu ada anak yang mendorongku, kadang ada yang menginjak sepatuku, memotong tali tasku dan yang paling sadis yang pernah mereka lakukan padaku adalah mereka mencoret rok merahku beramai – ramai.
Hal yang bisa kulakukan hanyalah duduk dipojokan, mendekap kepalaku agar tidak dipukuli sementara mereka mencoret – coret rokku sambil mengejekku.
Tidak ada yang berlari memanggil guru, sebagian hanya melihat dalam kebisuan, dan sebagian tertawa sambil melemparkan kapur kecil – kecil kearahku. Dan aku tidak menangis disaat itu.
Aku membayangkan ada seorang teman berada disampingku saat itu dan dia juga mendapatkan perlakuan yang sama. Aku tidak menangis sampai mereka puas dan meninggalkanku sendiri karena bosan.
Sepanjang pelajaran dimulai, aku mulai berusaha menghapus bekas kapur dirokku agar mama tidak binggung. Aku mengosoknya sekuat tenaga namun bekas itu tidak kunjung hilang. Saat aku mulai akan menangis didalam kelas, disaat itulah aku mendapatkan tissue basah dari teman sebelahku.
Kulihat wajahnya yang penuh antusias memberikan tissue padaku dan memberikan code agar aku mengunakannya. Disanalah aku menemukan teman pertamaku, yang peduli padaku setidaknya.
Dia tidak banyak berbicara dan mengoperkan kertas kearahku dengan tulisan kecilnya. Namanya Feri. Aku tersenyum dan mengisi kertas tersebut dengan namaku lalu mengoperkannya kembali pada Feri.
Aku segera mengunakan tissue basah tersebut untuk membersihkan coretan dirokku dan ternyata berhasil. Coretan tersebut tidak berbekas separah tadi.
Jam pulang sekolah adalah hal yang kutunggu – tunggu. Tanpa banyak bicara ataupun bermain terlebih dahulu, aku selalu berjalan kepagar depan dan menunggu. Aku menunggu mamaku datang, terkadang aku pulang bertiga bersama papa dan Willy.
Sejak hari dimana papa mengambil raporku dan pulang bertiga, setidaknya papa sudah mulai mau membawaku bersamanya. Seiring dengan waktu, aku mulai bisa membaca dan mendengarkan. Mataku juga mulai terbuka meskipun kepalaku selalu keatas.
Aku sampai kerumah dan segera menganti pakaianku. Kusembunyikan rokku dan segera mengerjakan tugas sekolah terlebih dahulu sebelum ikut mama jalan dan les bersama bu Hati.
Hari – hariku selalu berakhir saat aku duduk disebuah kursi kecil dekat dapur sambil menunggu mamaku membuat kerupuk. Keajaiban yang aku rasakan pada saat itu adalah aku selalu terbangun diatas kasur.
Malam ini aku kembali menunggu mamaku membuat kerupuk. Saat mama sedang sibuk, aku pergi keruang tamu dan mengeluarkan rok merahku. Kuambil segelas air dan sebuah kain perca dan mulai membersihkan bekas kapur yang tersisa pada rok tersebut.
Bekasnya tidak mau hilang sepenuhnya. Aku berusaha membersihkannya sekuat tenaga, namun dia tetap berbekas. Sambil membersihkan rok tersebut, airmataku terjatuh. Aku mulai menangis tanpa kusadari.
“Karen, kenapa disini.” suara mama tepat dibelakangku dan lampu dinyalakan.
Kusembunyikan wajahku disalah satu bantal kursi dan dengan aktingku, aku menjawab mama pelan.
“Lagi pengen disini.” kataku tanpa menunjukan wajahku.
“Oh, kebelakang saja tungguin mama ya.” Lampu dimatikan dan mama meninggalkanku.
Setelah memastikan mama sudah pergi, segera aku lap mukaku agar tidak kelihatan sembab. Aku tidak ingin mama menjadi sedih karenaku. Aku tidak ingin membuat mama cemas juga. Dia pasti akan sedih jika mengetahui kenyataan bahwa aku tidak memiliki teman dan suka dibully karena keadaan fisikku.
Setelah perasaanku lebih tenang, aku memasukan kembali rokku dilemari dan duduk dikursi kecil tempat biasa aku menunggu mama sampai terlelap. Kuperhatikan jam didinding yang sudah mengarah pada angka 9 malam. Mataku tidak mengantuk sama sekali malam ini.
Kuperhatikan mama yang sibuk mengoreng, mengaduk dan membungkus kerupuknya sendirian. Papa dan Willy sudah tidur sejak tadi didalam kamar. Hanya aku yang menunggu mama setiap hari.
Ada perasaan binggung didalam hatiku, kenapa mama yang bekerja hingga larut malam, sementara papaku sudah tidur duluan didalam kamar. Harusnya papa yang bekerja keras !
Hari – hariku berjalan seperti biasa. Aku bangun paling pagi dan pergi kesekolah bersama mama dengan membawa kerupuk dagangannya. Perasaan minder mulai muncul dalam diriku. Aku tidak tahu kenapa bisa merasakan ketidaknyamanan ketika ada teman sebayaku yang melihatku dijalan bersama mama dan jualan kami. Aku merasa malu namun tidak pernah kukatakan pada mama.
Setiap hari mama selalu memberikanku uang 500 ataupun terkadang 1.000 sebelum meninggalkanku disekolah. Biasanya aku lebih suka menahan laparku daripada menghabiskan uangku. Dan sejak perkenalanku dengan Feri, hari – hariku mulai berubah.
Feri selalu mengajakku bermain meskipun kami hanya berada didalam kelas saat jam istirahat. Tidak jarang kudengar anak – anak lain mulai menyindir Feri dan aku.
Dia selalu cuek menghadapi anak – anak tersebut, dan lama kelamaan, mereka mulai malas mengangguku. Bahkan membullyku saja mereka malas karena tidak ingin berurusan dengan Feri.
Meski badannya tidak besar, Feri yang aku kenal adalah anak yang berani dan tidak segan melawan balik saat diganggu. Dia juga terkenal karena kelakuannya yang konyol, hal ini kuketahui saat ada pemeriksaan gigi oleh guru wali kelas, dia mengajariku bagaimana membersihkan kotoran gigi dengan kuku. Jorok tapi bermanfaat.
Sejak aku mulai semakin dekat dengan Feri, dia selalu menemaniku duduk dibangku dekat pagar sekolah sampai aku dijemput oleh mama ataupun papaku. Aku tidak pernah melihat dia dijemput lebih dulu daripada aku. Dan dari dia juga aku mulai tahu bahwa berbagi itu bisa dalam berbagai hal, termasuk berbagi jawaban ulangan ataupun ujian.
Hari – hariku terasa lebih baik dengan kehadirannya. Dia juga menjadi temanku setiap kali ada tugas kelompok. Aku tidak pernah mengetahui rumahnya karena dia tidak pernah mengundangku kesana, begitu juga sebaliknya. Kami selalu membawa bahan tugas kami kesekolah dan mengerjakannya bersama saat jam istirahat.
Kelas 2 dan 3 SD ku berlalu dengan baik sejak awal perkenalanku dengannya. Meskipun aku tetap mendapatkan ranking 36 ataupun 37 dari total 38 siswa, dia tetap menjadi teman terbaikku.
Sampai hari dimana aku tidak pernah menemukannya lagi saat memasuki kelas 4 SD. Tanpa kabar apapun, dia menghilang dari kehidupanku !
(to be continue…)