CHAPTER ONE : 1983 [PART 02]

0

Ketika Es Mulai Mencari…

Spread the love

(1 month later)

Perlahan matahari mulai menampakkan dirinya. Kaca dirumah mereka kini tidak lagi tertutup oleh salju, melainkan embun – embun pagi yang menyegarkan. Dari dalam rumah terdengar suara langkah kaki yang berlari – lari kecil disepanjang lorong dengan penuh semangat.

“Pop ! c’mon ! kita ketempat uncle Jon. Salju sudah mulai hilang pop !”

Gadis itu menarik – narik selimut ayahnya yang masih tertidur sambil meringkuk disofa dekat perapian rumah mereka. Setelah beberapa kali menarik selimut ayahnya, Audrey akhirnya berhasil membangunkan ayahnya sambil tersenyum dengan penuh kebahagiaan.

“Pop ! Ayo ke uncle Jon !”

Dengan mata yang masih berat, pria itu berjalan kesudut ruangan yang memiliki pemandangan langsung keluar rumah. Dia melihat salju sudah tidak setinggi sebelumnya dan beberapa orang disekitar sana sudah keluar untuk beraktifitas diluar rumah. Ada yang membersihkan sisa salju, ada juga yang menemani anak – anak mereka membuat boneka salju sebelum salju disana cair sepenuhnya.

Salju yang menumpuk dikaca rumahnya juga sudah mulai mencair. Sungguh perubahan musim yang menakjubkan. Meskipun udara masih terasa dingin, dia akan memenuhi janjinya pada Audrey. Dia lalu mengambil mantelnya dan melemparkan satu mantel kecil pada Audrey sambil bercanda.

“Pop akan membelikan kamu coklat hangat sebentar lagi dengan syarat kamu harus bisa memakai mantel ini sendiri.”

“Beserta syal merah itu Pop !”

“Iya, beserta syal merah itu.”

Dia lalu berjalan kesalah satu gantungan dinding yang tidak jauh dari pintu masuk rumahnya. Syal merah itu adalah syal kesayangan Audrey karena merupakan hadiah terakhir dari Marie, mendiang istrinya. Setelah Audrey menyelesaikan lipatan syalnya, dia berjongkok didepan Audrey sambil merapikan bentuk ikatan syal yang masih longgar.

“Pop, Audrey kangen sama mommy.”

Dia memutuskan untuk tidak menjawab perkataan Audrey. Dia memilih untuk mengalihkan perkataan tersebut.

“Yuk kita pergi ketempat uncle Jon as promises.”

“Hu um.”

Setelah berdiam diri dirumah hampir 3 bulan lebih, mereka akhirnya kembali menghirup udara bebas. Nafas mereka terlihat seperti hembusan naga karena meninggalkan jejak uap diudara.

Audrey mulai berlari – lari dan menari – nari indah diatas tumpukan salju yang perlahan mulai mencair. Dia mengejar Audrey lalu segera mengandeng tangannya. Mereka berjalan dengan penuh kebahagiaan ketempat uncle Jon yang tampaknya sudah mulai ramai.

“Pop, kita bukan yang pertama !”

“Well, setidaknya sebentar lagi kita akan menikmati coklat hangat itu. Kamu tunggu dikursi kecil itu ya.”

Dia memberikan instruksi pada Audrey sambil menunjuk sebuah kursi kecil didekat kaca transparant dipojok cafe. Pemandangan pergantian musim memang sungguh indah.

Sembari menunggu cokelat hangatnya, Audrey kecil yang awalnya terlihat senang perlahan mulai berubah. Wajahnya seperti terkejut melihat sesuatu dikejauhan. Bibirnya bergetar ingin memanggil ayahnya, namun entah kenapa dia hanya diam saja. Kini wajahnya tampak tidak berekspresi.

Dia turun dari kursinya dan berjalan keluar dari café itu. Seseorang sedang memanggilnya untuk bermain bersama. Sementara ayahnya sibuk berbincang bersama uncle Jon sambil menunggu coklat hangat itu selesai dibuat.

