Chapter Four : Childhood

0

Amarahku keluar begitu saja dan hampir tidak bisa kukendalikan seperti sebelumnya.

Spread the love

Sudah hampir satu jam aku berendam didalam kamar mandi, Aku masih tidak percaya akan apa yang telah terjadi kepada diriku. Sejak aku meminum air yang diberikan oleh Toma, bisikan – bisikan aneh itu menghilang begitu saja. Apakah dia nyata ataukah hanya permainan pikiranku sendiri.

“Josh ?” terdengar bisikan lembut Jean.

“Aku baik – baik saja.” Jawabku.

Kubuang jauh – jauh pikiran anehku dan segera membersihkan sisa sabun yang masih menempel ditubuhku. Aku berusaha menjangkau tattoo yang berada dipunggungku dan memperhatikannya sebentar. Warna merah terbakar disekitarnya sudah berkurang tetapi masih memberikan rasa panas berdenyut sesekali.

Kukenakan pakaian santaiku dan berjalan keluar dari kamar mandi dengan bertemankan handuk dileherku dan rambut yang belum terlalu kering. Jean sedang duduk disalah satu meja belajar kecil didalam kamarku. Tangannya sibuk menulis disana. Gerakan tangannya terhenti sebentar dan dia menoleh kearahku. Aku berjalan menuju balkon kamar dan membuka kaca yang berada disana lalu duduk disalah satu kursi goyang dan menikmati hembusan angin yang masuk.

Kamarku berisikan sebuah meja belajar dan sofa panjang didalamnya. Aku memiliki kasur yang sangat besar dan bisa menampung lebih dari 6 orang diatasnya. Jean sendiri memiliki ruangan dicontage tamu karena dia seorang perempuan. Dia sangat suka menulis dan pandai mengukir tattoo. Meskipun dia selalu hilang begitu saja, disaat aku membutuhkan bantuannya, entah kenapa dia selalu kembali secara misterius.

“Apa yang sebenarnya terjadi padamu ?” Jean berdiri dibelakangku.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, dia tidak akan mempercayai ceritaku hari ini. Tatapanku kosong jauh memikirkan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Mungkin aku harus bertanya pada ayah, atau aku harus menceritakannya pada Toma, karena air yang diberikannya padaku sungguh membantuku tadi.

“Josh, kamu bisa menceritakan apa saja padaku.” Bujuk Jean.

Sejak pertama kedatangan Jean bersama Toma kerumah ini, dia selalu menjadi temanku bermain, dan sering kali ketika aku tidak sengaja merusak tanaman ibu ataupun memecahkan koleksi antic ayah, Jean selalu melindungiku.

Jean juga tidak bersekolah seperti anak lainnya karena dia tidak menyukainya. Awalnya ibu sangat marah padanya karena kelakuan Jean yang suka sekali bolos sekolah, namun Ibu segera menemukan bakat lain Jean, yaitu seni.

Ibu memberikannya ruangan khusus disalah satu contage tamu dan peralatan untuk mengukir, menulis, termaksud membuat tattoo. Tidak jarang tamu yang datang menghiasi tubuh mereka dengan ukiran kecil buatan Jean sebelum pergi. Begitu juga dengan para pelayan disini. Mereka selalu datang pada Jean jika ingin mengukir sesuatu dibadan mereka. Seiring dengan bertambahnya usia, Jean yang matang mulai sering pergi tanpa kabar dengan alasan ingin mencari pengalaman baru.

“Apakah bekas tattoonya masih sakit ?”

Tatapan kami bertemu. Sudah berpuluh tahun berlalu sejak terakhir aku menatapnya langsung, baru kali ini aku sadari bahwa dia sudah menjadi wanita yang dewasa dan cantik. Kulitnya putih dan dia tinggi sekali seperti Toma. Rambutnya panjang dan tidak pernah tertata dengan baik, namun hal itulah yang menjadi daya tarik dirinya. Berantakan dan menawan. Aku mulai menjaga jarak dengannya ketika dia sudah berubah dari gadis menjadi wanita. Kami hanya sesekali duduk bersama untuk minum tea dan terkadang pada kondisi tertentu, Jean selalu menemaniku seperti saat ini.

“Masih sedikit panas dan terkadang berdenyut.” Jawabku

Dengan lembut Jean mengangkat handuk yang berada dileherku dan meletakkannya tidak jauh dari tempat dudukku. Tangannya kini berada dibahuku dan mulai menjalar secara perlahan. Tangannya memegang ujung bajuku dan dia mulai menaikkannya. Aku hanya membiarkan Jean melakukan apa yang dia inginkan. Dapat kurasakan sentuhan pada tattoo dipunggungku.

Dia melekatkan telapak tangannya dan menutupinya. Denyutan itu terasa kembali, aku sedikit bergindik karena sakit yang kurasakan itu. Jean tidak terkejut sama sekali dan segera melepaskan tangannya dari tattoo tersebut. dia berjalan kedepanku dan memegang bahuku, memaksaku untuk menatapnya.

“Apakah kamu membuatnya “ ucapan Jean terdengar serius.

“Apakah ini muncul begitu saja ?” tanya Jean lagi.

Jean tidak melepaskan tangannya dari bahuku dan bisa kurasakan cengkramannya menjadi lebih kuat.

“Ulah siapa ini ?” lanjut Jean.

Wajah Jean penuh dengan keseriusan dan aku hanya mampu diam membisu karena tidak tahu harus memulai darimana untuk bercerita.

“Jawab Josh !” suara Jean mulai meninggi.

Diguncangnya badanku dengan kedua tangannya.

“Hentikan !” bentakku spontan, membuat Jean melepaskan tangannya seketika dan terkejut.

“Kamu pikir ini lelucon Josh ?”

“Aku tidak ingat !” jawabku dingin.

Tolong berikan aku waktu untuk memikirkan cara memberitahukannya padamu, batinku.

“Bagaimana hal sepenting ini kamu tidak ingat, Josh !” pekik Jean mulai kehilangan kesabarannya.

“Aku bilang diam !!” aku mendorong Jean hingga terjatuh kelantai, mataku menatapnya liar.

“Kamu saja tidak mau cerita masa lalumu, dan sekarang berani memaksa aku bercerita !” tanganku terangkat tinggi, siap untuk didaratkan pada pipi Jean, namun ada sesuatu yang seolah menahanku.

Amarahku keluar begitu saja dan hampir tidak bisa kukendalikan seperti sebelumnya. Perlahan aku menurunkan tanganku dan aku berjalan menjauhinya sambil bergumam kecil, berusaha menenangkan keadaan yang ada.

“Jika kamu bisa marah ketika aku bertanya masa lalumu, maka itulah yang kulakukan saat ini.” ucapku dingin.

Aku tidak mendengarkan sedikitpun jawaban yang keluar dari mulut Jean selain suara pintu yang dibanting dengan kuat. Dia pergi, pasti dia sangat marah padaku karena aku kembali membahas masa lalunya. Aku tidak tahu kenapa perkataan tersebut bisa keluar begitu saja dari mulutku. Aku harus minta maaf padanya saat dia kembali nanti.

Aku duduk dikursi goyangku dan menatap kosong kelangit. Udara yang tadinya berhembus hangat dan terasa sejuk perlahan mulai berganti menjadi dingin. Matahari mulai menyembunyikan dirinya dan langit mulai kehilangan cahayanya. Beberapa tiang penerangan yang berada tidak jauh dari kamarku mulai menyala, menandakan hari akan gelap sebentar lagi.

Kugoyangkan kursiku perlahan dan pikiranku jauh membawaku terbang pada masa kecilku serta kejadian malam itu, malam dimana untuk pertama kalinya aku melihat kemarahan ayahku, dan malam dimana aku bertemu Jean dan Toma.

(to be continue….)

Spread the love

Leave a Reply

Verified by MonsterInsights