Bel tanda pelajaran berakhir berbunyi dengan kerasnya. Dari dalam sekolah terdengar sorak bahagia murid – murid. Mereka akan mulai menjalani liburan musim dingin selama 3 bulan kedepan. Sebelum kelas benar – benar dibubarkan, Lisa berdeham kecil meminta perhatian murid – muridnya.
“Saya harap tidak ada yang bermain keluar rumah sendirian dimusim salju ya.”
“Apakah Audrey benar – benar menghantui kita didesa ini ?”
Jawaban seorang murid didalam kelas itu sontak mengundang tawa murid lainnya. Tapi tidak dengan Nana, dia duduk tenang dikursinya, tidak tertawa dan memperhatikan bu Lisa dengan serius.
“Bisakah kalian serius memperhatikan seperti Nana disana ?!”

Semua mata memandang Nana yang berada dikursi paling belakang. Dengan kacamata tebal dan rambut gimbal, Nana tidak memiliki teman dikelas itu. Warna kulitnya yang sedikit gelap membuat dia dijauhi oleh teman – teman sebayanya yang memiliki kulit putih. Kepindahannya didesa itu dikarenakan oleh pekerjaan ayahnya.
“Sianak aneh !”
Gerutu Andrew dari kursi depan. Beberapa murid yang mendengarkan gerutuan tersebut ikut tertawa kecil. Setelah kelas sedikit tenang, Lisa melanjutkan pesannya.
“Bukan mitos Audrey yang ingin saya sampaikan. Melainkan bahaya terkena longsor salju ! Jadi saya akan mengirimkan pesan kepada masing – masing orangtua kalian dan jika salah satu dari mereka mengatakan bahwa kalian bermain keluar tanpa seizin mereka, maka saya akan memberikan sanksi. Bubar !”
Pengumuman yang diberikan ibu Lisa tentunya mengundang cemeeh murid – murid disana, namun mereka tidak memperlihatkannya secara langsung. Mereka langsung berhamburan keluar kelas begitu Lisa membuka pintu kelas. Sebelum keluar dari kelas, Nana menghampiri Lisa untuk bertanya. Ada perasaan yang menjanggal dihatinya tentang Audrey.
“Bu, siapakah Audrey ? Kenapa semua kelas membicarakannya ?”