Dia berjalan ketengah lapangan kosong yang terletak tidak jauh dari café uncle Jon. Lapangan itu adalah sungai kecil yang sengaja tidak ditimbun karena anak – anak suka memancing disana ketika musim panas dan akan  berubah menjadi tempat es sketing ketika musim dingin.

Ada suara lembut yang terus memanggil namanya. Dia terus berjalan mengikuti arah datangnya suara itu. Audrey sedang terhipnotis dan tidak ada seorangpun yang menyadari hal tersebut.

Audrey lalu berhenti ketika suara tersebut menghilang. Dia tampak kebinggungan ditengah lapangan itu. Setelah berpikir sejenak, Audrey memutuskan untuk kembali ke café uncle Jon. Ketika Audrey membalikkan badannya, sebuah tangan dingin menarik kakinya dari bawah, membuat dia terjatuh dengan kerasnya.

Dia berusaha menarik dirinya namun tangan itu mencengkram kakinya dengan kuat. Dia menghentak – hentakkan tangannya dan berusaha mencari sesuatu untuk dipegang namun tidak ada. Perlahan es disekitarnya mulai retak. Dia terus berusaha melepaskan diri namun tidak berdaya.

“Pop… He..lp !!”

Dia berteriak penuh ketakutan. Retakan disekitarnya semakin membesar, dan hanya dalam beberapa detik, es disekeliling Audrey terjatuh kebawah. Audrey hanyut kedalam dinginnya air es dibawah sana. Dia berusaha meraih permukaan namun tangan itu terus menariknya kebawah. Air dingin itu terciprat kesegala arah. Perlahan, Audrey menghilang dari permukaan.

Lisa terkejut mendapati Audrey menghilang ditengah lapangan yang tidak jauh dari tempat duduknya. Sedari tadi dia memperhatikan Audrey yang berjalan keluar café sendirian lalu berhenti dipertengahan lapangan. Dia sempat lega ketika melihat Audrey berjalan kembali kecafe itu sehingga dia kembali membaca bukunya dengan tenang. Baru beberapa saat dia tidak memperhatikan, Audrey sudah tidak berada disana. Dia memperhatikan seluruh café dan Audrey jelas belum kembali.

“Max ! Max !”

Dia memanggil Max dengan panik. Karena mereka tinggal didesa terpencil, hampir seluruh warga disana sudah saling mengenal satu sama lain. Lisa, merupakan anak Jonny yang suka bertengger didekat kaca café ayahnya.

“Ya ?”

Max menoleh kearah Lisa sambil memegang tray makanan berisi 2 buah biscuit dan segelas coklat hangat yang baru disiapkan oleh Jonny. Ketika dia menyadari Audrey tidak ada disana, tray tersebut secara spontan terlepas dari tangannya.

Tidak dirasakannya lagi panas coklat yang mengenai kakinya. Dengan gemetar tangan Lisa menunjuk keluar café tersebut, mengarah kelapangan kosong yang berada tidak jauh dari tempat mereka berada.

“Tadi Audrey berjalan kesana. Ketika aku melihat dia akan kembali, aku tidak memperhatikannya lagi, dan lalu dia menghilang.”

Max langsung berlari kelapangan tersebut. Dia memanggil nama anaknya dengan keras sepanjang perjalanan. Jonny dan Lisa mengikuti Max karena merasa cemas.

Ketika Max melihat lubang yang berada dipertengahan lapangan tersebut, seluruh tubuhnya lemas. Dia tersungkur didekat lubang tersebut. Audrey, dengan matanya yang terbelalak dan mulutnya yang terbuka, mengapung disana, tidak bergerak dan juga tidak berkedip.

Max lalu menarik Audrey keatas permukaan. Dipeluknya Audrey didekapannya. Gadis itu sudah tidak bernyawa. Dia menangis dan berteriak sekeras – kerasnya. Jonny yang berada dibelakangnya langsung menghubungi polisi local dan menutup mata Lisa dari pemandangan mengerikan tersebut.

(Continue…)

Copyright by Dewi Shanti

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights