Namaku Karen. Aku adalah anak bungsu dikeluargaku dan aku terlahir dalam keadaan kurang sempurna. Tidak seperti anak gadis lainnya, aku terlahir dengan mata yang berbeda. Awal kelahiranku juga memberikan kenyataan yang sungguh menyakitkan bagi papaku karena aku terlahir berbeda dari abangku, Willy.
Kami seperti dua pribadi yang sangat berbeda dan tidak mirip sama sekali. Jika willy memiliki mata yang besar dan sempurna, maka mataku hanya normal sebelah, sementara sebelah lagi hanya setengah dari mata normal.
Aku juga tidak bisa melotot seperti anak lainnya. Kelahiranku juga hampir membawa kematian pada mamaku, karena dia mengalami pendarahan yang luar biasa diumurnya yang sudah 35th saat itu.
Aku adalah anak seorang pelaut dan mamaku berprofesi sebagai penjual kerupuk. Dan karena papaku adalah pelaut, dia sangat jarang berada dirumah. Kami hanya tinggal bertiga disebuah rumah kecil sewaan kami. Mama, Willy dan aku.
Kami tinggal dirumah yang memiliki halaman depan yang cukup luas untuk bermain. Sebuah rumah petak kecil dengan 2 kamar utama didalam rumah. Sebuah ruang tamu dan sebuah dapur kecil. Rumah sederhana bagi kami berempat.
Umurku dan willy berbeda 2th sehingga saat dia mulai bisa bermain dengan anak tetangga, aku baru mulai belajar berjalan. Dibutuhkan waktu hampir 2th bagiku untuk bisa mulai merangkak dan berjalan seperti anak normal lainnya.
Kelainanku ini sempat membuat mamaku cemas, namun dia tidak pernah menyerah untuk mengajariku. Sementara papaku, dia bahkan tidak pernah mengendongku tinggi – tinggi seperti yang dia lakukan pada willy.
Memasuki umur 2th, hal yang bisa kulakukan adalah berjalan dengan mengandalkan pantatku, seperti suster ngesot. Aku bahkan tidak pandai berbicara, hanya bisa menangis dikala lapar ataupun saat menginginkan sesuatu, dan tertawa disaat aku merasakan ada hal lucu disekitarku.
Mamaku begitu sibuk dengan kegiatannya sehingga dia sangat jarang mengendongku. Aku selalu diberikan robot – robotan untuk dimainkan sendiri. Tidak ada permainan huruf agar aku bisa membaca dan berbicara.
Hal yang aku ingat dengan jelas adalah aku berimajinasi sendiri dan membayangkan sendiri dalam kebisuan, robot menjadi teman setiaku setiap hari dikala itu.
Karena kesibukan kedua orangtuaku, akhirnya aku dimasukan ke TK sejak usia 4th. Hal yang aku ingat dengan jelas pada saat itu adalah aku dibawa oleh mamaku dengan sebuah sepeda, dan aku menangis sekuat tenaga saat melihat mamaku berlalu.
Guru disana memelukku dan berusaha menenangkanku dengan permen. Dan aku menangis sepanjang hari didalam kelas. Hal ini berlangsung hampir 2 bulan lamanya.
Willy, yang saat itu sudah berusia 6th dan bersiap meninggalkan bangku TK tidak pernah bermain denganku disekolah ketika jam istirahat. Aku tahu dia pasti minder memiliki adik sepertiku.
Selain itu, kami juga berbeda dari segi kemampuan. Aku tidak mengenal kata sama sekali, sementara Willy sudah bisa membaca dengan baik. Wajar jarak antara kami semakin jauh, dan perbedaan perlakuan ayahku juga tampak jelas olehku.
Aku menghabiskan masa TK ku tanpa teman satupun. Aku tidak tahu kenapa mereka menjauhiku. Aku tidak menuntut lebih dari orang lain karena Willy saja tidak mau dekat denganku disekolah.
