(kringg…. Kringgg…)
“Ughhh….”
Tanganku dengan malas bergerak mencari sumber suara diatas kepalaku. Hanya dengan beberapa kali rabaan, tanganku sudah berhasil menjangkau alarm diatas kasur dan mematikannya dengan cepat.
Jam 06.00 pagi, batinku.
Hal pertama yang kulakukan dengan malas adalah mencari handphone disamping bantalku. Setelah kutemukan, aku langsung melihat layar yang ternyata tidak ada notife chat sama sekali dan kuletakkan kembali handphone itu disampingku dengan malasnya.
Aku kembali memejamkan mataku dan berpikir kemana Icha, kenapa dia tidak mengirimkan pesan ? ataukah harus aku yang mengirimkan pesan padanya terlebih dahulu setelah kejadian memalukan semalam ? Tidak !
Aku tidak akan melakukannya karena aku tahu bahwa kejadian semalam bukanlah salahku sepenuhnya. Aku segera bangkit dari tempat tidurku dan berjalan kekamar mandi untuk bersiap – siap pergi kerja seperti biasa, berusaha melupakan semua kejadian memalukan semalam dan menjalani hariku dengan normal. Apapun yang terjadi, sudah kubulatkan tekatku untuk tidak mengubris Icha ditempat kerja nanti.
Namaku Sava, aku bekerja disebuah cafe yang menjajakan kue dan dan minuman. Keahlianku adalah meracik minuman dan Icha, adalah teman baikku disana. Perannya sebagai penerima order dan aku sebagai penyiap orderan membuat kami harus saling berkomunikasi dengan baik, bisa dibilang kami sudah seperti saudara karena selalu bersama before dan after jam kerja. Lalu sekarang aku akan berperan seolah tidak mengenal Icha.
Aku masuk 1 jam lebih cepat dari Icha karena aku harus menyiapkan semua kebutuhan penjualan, sementara Icha masuk begitu café sudah ready untuk berjualan. Kusiapkan semua kebutuhan dengan semangat seperti biasa sampai sebuah suara dari luar pintu membuatku kaget.
“Savaa..”
Kulihat arah asal suara tersebut, Icha, sudah berada didepan pintu lebih cepat dari biasanya. Aku hanya menatapnya dingin dan kembali pada kegiatanku, jantungku berdenyut sangat kencang, namun aku berusaha tidak bertanya padanya kenapa dia datang secepat itu dan tidak menyambut panggilannya.
Tidak lama dia berdiri didepan pintu dan menatapku, aku bisa merasakan dia berjalan kelocker dan tidak berusaha mendekati aku lagi. Aku sempat berharap dia akan datang membujukku untuk berbicara dengannya dan meminta maaf duluan. Tampaknya harapan itu sirna seketika ketika aku melihat dia menghilang dibalik pintu karyawan.
Kuputuskan untuk mengabaikan semua perasaan yang ada dan membiarkan semuanya kelihatan seperti biasa saja. Tidak dibutuhkan waktu lama, café sudah mulai berjualan seperti biasa.
Icha hanya memberikan selembar kertas orderan didepan meja orderan dan aku menerimanya tanpa berbasa basi seperti biasanya membuat suasana kerja hari ini terasa begitu tidak menyenangkan buatku. Kulirik Dino yang mengantarkan pesanan kemeja tamu dan Rina yang menjaga kasir hanya diam dan tidak berani bertanya ada apa antara aku dan Icha, karena mereka tahu bahwa aku dan Icha sedang tidak berada dalam posisi untuk dikepoin dan dibercandai.
Café hari ini terasa begitu sepi sekalipun pengunjungnya sangatlah ramai seperti biasa. Aku, Dino, Rina dan Icha biasanya suka tertawa bersama dan meledek beberapa tamu yang mempunyai sikap arogan luar biasa, namun hari ini tidak ada satu candaanpun keluar dari mulut kami. Semua hanya sibuk pada kegiatan masing – masing.
Jam istirahat tiba, aku memutuskan untuk makan siang diluar café, tidak nyaman rasanya jika aku makan berempat seperti biasa dan masih pada perang dingin ini. Kunyalakan motorku dan kutinggalkan café tanpa satu katapun, dan bisa kurasakan mereka hanya melihatku pergi tanpa pertanyaan, kurasa tidak ada yang peduli padaku.
Aku memutuskan untuk pergi makan kewarung bu Mina, tempat langganan kami seperti biasa.
