CHAPTER TWENTY ONE : ALESKA

0

Aroma bangkai yang sungguh menusuk keluar seketika. Mereka menutup hidung mereka dan berjalan masuk kedalam. Lena mengeluarkan pistolnya dan Cowel dengan waspada berusaha melihat sekeliling rumah itu karena selain lembab, rumah itu juga gelap.

Spread the love

Kopi dimeja tidak tersentuh sama sekali pagi itu. Mereka berdua duduk membisu diruang tamu sambil menunggu Lisa bangun. Beberapa koper terletak tidak jauh dari pintu keluar. Mereka akan pergi ke desa Aleska hari ini.

Lisa bangun tidak lama kemudian dan terkejut ketika melihat Cowel dan seorang wanita yang tidak dikenal duduk diruang tamu. Lisa mendatangi mereka dengan wajah keheranannya.

“Ada apa ini dad ?”

Cowel menyuruh Lisa duduk didepan mereka. Lena memperhatikan gadis itu dengan serius. Tatapan Lena seperti sedang menelanjangi Lisa didepan ayahnya.

“Aku dan detektif Lena akan kedesa Aleska selama beberapa pekan. Apakah Leo bisa menemanimu ?”

Lisa terkejut mendengarkan perkataan Cowel.

“Aleska ??? detektif ?? ada apa ini dad ? kenapa mendadak dad ingin pergi kesana ?”

Lisa tidak mengatakan bahwa dia melihat tulisan Aleska dikaca toilet kampus dan dia juga tidak memberitahu Cowel bahwa dia dan teman – temannya akan pergi kesana juga.

“Ada urusan yang harus kami kerjakan. Semuanya baik – baik saja. Hanya menyelesaikan pekerjaan tertunda 4th lalu.”

“4th tahun lalu ??”

Melihat keadaan yang buruk, Lena segera memotong pembicaraan mereka.

“Lisa, kami akan segera pergi karena tidak ingin ketinggalan bus. Ini, kartu namaku. Hubungi aku jika terjadi sesuatu padamu, oke ?”

“But…”

Cowel bangkit berdiri dan memeluk Lisa. Dia mencium kening Lisa seolah mereka akan berpisah untuk waktu yang lama. Lisa memutuskan memainkan perannya. Dia tidak ingin memberitahu Cowel bahwa dia dan teman – temannya juga akan kesana.

“Semua baik – baik saja, sweetheart.”

Lisa pura – pura tersenyum. Mereka lalu mengambil koper mereka dan meninggalkan Lisa sendirian didalam rumah itu tanpa memberitahukan kebenaran yang terjadi pada dirinya.


Ketika mereka sampai didesa Aleska, Cowel segera membantu Lena mengangkat kopernya dan mereka tinggal dirumah lama Cowel. Dinding dirumahnya sudah mulai berlubang karena termakan rayap. Sarang laba – laba mulai memenuhi sudut rumahnya dan sisa – sisa minuman keras yang dia komsumsi pada saat itu masih berada pada tempatnya. Sisa makanan telah dipenuhi oleh belatung. Tidak ada yang pernah kesana lagi setelah dia memutuskan pergi hari itu.

Dia membersihkan kamar lama Andrew dan meletakkan barang Lena disana. Dia memandangi pakaian anaknya dan duduk lama disana. Dia menangis setiap kali mengingat apa yang terjadi dan waktu yang telah dia sia – siakan saat itu.

“Cowel..”

Dia menghapus airmatanya ketika melihat Lena berada didepan pintu kamar anaknya. Dia bangkit berdiri dengan cepat dan berusaha tersenyum. Lena memandangi sekeliling kamar itu dan sadar bahwa itu adalah kamar Andrew.

“Kita akan membuat bajingan itu membayar semua perbuatannya, Cowel.”

Dia mengangguk. Lalu memberikan kunci kamar Andrew pada Lena. Ya, Cowel telah memberitahu Lena bahwa pelaku kekejian itu adalah Max.

“Kamu bisa tinggal disini, aku akan berada dikamar sebelah kanan dekat ujung dapur. Sangat sulit mendapatkan penginapan disini. Kuharap kamu bisa nyaman.”

“Baiklah, kita akan ketempat Max ketika matahari sudah tenggelam.”

Mereka lalu berpisah dan Cowel masuk kedalam kamarnya yang dipenuhi oleh botol – botol minuman keras. Dia membersihkan botol tersebut lalu merebahkan badannya dikasur. Debu tebal naik keatas namun Cowel tampaknya tidak memperdulikan hal tersebut.

Dia lalu mengeluarkan kitab itu dan membacanya kembali. Semakin dia membaca kitab tersebut, dia merasa bahwa dirinya semakin dekat untuk bertemu kembali dengan Andrew.

Dia akan meneruskan ritual itu ketika berhasil membunuh Max. Membuat perjanjian dengan iblis terjahat bukanlah hal yang buruk. Janji – janjinya didalam kitab itu mulai merasuki dirinya. Dia akan membangkitkan kembali anaknya, Andrew !

