Sebagai anak dari keluarga Pars, sejak kecil aku sudah harus mengikuti berbagai pelajaran, tata krama dan cara berkomunikasi dengan berbagai kalangan orang yang kutemui. Mendapatkan nilai sempurna disekolah juga menjadi tuntutan bagiku agar tidak mempermalukan keluargaku.
Saat aku kecil, orang – orang disekitarku sering meledekku dengan perkataan yang tidak enak untuk kudengar. Mereka selalu berpikir bahwa hidupku adalah hidup yang sempurna karena keluarga Pars terkenal akan kekayaannya. Dan tidak jarang aku mendengarkan gossip disekolah bahwa keluargaku adalah keluarga penyihir karena bangunan dibelakang rumah utama kami yang angker dan sudah sangat tua.
Bangunan lainnya yang menjadi tempat para pelayan tinggal mereka anggap sebagai rumah tawanan. Para tawanan itu akan dijadikan tumbal sebagai percobaan praktek sihir kami. Saat orang – orang didalam kelas mulai bercerita tentang keluargaku, bisa kurasakan pandangan mata mereka menatap sinis kepadaku, aku selalu meninggalkan kelas ketika hal tersebut terjadi.
Aku tidak pernah memberitahu ayah ataupun mamaku akan gossip tersebut karena aku tidak ingin mereka sedih. Tidak jarang mamaku selalu memarahiku setiap kali ada laporan dari sekolah dimana aku suka bolos. Namun karena kepintaranku, mereka masih mempertahankanku. Alasan sesungguhnya mereka mempertahankanku sebenarnya bukan karena diriku, namun karena uangku.
Pars adalah keluarga yang mensponsori berbagai sekolah setiap tahunnya, dan terkhususkan pada sekolah yang aku datangi, mereka selalu memberikan subsidi lebih banyak. Aku mengetahuinya saat aku berusaha bolos lewat halaman belakang dan tidak sengaja mendengarkan percakapan kepala sekolahku dengan seseorang dibalik teleponnya.
Mereka tidak pernah benar – benar mau menjadi temanku dan peduli padaku. Jikapun itu terjadi, mereka pasti sedang menginginkan sesuatu dariku. Aku pernah memiliki teman namun tidak bertahan lama karena mereka mulai sering meminta uang dariku. Saat aku tidak membawa uang, mereka mulai mengambil makananku tanpa izin dengan beralasan ‘teman selalu berbagi’, tidak jarang juga mereka mengambil mainan baruku.
Saat aku melakukan perlawanan untuk merebut kembali mainanku, aku selalu kena marah dan dipanggil oleh kepala sekolah. Aku selalu menjadi bagian yang salah karena dianggap tidak bisa bersosialisasi dengan baik ataupun berbagi mainan dengan teman lainnya. Ayahku sendiri tidak pernah bertanya padaku alasan perkelahianku dan hanya mendiamkanku.
Sampai hari dimana pentas kesenian sekolah akan diadakan dan aku mendapatkan peranan sebagai penyihir dipanggung pertunjukan. Aku hanya mengikuti saja semua permintaan teman sekelasku. Aku juga membantu mereka menyiapkan semua perlengkapan dan bisa dikatakan mereka hanya menerima hasil bersih saja, cukup dengan menghafal naskah cerita yang diberikan oleh guru karena semua persiapan dikerjakan oleh salah satu pelayan keluargaku. Mama mengutusnya kesekolah untuk membantu kami mendesign panggung dan juga menyiapkan costume kami dengan senang hati.
Aku tahu mereka sebenarnya tidak menginginkanku berpartisipasi dalam acara kesenian tersebut, namun karena aku bisa mensponsori seluruh acara tersebut, mereka mengajakku untuk memainkan salah satu peran dipertunjukan tersebut. Terkadang aku diajak berlatih bersama, meskipun bisa dikatakan dari 3 kali latihan, aku hanya diberitahukan sekali saja, aku menerima semua perlakuan mereka sampai tibalah hari pertunjukan pentas seni tersebut diadakan. Para orangtua murid datang dengan antusias untuk melihat penampilan anak – anak mereka. Tentunya ayahku, Loren Pars dan mamaku, Keysa Pars turut hadir dalam acara tersebut sebagai tamu kehormatan sekolah.
Dari balik panggung, aku bisa melihat ayahku datang dengan mengenakan jas dan topi hitam seperti biasa, ditemani sebuah tongkat ditangannya, dia duduk bersebelahan dengan mamaku yang saat itu mengunakan gaun hijau muda yang membuatnya tampak paling menawan disana. Theo juga ikut hadir. Mereka duduk berdampingan dengan kepala sekolahku dan juga beberapa pejabat tinggi lainnya.
(to be continue….)