Lisa terkejut mendengarkan pertanyaan Nana. Dari wajahnya tersirat kecemasan. Dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepada Nana. Apalagi dia adalah anak baru yang pindah beberapa bulan kedesa ini sebelum musim dingin datang.
“Audrey itu…”
Dia ragu untuk menjelaskan peristiwa yang sudah menghantuinya selama 10th tersebut. Meskipun sungai kecil itu telah ditimbun setelah kematian Audrey. Dia masih takut untuk melewati lapangan itu. Beberapa warga disana juga memutuskan untuk pindah rumah. Dari pengakuan mereka, setiap malam anak mereka selalu mendengarkan tangisan seorang anak kecil.
Dia memutuskan untuk memberikan penjelasan yang berbeda kepada Nana agar anak tersebut tidak merasakan ketakutan yang sama seperti yang dia rasakan. Apalagi Nana baru berusia 12th. Begitu juga dengan anak – anak lainnya.
Mereka masih terlalu kecil ketika Audrey meninggal. Orangtua mereka pasti menakut – nakuti anak mereka dengan mitos Audrey ketika mereka tidak bisa diatur dengan baik. Menciptakan ketakutan memang selalu menjadi senjata terbaik dalam mendidik anak – anak diperdesaan.
“Audrey itu adalah anak yang kurang beruntung ketika masih kecil.”
“Maksudnya bu ? apakah dia sudah mati ?”
“Yes, dan itu tidak ada hubungannya dengan musim dingin. Yang jelas pastikan kamu tetap berada didekat ayahmu ketika liburan ya.”
“Tapi bu..”
“Baiklah, hari sudah semakin sore. Baiknya kita segera pulang. Selamat berlibur ya Nana.”
Nana keluar dari kelasnya dengan pikiran yang masih terasa janggal dihatinya. Sepanjang perjalanan pulangnya, Nana berusaha membandingkan informasi yang didapat dari bu Lisa dengan gossip disekitarnya tentang gadis kecil yang bernama Audrey.
Nana pulang melalui jalan pintas dibelakang sekolahnya. Daerah tersebut jarang dilewati oleh orang namun merupakan akses tercepat bagi Nana untuk sampai kerumahnya. Ketika dia sibuk dalam pikirannya, Sebuah tangan mendorongnya dengan kuat dari belakang. Dia terjatuh seketika diatas tumpukan salju.
Nana segera bangkit dan membersihkan kacamatanya. Setelah pandangannya membaik, dia melihat Andrew dan 2 teman lainnya berdiri didepannya sambil tertawa. Andrew kembali mendorongnya hingga terjatuh. Tidak berhenti sampai disitu, Andrew lalu merebut kacamatanya dan membuangnya jauh – jauh diiringi tawa kedua teman lainnya.
“Dasar anak aneh ! Kembali saja keasalmu !”
Setelah puas membully Nana, mereka bertiga lalu pergi meninggalkan Nana sendiri disana. Tangan Nana mengempal kuat, berusaha menahan tangisnya. Dia begitu membenci tempat barunya, dia juga membenci sekolahnya. Dia ingin kembali ketempat asalnya, namun pekerjaan ayahnya membuat dia tidak mampu berbuat apapun.
Dia berusaha untuk bangkit berdiri. Dia membersihkan salju – salju yang menempel dipakaiannya dan mencari kacamatanya. Setelah dia menemukan kembali kacamata tersebut, dia mulai membersihkannya dengan perasaan sedih. Dan sebuah suara lembut lewat begitu saja dari telinganya.
“Ayo kesini.”
Dengan cepat dia memakai kembali kacamatanya. Dia memperhatikan sekelilingnya dengan seksama, darimana asal suara tersebut ?!
Suara itu lalu kembali datang dan dia mulai mengikuti arah suara tersebut. Dia tidak mengerti kenapa ada suara yang memanggilnya namun suara itu terdengar begitu familiar ditelinganya. Dia memutuskan untuk mencari tahu siapa pemilik suara tersebut.
Suara itu mulai menuntunnya kedalam hutan yang berada disebelah kiri dari perjalanan biasanya. Dia terus mengikuti suara tersebut seperti seseorang yang sedang terhipnotis.
Ketika suara itu menghilang, dia tersadar dan melihat sebuah rumah tua didepannya. Dia memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah tersebut namun tidak ada jawaban. Dia lalu mengintip kedalam, semua isi rumah itu gelap.
Tidak ada tungku pemanas yang menyala. Pertanda tidak ada penghuni didalamnya. Tatapannya lalu terhenti disebuah syal merah yang tergantung tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dia segera mundur beberapa langkah dari kaca itu karena panik.

Lalu suara itu kembali terdengar olehnya. Kali ini terdengar lebih jelas. Suara itu berbisik pelan seolah berada tepat disamping telinganya. Dia mulai menyahuti suara tersebut, seolah berbicara sendiri disana,
“Give me.. Their name…”
“Mom ?”
Jantungnya berpacu cepat, diantara ketakutan dan juga penasaran. Dia tidak menemukan siapapun disekelilingnya namun suara itu terus berbicara kepadanya. Suara itu meminta nama orang – orang yang menyakitinya. Dia lalu mulai menuliskan ketiga nama temannya disana. Andrew, Mario dan Dave.
Setelah ketiga nama tersebut selesai ditulis, dia tersenyum sendiri. Dia merasakan perasaan yang lebih baik daripada sebelumnya. Dipandangi ketiga nama itu dengan seksama lalu mulutnya bergumam dengan halus.
“Aku memaafkan kalian.”
Dia lalu berbalik arah dan mengikuti jalan setapak menuju rumahnya sambil bersiur pelan. Ketiga nama itu mulai tertutup oleh uap dingin cuaca, dan sebuah jejak telapak tangan tertempel disekitar nama tersebut.
(continue…)