“Apapun yang kamu kerjakan, bekerjalah dengan hati. Kesempurnaan itu hadir saat kamu memilih untuk terus bangkit dan tidak pernah menyerah !”
Ditemani secangkir kopi hitam panas, kuhabiskan setiap sore dengan duduk dicafe kesukaanku. Tanganku dengan lincah mengeser – geser putaran mouse yang terpasang dilaptop kesayanganku.
Tidak jarang aku tersenyum sendiri didepan laptop karena asik membaca berbagai berita terbaru dan membuka hampir semua media social yang kupunya setiap hari. Hidupku adalah hidup yang sangat sempurna.
Menjadi seorang manajer diusia yang masih tergolong muda memberikanku suatu kebangaan tersendiri atas prestasi yang sudah berhasil kuraih selama ini. Kalimat bijak seperti kerja keras tidak pernah menghianati hasilnya merupakan kalimat bijak yang sangat aku sukai karena aku merasakan setiap kerja keras yang kita lakukan akan memberikan hasil yang baik pada kita juga dikemudian hari.
Mungkin bagi sebagian orang kata – kata bijak tersebut hanya berlaku pada mereka yang sudah sukses ataupun berhasil mencapai segala hal yang mereka inginkan, sehingga bagi mereka yang berhasil, kata – kata tersebut terdengar baik, dan bagi sebagian orang yang masih belum bisa mencapai keberhasilannya sendiri, kata – kata tersebut ibarat seperti sindiran bagi mereka.
Aku suka membaca berbagai artikel tentang perjuangan seseorang yang berhasil mencapai kesuksesannya lewat kerja keras mereka karena hal tersebut membuat aku selalu merasa lebih tertantang jika ingin memulai sesuatu yang baru.
Sambil meneguk beberapa kali kopi hitam yang berada didepanku, aku sangat betah untuk berlama – lama disini. Sekilas aku pandangi sekelilingku, sebagian orang melihatku dengan heran, dengan mengunakan kaos polos dan celana pendek selutut yang bisa ditemukan dipasaran, aku selalu duduk disini dalam jangka waktu lama.
Setelah puas membaca beberapa berita terbaru, aku selalu membuka word kesukaanku.
Ya, aku suka menulis. Aku menuliskan hampir semua perjalanan hidupku karena menulis merupakan tempat pelarianku sekaligus tempatku bercerita ketika tidak ada yang mendengar ataupun percaya.
Kubuka kembali folder lamaku dan mataku mulai lincah membaca setiap kata yang terketik didalam word ini. Tanpa kusadari, pikiranku mulai melayang jauh, membawaku kembali pada kehidupanku beberapa tahun lalu.
Sebagai anak bungsu wanita, seharusnya membuatku menjadi anak gadis yang boleh bermanja – manja dan bisa mendapatkan segala keinginanku hanya dengan memanjangkan tanganku kepada orangtuaku, bukankah begitu ?
Namun kenyataan yang aku jalanin berlainan dengan apa yang selayaknya harus kudapatkan sejak dini. Aku terlahir dengan sedikit cacat pada mata bagian kananku, dan kemampuan otakku yang tidak bisa menyeimbangi teman – teman seumuranku pada umumnya membuat orangtuaku sempat putus asa untuk membesarkanku.
Aku mengikuti berbagai les extra hanya untuk bisa membaca kata – kata dengan baik, belajar berbahasa Indonesia dan belajar mendengar. Aku bahkan tidak mengerti apa yang dikatakan orang padaku saat itu, dan hanya selalu tersenyum jika senang, menagis jika tidak suka dan diam jika merasa sedih.
Usiaku terpaut 2 tahun dari abangku, bisa dikatakan semua kesempurnaan hidup ada padanya, nilai akademis yang baik, fisik yang mengagumkan, kasih sayang yang melimpah dari kedua orangtuaku padanya. Sungguh ada perbedaan yang besar antara aku dan abangku.
Hal itu juga menjadi salah satu penyebab yang membuatnya malu ketika berada disekolah. Dia juga tidak jarang memukuliku dengan kasarnya setiap kali dia tidak suka dengan apapun yang aku lakukan.
Sampai hari dimana aku menjalani test kejiwaan dan hasilnya berkata bahwa aku menderita ganguan mental bipolar, yang artinya perasaan dan suasana hatiku bisa berubah sewaktu – waktu, seperti merasa bahagia seketika, merasa sedih tiba – tiba membuatku merasa duniaku seolah hancur.
Kenyataan ini juga membuat kedua orangtuaku memutuskan untuk berpisah dan menjalani kehidupan masing – masing, dimana abangku yang perfect ikut dengan ayahku, dan aku bersama dengan ibuku yang tidak pernah lelah mensupportku.
Aku melewati masa SD dengan penuh duka didalamnya, menjadi korban bully dan tidak memiliki teman untuk tugas kelompok, rasanya sudah menjadi makanan sehari – hari buatku.
Awalnya aku berpikir ingin berhenti sekolah dan membantu ibuku untuk berjualan kerupuk saja, namun keyakinan dan kepercayaan serta usaha ibuku membuatku bangkit. Tidak kuceritakan bagaimana perlakuan teman – temanku padaku karena takut dia bersedih.
Kupendam semua perasaan yang aku rasakan sendiri selama menjalani masa SD ku yang seharusnya bahagia. Belajar sendiri dan membuat tugas kelompok sendiri. Didepan mata para guru, aku adalah sosok yang egois, mereka tidak pernah tahu bahwa kenyataannya adalah tidak ada yang ingin berteman denganku.
Dibalik kecacatanku, ketertinggalanku, kondisi ekonomiku dan penampilanku. Aku belajar memendam rasa kesepian dan kesedihanku.
(to be continue…)