Dia memejamkan matanya, memeluk kitab itu didekapan dadanya dan terlelap.

“Cowel ?”

“Um..”

Dia membuka matanya perlahan dan Lena berada didepannya. Dia melihat jam didinginnya dan segera terbangun. Matahari sudah lama tenggelam dan dia tidak tahu sudah berapa lama dia terlelap disana.

“You’re ok ?”

“Ya.. Ya.. Apakah kita akan pergi sekarang ?”

Mereka saling tatap lalu mulai mengambil perlengkapan mereka. Lena mengisi pistolnya dan menyelipkannya dibelakang bajunya sementara Cowel mengambil kapak kecil dan memasukannya kesela kemeja.

“Bagaimana kita menuju ketempat Max ?”

Cowel tersenyum dan pergi kegudang belakang rumahnya. Disana ada sebuah motor tua yang sudah lama tidak pernah digunakan sejak kepergian istrinya.

Sedikit usaha dan dia berhasil menyalakan kembali motor tersebut. Mereka menuju rumah Max dan sengaja parkir agak jauh dari lokasi agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Mereka mengendor rumah Max seperti biasa, tidak ada jawaban. Kaca dirumah itu sudah dipenuhi jamur sehingga mereka kesulitan untuk bisa mengintip kedalam rumah itu. Setelah mereka memikirkan rencana mereka dengan matang, Cowel mengeluarkan kapak kecilnya dan membuka paksa pintu tersebut.

Aroma bangkai yang sungguh menusuk keluar seketika. Mereka menutup hidung mereka dan berjalan masuk kedalam. Lena mengeluarkan pistolnya dan Cowel dengan waspada berusaha melihat sekeliling rumah itu karena selain lembab, rumah itu juga gelap.

Tidak ada lampu yang bisa dinyalakan. Dinding rumah itu juga sudah mulai dipenuhi jamuran hijau dan kayu dilantainya juga sudah mulai keropos. Mereka membuka setiap ruangan dan tidak ada tanda – tanda Max berada disana.

Mereka sampai dilemari buku besar diujung rumah itu. sebuah lorong gelap menuju bawah tanah terbuka begitu saja. Hal itu membuat mereka yakin bahwa Max pasti bersembunyi dibawah sana. Ketika mereka mendekat kedepan lorong tersebut, aroma bangkai terasa semakin kuat. Lena, berjalan kebawah terlebih dahulu dan disusul Cowel dibelakangnya.

Diujung lorong, sebuah pintu besi menjadi penghalang langkah mereka. Dalam hitungan ketiga, Lena membuka pintu tersebut dan segera mengarahkan pistolnya tepat didepan.

Tidak ada Max disana dan hanya ada sebuah tengkorak dengan beberapa helai rambut yang tersisa dikepalanya tidak jauh dari pintu besi itu. Tengkorak itu dilengkapi dengan syal merah pudar dilehernya dan … Cowel mulai sadar bahwa itu adalah Audrey.

“Cowel….”

Pria itu melihat kearah Lena yang gemetaran. Tangan Lena menunjuk keatas. Cowel melihat kearah atas dan mendapati 3 kantong mayat disana. 1 orang tergantung disana tanpa dibungkus apapun. Meskipun sudah menjadi tengkorak sepenuhnya, dari bajunya Cowel tahu bahwa itu adalah Max.

Cowel segera mencari kursi yang ada didekat sana dan berusaha menurunkan 3 kantong mayat lainnya. Salah satu kantong tersebut berisi tengkorak dari orang yang begitu dikenalinya. Dia langsung memeluk tengkorak Andrew didekapannya dan menangis sejadi – jadinya.

“Cowel, aku akan menghubungi polisi setempat. Tunggu disini ya.”

Lena segera berlari keatas untuk meminta bantuan sementara Cowel masih memeluk Andrew dengan kuat. Tangisnya lalu berubah menjadi tawa setelah Lena tidak berada disana. Dia memandangi Max yang masih tergantung disana dan tersenyum.

Dia meletakkan kembali tengkorak Andrew lalu mengeluarkan ponselnya untuk memfoto seluruh ruangan itu. Ukiran – ukiran itu, dan dia menemukan sebuah kotak dibawah altar tengkorak Audrey.

Dia mengambilnya lalu membuka kotak kayu tersebut. Dipenuhi oleh belatung dan aroma yang luar biasa, dia tahu itu adalah bagian tubuh Audrey.

Dia membuang isi kayu itu dan setelah berhasil mengendalikan diri sepenuhnya, dia mengeluarkan kapak kecilnya dan mendekati mayat Andrew.

“Maafkan aku, sayang. Dad janji akan segera membawamu kembali.”

Dia memotong beberapa tulang kecil Andrew dan mengambil beberapa helai rambut yang tersisa ditengkorak itu lalu menyimpannya didalam kotak kayu bekas organ Audrey. Dia lalu menyimpan kotak kecil itu dibalik bajunya dan bergegas meninggalkan ruangan itu.

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights