Chapter Twelve : Dark Side [02]

0

Yang dia pikirkan kali ini hanyalah bagaimana Mikasa bisa selamat.

Spread the love

Dia tidak mengenakan jas pelayannya seperti biasa dan lengan kemejanya terlipat setengah dengan kancing atas yang kini sudah terbuka. Penampilannya sungguh berbeda dari biasanya. Dia membulatkan tekatnya untuk menyelesaikan masalahnya. Seharusnya dia tidak pernah mempercayai orang itu sejak awal. Api kebencian yang semula tumbuh begitu besar perlahan mulai padam dimakan oleh waktu dan kasih sayang keluarga Pars yang diberikan padanya.

Dia tidak membenci tuan mudanya sama sekali, dan kini perasaannya dipenuhi oleh rasa sesal karena selalu menjalankan apapun permintaan Theo tanpa merasakan kecurigaan apapun. Semua hal aneh yang terjadi pada tuan muda pastilah ulah Theo.

Kini dia berada didepan menara itu, tanpa keraguan dan tidak mau mengulur waktu, dikeluarkannya sebuah pisau kecil yang dibawanya dari rumah utama dan mulai berusaha membuka paksa pintu akses masuk. Beberapa kali putaran dia sudah berhasil membuka pintu tersebut dan masuk kedalam. Sekelilingnya gelap karena hanya bertemankan api obor dipojokan setiap ruangan. Dia melangkahkan kakinya perlahan dan berjalan menuju perpustakaan, dengan waspada dia membuka pintunya dan tidak ada siapapun didalamnya.

Dia lalu melanjutkan perjalanannya keruang rahasia tempat dimana ramuan Theo disimpan. Diambilnya obor disamping tangga dan mulai berjalan menaikinya. Hidupnya selalu dipenuhi rasa bersalah selama ini. bukannya menjadi pelindung para pelayan, tetapi dia malah memanfaatkan mereka dan menumbalkan mereka bagi kejayaan keluarga Pars yang kini dia ragukan. Dia mulai berpikir bahwa semua hal yang dia lakukan selama ini hanya untuk keuntungan pribadi Theo semata.

Perasaannya mulai terasa sungguh tidak enak. Dia mematikan api obor tersebut dan dilihatnya cahaya redup terpancar dari balik ruangan pribadi didepannya. Theo pasti berada didalam. Dia menghirup nafasnya dalam – dalam dan tekatnya yang kuat akhirnya membuat dia memiliki keberanian yang cukup untuk membuka pintu tersebut. cahaya redup menyinari wajahnya seketika.

“Halo, Toma.”

Suara Theo terdengar jelas olehnya. Dia berusaha memandang Theo dan sadar bahwa bukan hanya Theo yang berada diruangan tersebut.

“Mikasa !”

“Pelankan suaramu Toma, kamu akan membangunkan bayi mungil ini.”

“Apa yang kamu rencanakan Theo !”

“Tenanglah, Toma.”

Suara wanita dari pojok ruangan membuat dia menoleh dengan cepat.

“Monte !”

“Pelankan suaramu, Toma !”

Pikirannya kosong kali ini, satu – satunya hal yang berada dipikirannya adalah bagaimana Mika bisa berada disini dan apa yang mereka inginkan dari nona kecilnya.

Theo melihatnya dan bibirnya membentuk sebuah senyuman kecil. Theo lalu memberikan insyarat pada Monte untuk membunuhnya. Tubuhnya terasa kaku, sesuatu telah terjadi padanya. Dia tidak bisa mengerakan satupun bagian tubuhnya seperti biasa.

“Menjauh dariku !”

Wanita itu lalu meraba seluruh tubuhnya dan mengeluarkan pisau kecil yang dibawanya. Dia terus mengeram dan berusaha bergerak namun semua sia – sia. Saat Monte mengangkat pisau tersebut tinggi keudara, dia tahu bahwa kehidupannya berakhir disaat itu juga. Dia memejamkan matanya dan bergumam pelan didalam hatinya.

(srat !)

Dia membuka matanya dan terbelalak melihat pemandangan didepannya. Monte tidak mengunakan pisau tersebut untuk membunuhnya, melainkan dia melukai tangannya sendiri ! Darah menguncur deras didepan matanya.

“Wanita bodoh !” geram Theo.

Saat mulut Theo berkomat kamit dan Monte tiba – tiba terangkat keatas, pintu dibelakang mereka terbuka dan sebuah lemparan tongkat tajam terbang menancap tepat didada Theo, membuatnya tersungkur dan Monte terhempas ketanah. Tubuhnya kini ringan dan dia langsung berlari kemeja tersebut, mengendong Mika didekapan dadanya dan melihat Theo yang tergeletak diatas tanah.

Tongkat tuan besarnya telah membunuhnya seketika. Dengan perasaan takut yang sungguh luar biasa, dia menatap kebalik arah pintu tersebut dan melihat tuan besarnya berada disana. Tidak sendirian. Beberapa orang berjubah hitam memasuki ruangan kecil tersebut dan mengelilinginya. Yang dia pikirkan kali ini hanyalah bagaimana Mikasa bisa selamat.

“Minggir !”

Dengan nafas tersenggal – senggal, tuan mudanya menerobos masuk kedalam dan menyaksikan pemandangan didepannya dengan mata terbelalak.

“Monte ! Mikasa !”

Dia tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun, bibirnya bergetar hebat dan seluruh tubuhnya bergetar kuat. Tuan mudanya segera menghampirinya dan merebut Mikasa dari dekapannya. Sebuah tendangan kuat mengenai dadanya dan dia terjatuh. Tuan mudanya segera menghampiri Monte dan mengambil pisau yang tadi digunakan wanita tersebut untuk memotong dirinya. Dengan penuh kemarahan, Josh bangkit berdiri dan berjalan kearahnya, sebuah tebasan tepat dipipinya membuat dia kehilangan darah yang banyak.

“Tu..an..”

Dia berusaha menjelaskan, namun tatapan mata tuannya kini dipenuhi oleh kebencian.

“Aku tidak seharusnya mempercayaimu sejak awal !”

Dia tidak mampu menjawab tuduhan Josh, pandangannya perlahan mulai pudar, hal terakhir yang bisa dilihatnya dengan jelas adalah tangan tuan Loren yang menahan Josh untuk tidak membunuhnya, dan sekelilingnya menjadi gelap.

(to be continue…)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights