Teringat olehku masa masa sekolah dasar (SD). Para guru selalu bertanya apa cita cita setiap murid yang berada di kelas. Berbagai macam cita cita di sebut oleh temanku. Ada yang ingin menjadi dokter, pilot, TNI dan lain sebagainya.
Aku sendiri ingin menjadi desainer ternama di luar negeri. Aku sungguh mengharapkan agar kelak impianku tersebut dapat terwujud. Seiring berjalannya waktu, kini aku sudah bekerja di sebuah butik milik bibiku.
Ditoko itu, aku bertugas sebagai pengukur pakaian yang akan di jahit oleh bibiku.
“Coba kamu cek kain di sebelah sana Rina.” perintah bibiku suatu hari.
Pekerjaan mengukur yang aku lakukan ini bisa dikatakan sulit. Aku membutuhkan konsentrasi tinggi untuk bisa mengerjakannya dengan baik. Ketika aku melakukan sedikit kesalahan, maka hasil jahitannya tidak akan jadi.
Kerjaku selesai pukul 7 malam. Biasanya aku pulang dengan sepeda motor sedangkan bibiku tinggal di toko butiknya. Setibanya dirumah, aku menyapa kedua orangtuaku yang sedang menonton diruang tamu.
Aku tidak banyak berbicara dan langsung masuk kedalam kamarku untuk mandi dan mengeringkan rambutku.
Setelah tubuhku terasa lebih baik, aku duduk dimeja belajarku dan memandang karya – karya fashionku diatas meja itu. Didalam hatiku, ada niat yang begitu besar untuk bisa membuat pakaian sendiri sehingga aku tidak perlu lagi bekerja dengan bibiku. Tepat seperti impianku ketika masih SD.
Aku lalu berencana untuk meminjam sedikit waktu di toko bibiku agar dapat belajar menjahit dan merangkai pakaian. Jika aku sudah bisa menjahit maka aku bisa membuka usaha menjahit kecil kecilan di depan rumahku.
Pagi berikutnya, tepat pukul 8 aku sudah tiba di toko butik bibiku. Aku segera bertanya padanya setelah memikirkan rencanaku semalaman.
“Bi, bisakah aku belajar menjahit di sini ?” aku bertanya dengan sedikit ketakutan.
Melihat expresi tegangku, bibiku tertawa dan menjawab santai permintaanku tersebut.
“Oh tentu sana Rina ! Mari bibi ajari kamu menjahit !”
Respon bibiku sungguh membuatku terkejut. Tanpa banyak berbicara aku duduk disampingnya dan tepat didepan mesin jahit. Bibiku mulai menjelaskan kegunaan mesin jahit satu persatu. Dia juga memberitahuku hal – hal apa saja yang perlu dilakukan untuk dapat membuat sebuah pakaian yang baik.
Tidak dibutuhkan waktu lama, dengan arahan bibi disampingku. Aku bisa menyelesaikan 1 pakaian sederhana. Aku sedikit takut akan hasil yang tidak sesuai dengan ekspetasi bibi, namun setelah melihat hasil jahitanku. Bibiku tersenyum dan memuji karya pertamaku.
“Wah, ini sungguh bagus ! Jahitanmu sungguh rapi buat pemula.” puji bibiku.
Tanpa menunggu jawabanku, bibiku mengeluarkan ponselnya dan memfoto hasil kerja pertamaku. Tanpa malu – malu dia juga memposting hasil jahitanku didalam media sosialnya dan menuliskan namaku sebagai penjahit pakaian tersebut.
Didalam hatiku, ada rasa bahagia yang begitu besar melihat hasil karya sederhana itu.
Lewat pujian dan penghargaan sederhana bibiku. Aku mulai merencanakan hal yang lebih besar. Aku akan mulai mengumpulkan modalku sendiri dan kelak, aku akan membangun toko pakaianku sendiri meskipun dimulai kecil – kecilan.
Hari – hariku mulai terasa berbeda dari hari lainnya. Jika biasanya aku hanya mengukur bahan pakaian, khusus hari ini aku mulai belajar menjahit. Berawal dari sebuah pakaian sederhana, kini aku sudah bisa membuat sebuah gaun sesuai designku.
Dan semua hasil kerjaku selalu diposting oleh bibiku dimedia social miliknya.
Suatu hari ketika aku sudah terlalu lelah pulang dari toko bibiku, aku langsung masuk kedalam kamar dan merebahkan badanku sambil menatapi atap – atap kamarku.
Setelah beberapa menit beristirahat, aku melihat ada sebuah pesan baru diponselku. Dengan sedikit penasaran, aku membuka pesan tersebut dan semua isi pesan itu berbahsa inggris.
Aku membaca pesan itu pelan – pelan dan mengerti maksud dari pesan itu. Seorang wanita bernama Lelga Pouse yang tinggal di France ingin menjadikanku assistennya. Seolah tidak percaya akan pesan yang aku baca, aku segera menelepon bibiku dan menceritakan isi pesan tersebut.
Bibiku tertawa dari balik telepon. Dia membenarkan bahwa Lelga menyukai karya terakhirku dan meminta nomor teleponku. Bukan penipuan !
Setelah menutup telepon, aku segera turun keruang tamu dan menjumpai kedua orangtuaku dengan rasa bahagia yang begitu besar. Aku menceritakan semua hal dari awal hingga pesan dari Lelga.
Mereka diam sesaat namun tidak menahan keinginanku untuk bekerja sebagai assisten Lelga di France. Tidak hanya menjadi assisten, Lelga juga membayar semua biayaku disana nanti. Mulai dari tiket pesawat hingga tempat tinggal.
Meski sebagai assisten, aku merasa begitu beruntung karena bisa memulai langkah pertamaku menjadi designer diluar negeri seperti impianku ketika kecil. Aku akan bekerja dengan baik disana dan menjadikan impianku sebagai kenyataan dimasa depan !