Semua perang dingin ini berawal saat seorang anak muda masuk ke café kami malam itu. Dia memesan segelas coffee latte panas dan satu slice kecil kue vanilla. Icha menerima pesanan tersebut, dan seperti biasa aku yang membuatkan pesanannya. Perbedaannya adalah saat pesanan anak itu selesai dan kulihat Dino sedang sibuk, aku memutuskan untuk membantu Dino mengantarkan kopi tersebut kemeja anak itu.
Focus pada kopi yang kubawa agar tidak tumpah, aku berjalan dengan pelan saat Icha berteriak kecil dibalik mejanya,
“Sav, hati – hati lihat jalan”
Aku langsung melihat kebawah karena kaget dan takut ada sesuatu yang akan membuatku tersandung dan yah, kopi yang daritadi aku bawa dengan hati – hati terguncang dan tumpah tepat didepan anak muda tersebut. Aku melihat anak tersebut. Wajahnya kaget, pucat dan ketakutan.
“Maaf.. maaf..”
Aku segera mengambil tissue dengan cepat dimeja lainnya dan berusaha membersihkan meja tersebut sebelum kena marah. Akhirnya Dino datang dan ikut meminta maaf juga kepada anak tersebut dan membantuku membersihkan meja tersebut. Bisa kulihat anak tersebut berusaha tidak marah dan memutuskan untuk membatalkan pesanannya lalu pergi begitu saja.
Aku membawa cangkir yang sudah kering karena isinya tumpah, melewati Icha yang tertawa – tawa tanpa rasa bersalah, dia mengikutiku kedapur, menepuk bahuku sambil mengomel :
“Sava.. koq kaget gitu,, astaga…”
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, kuhempaskan tangannya dari bahuku dan meninggalkannya tanpa banyak bicara. Bisa kurasakan dia hanya melihatku kaku, senyum lebarnya hilang dan kembali kemeja depan. Dan malam itu berakhir dengan aku yang meninggalkannya dan pulang lebih cepat, biasanya aku selalu mengantarnya pulang.
Lamunanku terhenti saat handphoneku berbunyi dan kulihat wajah Rina tampil dilayar.
“Hallo ?”
“Sav, sudah makan ? dimana ?”
Suara Rina terdengar cemas, dibalik diamnya Rina, aku tahu bahwa Rina adalah orang yang paling cepat merasa khawatir, apalagi saat dia tiba – tiba berada disituasi begini. Pasti dia akan rajin mencek baik aku ataupun Icha.
“Sudah koq, bentar lagi juga udah balik café”
Setelah menjawab semua kecemasannya, aku memutuskan untuk membayar makananku dan segera kembali kecafe. Ibu Mina menatapku saat aku membayar,
“Tumben sendiri Va ?” tanyanya dengan ramah.
Aku membuat senyum dengan terpaksa dan hanya mengeleng pertanda iya, tidak berniat untuk bercerita dan berlalu begitu saja.
Aku kembali ke café, tidak berbicara pada temanku sama sekali dan pergi begitu jam kerja usai. Hari ini aku memutuskan untuk singgah ketempat minum favoriteku dan me time disana sampai agak malam sebelum akhirnya aku pulang kerumah.
Ketika aku sampai dirumah, tidak biasanya mamaku menungguku dengan perasaan cemas. Ketika aku sudah mematikan motorku, mamaku langsung bertanya antusias, tidak seperti biasanya.
“Dari mana saja Va ?”
“Cari angin saja ma, kenapa ?” tanyaku balik.
Awalnya mamaku sempat berpikir sejenak, lalu akhirnya dia melanjutkan percakapan kami.
“Tadi Icha kesini nyariin kamu, biasanya kan kamu selalu bersama dia. Jadi mama cemas saja kamu kemana, kalian tidak berkelahikan ?”
Aku kaget dengan ucapan mamaku, memang benar selama ini setiap kemanapun aku pergi, kami selalu bersama, dan keadaan ini pasti mengundang tanya banyak orang yang mengenal kami, namun aku yakin pasti Icha tidak bercerita apapun pada mama.
Mana mungkin dia berani bercerita saat dia tahu bahwa itu adalah kesalahannya. Pikirku egois. Aku lalu menjawab tanpa berpikir panjang pada mamaku.
“Oh, kan aku tidak perlu selalu bersamanya setiap saat Ma, aku capek nih mau tidur. Naik dulu yaa.. “
Aku berjalan melewati mamaku dan tidak berminat untuk berbagi cerita dengannya juga. Kunaiki tangga menuju kamar sebelum suara mama membuat langkahku terhenti.
“Ingat ya Va, jika ada yang membuat hati tidak enak, dibicarakan. Tidak mudah mencari teman baik dan sangat mudah untuk mencari musuh.”
