Kutapaki jalanan yang biasa kulalui setiap sore sambil menyandang tas ranselku menuju café doffi, salah satu café kesukaanku. Ini merupakan rutinitas yang aku lakukan setiap hari setelah pulang kerja.
Sebagian orang yang berada dikawasan ini menganggap aku adalah cewek yang aneh. Tinggi badanku sekitaran 160cm, Aku juga memiliki kulit yang putih, sehingga orang suka menebak bahwa aku bukan orang pribumi, yang kebenarannya aku berdarah campuran pribumi.
Rambutku sengaja dipotong pendek sebahu agar tidak kelihatan ikal. Dengan jean dan kaos oblong yang dipadu dengan sandal jepit, aku selalu berjalan dengan cepat dan mengabaikan pandangan aneh orang – orang yang berada disini.
Sebagian orang menganggap bahwa aku bekerja dicafe doffi karena aku suka pulang malam dari sana. Hal ini aku ketahui saat ada beberapa orang mulai bertanya padaku. Aku hanya tersenyum dan berjalan pergi tanpa pernah memperdulikannya, bagiku doffi adalah tempat terbaik untuk menghabiskan ‘me’ timeku.
Hal itulah yang membuat rata – rata orang disederet jalan ini melihatku dengan pandangan aneh, dan tidak jarang juga ada yang bertanya padaku soal lowongan pekerjaan di doffi.
Sibuk pada hayalan sendiri tidak terasa membuatku sudah sampai dicafe doffi, seorang security dengan tersenyum menyapaku dan membukakan pintu bagiku.
“Sore kak, café diatas kosong nih.” Kata security tersebut.
Dia selalu menyapaku karena aku suka kesini. Aku tersenyum dan dengan cepat menaiki tangga disamping toko tersebut menuju café. Doffi adalah sebuah toko roti mungil yang memiliki café dilantai atas dan berada dipertengahan kota serta dekat dengan tempat tinggalku.
Selain tempatnya yang tidak terlalu ramai, harga makanan dan minuman yang tersedia disini juga sangat terjangkau, Aku juga bisa menikmati roti fresh ditoko setiap kali aku bosan dengan makanan dicafe. Aku juga bebas duduk selama yang aku mau disini. Salah satu misteri kenapa aku bisa betah sampai malam disini sudah terjawab.
“Sore kak Mika !” Seorang waiter memanggilku dengan penuh semangat. Aku menoleh sekilas kearahnya dan tersenyum.
Kulihat sekeliling café yang masih kosong, segera kutemukan spot kesukaanku disalah satu pojokan tempat ini. Salah satu alasan aku menyukai pojokan adalah karena aku bisa melihat kejalan raya.
Kuletakan ranselku dikursi sebagai tanda tempat ini sudah berpenghuni, dan kembali ketempat waiter tadi, Kak Beca namanya. Dia sudah bekerja lebih dari 2 tahun disini.
Kak Beca memiliki postur badan dengan tinggi yang sama sepertiku. Kulitnya sedikit kecoklatan dan dia memiliki rambut hitam yang panjang, Kak Beca juga memiliki senyum yang manis dan selalu bisa membuat moodku baik seketika.
“Kopi hitam atau tea susu hangat hari ini kak ?” Tanya Beca.
Kak Beca tahu betul bahwa dua jenis minuman itu adalah pesanan rutinku setiap hari disini.
“Tea susu saja kak.” Jawabku.
“Oke, satu tea susu plus air hangat seperti biasa ya !” Dengan semangat Beca menginput pesananku dikomputernya.
“Iya kak, makasih ya.” Aku berjalan kembali ketempat dudukku dan mulai mencek ponselku.
Ada beberapa pesan masuk disana dan kuputuskan untuk tidak membukanya sama sekali karena pasti hanya berisi pesan yang tidak penting. Kusimpan ponselku dan memilih untuk lanjut membaca buku yang kubeli beberapa hari lalu.
Buku ini memiliki ketebalan melebihi 1.000 halaman dan sudah kubawa kemana – mana sejak hari pertama kubeli.