Guru disekolah juga sering mengeluh kepada mama karena aku tidak mengerti apapun yang mereka katakan. Aku mengetahuinya ketika keluhan ini mereka sampaikan juga saat penerimaan rapor kepada papaku.
Papa yang marah saat itu hanya memarahi mama tanpa berbicara padaku sama sekali. Aku tidak tahu kenapa mama tidak pernah memberitahuku apa saja keluhan guru disekolah, karena bagiku, masuk kedalam kelas, mengambar berbagai hal dan bermain sendiri saat jam istirahat adalah hal yang normal.
Kuakui bahwa aku hanya bisa menangis dan melongo ketika ada guru yang berbicara padaku. Mereka tampak baik – baik saja, tetapi kenyataan sebenarnya adalah mereka ternyata sudah mulai kehilangan kesabaran dalam membina diriku.
Aku bahkan tidak berani meminta makanan lebih kepada guru setiap jam makan siang. Aku hanya menghabiskan porsiku, meskipun masih lapar dan anak – anak lainnya saling mengantri meminta tambahan makanan, aku lebih memilih bermain diayunan sendirian dan menunggu jam pulang sekolah.
Aku juga tidak pernah benar – benar bicara pada papaku. Semua hal yang aku lakukan selalu berhubungan dengan mama. Berbeda dengan Willy yang mendapatkan kasih sayang dari papa dan mama. Jika jam pulang sekolah tiba, Willy akan dijemput oleh papa, dan aku selalu pulang terakhir karena mama yang menjemputku dengan mengunakan sepeda tuanya.
Saat itu aku tidak mengerti kenapa aku tidak ikut pulang bersama papa dan Willy, yang aku tahu dari mamaku adalah kendaraan mereka tidaklah muat untuk bertiga, sehingga mama yang selalu menjemputku.
Mama akan menjemput kami dua kali jika papa tidak berada dirumah. Dan saat Willy sudah memasuki SD, kami mulai memiliki jam pulang sekolah yang berbeda, sehingga hal yang dilakukan mama saat itu adalah membawaku pulang terlebih dahulu, membelikanku makan dan meninggalkanku sendirian dirumah untuk menjemput Willy.
Aku bisa merasakan perbedaan kasih sayang yang berbeda juga dari mama, namun tidak separah perbedaan kasih sayang yang diberikan papa. Aku tidak mendapatkannya sama sekali.
Sebagai anak perempuan yang berada diposisi paling bungsu, aku selalu berpikir alangkah indah dan bahagianya kehidupanku. Memiliki seorang abang yang akan melindungiku, dan menjadi anak kesayangan dikeluargaku.
Aku mulai belajar memendam rasa kekecewaan sejak aku kecil. Tidak tahu bagaimana mengungkapkannya didepan mama, dan tidak pernah sekalipun berharap papa akan memperhatikanku seperti dia memperhatikan Willy.
Aku tidak membenci willy, namun ada perasaan iri yang terbentuk didalam diriku tanpa kusadari.
Melihat perkembanganku yang sangat buruk akhirnya membuat mamaku membawaku ketempat Bu Hati. Dia adalah teman mama sekaligus guru yang mengajarkan les membaca, menulis dan mendengarkan bahasa Indonesia dengan baik.
Meskipun mama harus bekerja lebih keras karena les tersebut memakan biaya yang cukup besar, dia tidak pernah memarahiku. Dan aku tidak pernah melihat papaku memberikan uang kepada mama. Aku tidak berani bertanya dan aku juga tidak mengerti pada saat itu.
Semua hal yang aku ketahui adalah mamalah orang yang bekerja, memasak, mencuci baju sekaligus mengantarkanku setiap hari kesekolah.
Aku les setiap jam 4 hingga 6 sore. Aku dan mama selalu berjalan kaki berdua karena jarak rumah Bu Hati dengan rumah kami berdekatan, mungkin sekitar 5 menit perjalanan. Bu Hati memiliki beberapa murid lainnya namun tidak ada murid yang les pada jam 4. Sehingga Bu Hati sangat fokus membinaku dikala itu.