Aku terdiam sebentar dan kembali melaju menuju kamarku. Kutatap handphoneku dan tidak kutemukan pesan dari Icha, baiklah, dia tidak merasa bersalah. Aku membulatkan tekat untuk tidak berbicara dengannya lagi dan tidur.
Pagi berikutnya aku mulai merasa malas untuk berangkat kerja, kutatap handphoneku pagi ini dan masih sama, tidak ada pesan sama sekali. Aku menghela nafas dan turun dari kamarku dengan malasnya, dan aku, hampir terjatuh saat kulihat Icha berada didapur bersama mamaku.
Mereka menikmati secangkir kopi hitam dan tidak dibutuhkan waktu lama dia sudah menyadari aku melihatnya. Icha tersenyum padaku sambil melambaikan tangannya. Yang ada dipikiranku saat itu adalah kembali naik kekamar sebelum akhirnya terhenti karena deham mamaku, dia menatapku dan aku tahu dia tidak ingin aku kembali kekamar, melainkan duduk didapur dan menyelesaikan masalahku.
Apakah Icha yang datang sendiri atau mamaku yang memintanya kesini ? Aku sibuk dengan berbagai pertanyaan dikepalaku sebelum akhirnya aku benar – benar duduk didapur, tidak bersebelahan dengan Icha, melainkan saling bertatap muka. Aku hanya diam dan bisa kulihat dia menelan ludah sebelum membuka suara.
“Va, aku minta maaf soal kemarin yah. Maksud aku itu kamu jangan terlalu focus sama kopi yang kamu bawa, karena tamu lainnya ketawa – ketawa sambil cemeeh kamu. Cuma aku tidak tahu cara bilangnya dan saat itu aku juga tidak bisa marah sama mereka karena mereka kan tamu. Makanya aku mencoba bilang sama kamu buat tidak terlalu focus sama kopinya, dan aku sadar bahasa yang aku gunakan salah, malah membuat kamu kaget dan akhirnya begitu.”
Aku hanya diam, tidak berniat membalas penjelasannya. Aku membutuhkan waktu untuk mencerna setiap penjelasannya.
“Lalu, saat kamu kembali kedapur, aku hanya berusaha mencairkan suasana, ternyata salah lagi. Dan semalam, aku bukannya tidak mau berusaha membujukmu, tapi aku takut nanti kamu makin ga mood sama aku. Lagipula, aku tidak suka meminta maaf dari pesan singkat, karena kamu itu teman yang berarti buatku, dan aku serius minta maaf sama kamu kalau sudah buat kamu malu.”
Aku hanya diam dan terus memikirkan semua perkataan Icha, jujur kuakui dia adalah teman yang paling mengerti diriku, dan tanpa aku berkata dia sudah menjelaskan semua yang menjadi bahan pikiranku.
Rasa gengsi dan egois yang tinggi membuat kalimat yang ingin aku katakan kepadanya berubah menjadi 1 kata sederhana.
“Ya”
Icha tersenyum, berjalan kesampingku dan merangkulku seperti biasa. “Jangan badmood lagi sama aku ya, aku itu kesepian bangat kamu diamin gini, dan kamu tahu, sahabat aku itu cuma satu, aku sadar koq aku menyebalkan dan suka malu – maluin kamu, makanya aku ga suka minta maaf by chat. Aku sayang lho sama kamu”
“Orang sayang tidak begitu.” Jawabku masih dengan nada yang dingin.
“Yah, sayang itu bukan diucapkan, tapi kamu rasakan saja ya. Yuk kita berangkat kerja.”
Ku tatap Icha, perasaan dingin dan sisa marahku melumer setiap kali aku mendengar perkataannya. Aku tahu Icha bukanlah tipe yang begitu gampangnya untuk minta maaf pada orang lain, dan karena aku adalah sahabatnya yang berarti, dia melakukan hal tersebut.
Aku berusaha meruntuhkan rasa egoisku dan berusaha tersenyum. Berawal dari senyum yang kecil diperjalanan, akhirnya aku bisa tersenyum lebar seperti biasa ketika sampai cafe.
Aku belajar satu hal penting dari Icha. Persahabatan yang baik adalah saat kamu bisa meruntuhkan semua sikap egoismu didepannya dan menerima kekurangannya. Tidak menuntut mereka untuk selalu sempurna padamu tanpa kesalahan, melainkan bisa belajar dan saling memaafkan saat ada masalah.
Diam tidak selalu menjadi permata, dan berbicara tidak selalu menjadi masalah. Tergantung bagaimana kamu memahami arti sebuah persahabatan.