Yapz, Novel karya Thomas Harris dengan kisahnya yang menakjubkan sekaligus memacu imajinasiku tentang Hannibal Lecter. Tidak jarang jenis bacaanku juga menjadi salah satu alasan orang disekitarku menganggap aku aneh.
Kubaca satu persatu tulisan dibuku itu dengan cermat, tidak ada sedikitpun kalimat yang terlewat bagiku. Gaya bahasa khas Harris yang begitu dalam dan sulit dimegerti bagiku merupakan hal yang menarik disetiap karyanya, dan tentunya setiap kalimat yang dibumbuhkan disana mampu membuatku membayangkan situasi dan kondisi pada cerita itu.
Akupun larut dalam bacaanku. Mataku sibuk mengikuti setiap tulisan dan pikiranku melayang jauh kemasa Hannibal.
“Kak, ini tea susu dan air hangatnya.”
Suara Beca membuatku tersadar dari hayalanku, Beca sudah berada disampingku. Aku tersenyum dan berterimakasih sambil melipat novelku, waktunya untuk menikmati tea susu yang masih beruap.
Aku melihat seorang pria sudah berada dipojokan lain café ini. Pria ini selalu ada disini setiap sore, sama sepertiku. Dia selalu membawa laptop besar dan duduk lama disini. Dengan kacamata bulatnya dan rambutnya yang sedikit berantakan, dia kelihatan asik sendiri disana.
Hal ini membuatku selalu merasa penasaran dan ingin berkenalan dengannya. Rambut yang berantakan dipadu dengan tinggi badan sekitar 170cm, dia seperti seseorang yang pernah aku kenal, namun aku tidak pernah bertanya ataupun mendekati mejanya. Aku juga tidak berani melihatnya secara terus menerus.
Kulanjutkan kegiatan membacaku sampai malam. Tidak terasa jam tanganku sudah menoreh pada angka 7 malam, kuputuskan untuk pulang lebih cepat hari ini. Kulipat batasan terakhir aku membaca dan menyimpan dengan rapi bukuku.
Kulirik kepojokan tempat pria itu berada, dia masih berada disana dengan laptopnya. Aku menuju kasir dan Kak Beca masih berada disana. Aku membayar dan pamit padanya seperti biasa.
Jalanan yang tadinya terang dan penuh dengan kesibukan toko – toko saat kulewati sore tadi kini sudah menjadi jalanan yang agak sepi dan gelap dengan bertemankan lampu jalan.
Jualan sate berdiri beberapa meter dari toko ini, ingin rasanya aku memesan seporsi makanan tersebut, namun cepat kuurungkan niatku karena mengingat aku harus membayar uang sewa rumah bulan ini. Aku berbalik arah ketempat aku meletakkan sepedaku. Seorang bapak tua yang menjaga sepedaku setiap hari dengan setia selalu menungguku disana.
“Cepat pulang hari ini nak ?” kata bapak itu.
“Iya pak.” Jawabku ramah sambil memberikan uang pecahan seribu padanya.
“Tidak usah nak, hari ini bapak dapat rejeki.” Ditolaknya uang seribuku dengan lembut, mungkin dia tahu aku sedang tidak ada uang.
Karena jika aku pulang cepat sudah bisa dipastikan aku tidak mengisi perutku dicafe itu. Aku tersenyum dan menyimpan kembali uang seribuku.
“Terimakasih banyak pak.” Kataku sambil mulai mengayung sepedaku lalu segera berlalu dari sana.
Rumahku bisa dikatakan cukup dekat karena hanya memakan waktu 10 menit dari sini. Aku mengayun sepedaku sambil membayangkan diriku sedang berada diatas sepeda motor, biasanya itu cukup mempan untuk membuatku tetap menikmati perjalananku setiap hari.
Sepeda tua ini sudah menjadi teman setiaku beberapa tahun terakhir, dan ditahun berikutnya umur sepeda ini akan genap berusia 35th dan aku berusia 20th.
Ini adalah sepeda yang sering digunakan mamaku dulu untuk mengantarkanku kesekolah dan berbagai tempat. Dan sekarang kepemilikannya sudah berganti ketanganku.
Meskipun dia suka mengeluarkan bunyi aneh saat aku menampaki jalanan jauh, dia jelas masih kuat untuk mengantarkanku keberbagai tempat.