Didepan rumahnya juga ada sebuah warung kecil yang menjual berbagai makanan dan permen karet. Salah satu jajanan kesukaanku. Aku sangat jarang meminta apapun kepada mama dan hal yang aku ingat saat pertama kali aku berjumpa Bu Hati adalah aku takut padanya.
Dibalik kacamata tebalnya dan rambutnya yang sudah tidak hitam lagi, dia selalu memegang sebuah rotan ditangannya.
Ruang tamu dirumah Bu Hati adalah tempat aku mulai mengenal bahasa Indonesia pertama kali. Alasan aku tidak pernah mendengarkan bahasa Indonesia adalah karena mamaku tidak pandai mengucapkannya, termasuk membaca dan menulis.
Bahasa yang kuketahui saat itu adalah bahasa dari kampung ibuku, bahasa Hokkien. Sungguh asing bagiku untuk mengucapkan setiap kata alphabet dan rotan selalu menjadi makananku sehari – hari setiap sore. Bu Hati adalah orang yang mengajariku dengan keras dikala itu.
Pertama kali merasakan sakitnya rotan, membuatku menangis dengan keras. Jika biasanya tangisanku bisa membuatku mendapatkan elusan ataupun permen, bersama Bu Hati, tangisanku akan membawaku kepada pukulan rotan berikutnya.
Bu Hati tidak luluh sama sekali dengan airmataku. Pada akhirnya aku mulai menyadari bahwa kekejaman dan ketegasannya tersebut adalah demi membuatku menjadi anak yang pandai.
Les selama satu bulan bersama Bu Hati sudah membuatku mulai mengerti bagaimana membaca A hingga Z. Dia mengajariku dengan metode berbeda, bukan dengan memberikanku buku bacaan, tetapi Bu Hati mengajariku bagaimana untuk bisa bernyanyi.
Lagu A B C D adalah lagu kesukaanku dikala itu baik ditempat les, ataupun dirumah. Aku selalu menyandungkan lagu itu dengan keras secara terus menerus dengan gembira. Belajar bersama Bu Hati mulai membuatku pandai mendengarkan Bahasa Indonesia dan mulai bisa mengucapkan beberapa kata meskipun terbata – bata.
Kebahagiaanku tersebut tidak berlangsung lama. Suara nyanyianku yang terlontang dengan keras membuat Willy merasa terganggu setiap saat, dan dia mulai suka memukuliku.
Aku tidak pernah membalas pukulan Willy dan hanya bisa menangis didalam kamar. Aku juga tidak pernah mengadu kepada mama karena setiap kali aku mengadu padanya, Willy akan dimarahi oleh mama, dan begitu papa pulang, maka giliran mamalah yang akan dimarahi dengan kasarnya.
Willy tidak pernah salah dimata papa. Dan hal ini membuat perasaan iriku bertambah dari hari ke hari.
Aku tumbuh besar didalam keluarga yang kelihatan sempurna, namun begitu rapuh didalamnya. Aku memiliki papa namun yang aku rasakan adalah aku tidak memilikinya. Aku memiliki abang yang seharusnya melindungiku, namun yang aku rasakan adalah abangku seperti neraka bagiku.
Aku seperti anak yang hidup hanya bersama mama, single parent. Setiap hari dia bekerja dan membiayai semua kebutuhanku. Dan karena dia jugalah aku mulai mengerti bahwa hidup itu tidaklah seindah kelihatannya.
Kita tidak akan memperoleh apa yang kita inginkan hanya dengan berdoa saja. Kita membutuhkan usaha dan kerja keras untuk bisa mendapatkan hal yang kita inginkan.
Aku hampir tidak diterima di SD karena keterbatasan ilmuku dan fisikku. Berkat Willy yang berada di SD tersebut dan sudah menduduki kelas 3 SD saat itu, akhirnya aku diterima untuk bersekolah disana.
Aku mulai membulatkan tekatku untuk bisa mengejar ketertinggalanku dengan Willy dan menjadi anak yang membanggakan untuk mama. Masa SD akan menjadi masa bahagiaku !